Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: PLN, PT Pelindo III
Institusi: Universitas Indonesia, UGM
Kab/Kota: Teluk Bintuni
Tokoh Terkait
Pengamat Energi Fahmy Radhi Nilai Biaya FSRU yang Ditetapkan Pelindo III Terlalu Mahal
Jurnas.com Jenis Media: News
Syafira | Sabtu, 07/10/2023 10:50 WIB
Pelindo III dari Bontang ke Terminal Penerimaan dan Regasifikasi LNG Tanjung Benoa. (Foto: Jurnas/Ist).
Jakarta, Jurnas.com- Biaya regasifikasi pada Floating Storage Regasification Unit (FSRU) yang ditetapkan Pelindo III dari Bontang ke Terminal Penerimaan dan Regasifikasi LNG Tanjung Benoa sampai pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) Pesanggaran dinilai terlalu mahal, sehingga disinyalir berdampak pada beban PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Akibat mahalnya biaya distribusi ini PLTG Pesanggaran tak bisa beroperasi dengan efisien. Biaya produksi listrik jadi mahal, tarif untuk masyarakat pun jadi susah diturunkan.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai harga yang dipatok Pelindo III bisa mencapai lebih USD10 per MMBTU (Millions British Thermal Units), jauh di atas tarif harga negara-negara lain misalnya Malaysia yang hanya USD6 per MMBTU. Menurut dia, tarif yang ditetapkan Pelindo III untuk distribusi gas cair ini terlalu banyak memasukkan komponen-komponen yang tidak relevan.
“Misalnya biaya sewa tanah, pajak dan lain sebagainya, itu dimasukkan juga. Ini enggak relevan. Harganya bisa di atas USD 10 per MMBtu. Padahal di luar, misalnya di Malaysia itu hanya USD6 dolar per MMBTU. Ini cukup jauh,” kata Fahmi melalui siaran pers yang diterima jurnas.com, Jumat (6/10/2023).
Dia mengungkapkan salah satu energi yang digunakan PLN untuk pembangkitnya selain batu bara, yaitu gas. Fahmy menuturkan, gas tersebut termasuk pembangkit energi yang relatif sustainable dibanding batu bara. Tetapi masalahnya, gas tersebut berasal dari wilayah ujung Indonesia, misalnya dari LNG Tangguh yang berada di Teluk Bintuni Papua, dari Aceh ataupun dari Kalimantan. Padahal, konsumennya mayoritas ada di sekitar Jawa dan Bali.
“Masalahnya, infrastruktur pipanya sendiri tidak mencukupi, memadai sehingga gas alam tadi harus diregasifikasi menjadi LNG. LNG baru bisa didistribusikan menggunakan moda transportasi. Masalahnya menjadi bengkak, karena ada double biaya distribusi tadi,” tutur Fahmy.
Dijelaskan, distribusi gas ke LNG atau regasifikasi itu masih harus membayar toll fee, kemudian margin yang harus diambil oleh pemilik lahan.
“Jadi terlalu banyak komponen biaya yang dibebankan kepada harga gas tadi, sehingga harga gas kita tuh selalu mahal. Termasuk yang dibeli oleh PLN untuk pembangkitnya,” imbuh Fahmy.
Lebih lanjut, menurut Fahmy perlu ada regulasi yang mengatur biaya pengapalan, regasifikasi, dan distribusi gas alam cair itu. Pertama komponen biaya yang dibebankan, kedua, berapa margin yang boleh diambil. Apakah itu oleh perusahaan gas alamnya atau juga transportasi, dan juga toll fee itu harus ditetapkan oleh pemerintah lewat regulasi. Sehingga bisa lebih fair.
“Hanya toll fee saja [yang diatur]. Tapi karena beberapa biaya distribusi tadi dikuasai oleh misalnya PGN menguasai biaya toll fee. Nah biaya toll fee berapa margin yang diterima PGN itu gak diatur. Misalnya juga Pelindo misalnya itu tidak diatur sama sekali, tergantung Pelindo. Mereka merasa toh yang lain butuh, konsumen butuh untuk mendistribusikan gas tadi. Ada semacam oligopoli sehingga dia bisa menetapkan harga seenaknya,” tutur Fahmy.
Menurut dia akan berbeda jika pemainnya distributor ini banyak, karena mereka bisa bersaing membentuk harga.
“Tapi ini Pelindo pemain yang cukup besar satu-satunya sehingga bisa seenaknya menetapkan biaya tadi. Hampir tidak (swasta) yang main. Kalau di hulu agak lumayan banyak, asing juga banyak. Tapi kalau yang mendistribusikan dari sumber gas ke konsumen akhir itu lebih banyak itu pemainnya BUMN dan tidak banyak pemainnya. Itu semacam oligopoli sehingga bisa bebas menetapkan berapapun biayanya,” ungkap Fahmy.
Hal tersebut, ujar dia, sangat merugikan PT PLN. Sebab konsekuensinya perusahaan pelat merah itu dengan membeli harga gas yang mahal, maka ini akan menaikkan harga pokok penyediaan listrik.
“Harga keekonomiannya jadi mahal. Tapi PLN kan gak bisa seenaknya menetapkan harga atau tarif listrik karena itu domain pemerintah. Sehingga yang ditanggung itu besar, ini bisa membuat PLN rugi dalam penggunaan gas untuk listrik tadi. Mungkin dia masih untung dalam listrik yang berasal dari batubara. Tapi di gas di energi bersih jadi mahal. Ini saya kira dilema bagi PLN,” jelasnya.
Sementara pengamat energi dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa berharap Menteri BUMN Erick Thohir perlu menata ulang persoalan tersebut demi ketahanan energi nasional yang mana salah satu beban terbesar Biaya Pokok Produksi (BPP) Pembangkit listrik adalah harga bahan bakar.
Dia mengatakan, masalah distribusi gas cair yang mahal tadi sudah berlarut-larut. Bahkan sejak Menteri ESDM dijabat Ignatius Jonan (14 Oktober 2016 – 23 Oktober 2019) hingga saat ini tidak pernah terselesaikan.
“Sekarang perlu ada sinergi antara Erik Thohir yang mengatur BUMN-nya dan Menteri ESDM dari gas tadi. Tanpa itu akan berlarut-larut. Ironis kalau biaya transportasi ini membebani cukup tinggi BPP tersebut yang dampaknya adalah ke tarif listrik. Disamping itu gas dapat menjembatani sebagai salah satu transisi energi,” tandas Iwa saat dihubungi, Jumat (6/10/2023).
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan harga gas bumi untuk program konversi PLTD ke PLTG tidak memakai skema Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Artinya harga gas untuk program ini boleh di atas USD 6 per MMBTU, tetapi tidak boleh di atas USD 10 per MMBTU.
Selain soal harga gas, pemerintah sedang memetakan pasokan gas untuk mendukung program konversi pembangkit bertenaga diesel (PLTD) ke pembangkit bertenaga gas (PLTG). Selain memetakan lokasi dan pasokannya, pemerintah juga akan memastikan harga gas yang dipasok untuk pembangkit tidak lebih dari USD 10 per MMBTU.
Adapun payung regulasinya merujuk pada Keputusan Menteri ESDM No 249 Tahun 2022 tentang Penugasan Pelaksanaan Penyediaan Pasokan Gas dan Pembangunan Infrastruktur LNG serta Konversi dari Penggunaan BBM menjadi LNG dalam Penyediaan Tenaga LIstrik. Ketetapan ini merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri (Permen) Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 45 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pembangkit Tenaga Listrik.
Beleid tersebut menegaskan penyesuaian harga gas untuk kebutuhan PT PLN (Persero) menjadi USD6 per MMBTU yang didasarkan penetapan regulasi harga gas bumi tertentu di bidang industri menjadi USD6 per MMBTU.
TAGS : FSRU Pelindo III Terlalu Mahal Fahmy RadhiSentimen: positif (100%)