Sentimen
Positif (100%)
5 Okt 2023 : 23.56
Informasi Tambahan

Event: Perang Dunia II

Hewan: buaya

Kab/Kota: Cimahi, Semarang, Kebumen, Wonogiri, Madiun, Cipayung, Lubang Buaya, Tegal, Manado, Sorong

Sosok Untung Syamsuri, Tokoh Penting G30/SPKI, Pernah Meneteskan Air Mata Saat Dijatuhi Hukuman Mati

5 Okt 2023 : 23.56 Views 11

Keuangan News Keuangan News Jenis Media: Nasional

Sosok Untung Syamsuri, Tokoh Penting G30/SPKI, Pernah Meneteskan Air Mata Saat Dijatuhi Hukuman Mati

KNews.id – Letnan Kolonel (Letkol) Untung Syamsuri menjadi salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa sejarah Gerakan 30 September (G30S) 1965. Ia adalah pimpinan Tjakrabirawa saat peristiwa penculikan para jenderal TNI AD dan membunuhnya.

Letkol Untung merupakan salah satu pelaku dalam peristiwa 30 September 1965 atau G30S PKI. Seperti yang diketahui Letkol Syamsuri sempat menjadi buronan. Kemudian atas perintah Mayjen Soeharto, Letkol Syamsuri berhasil ditangkap.

Saat peristiwa itu terjadi, Untung yang berdinas di Resimen Tjakrabirawa menggerakkan pasukan menculik sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Darat. Para perwira yang diculik itu adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo.

Adapun Kapten Czi (Anumerta) Pierre Tendean yang menjadi ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution ikut diculik, sedangkan Nasution berhasil menyelamatkan diri. Letkol Untung sempat kabur setelah peristiwa tersebut, namun ia berhasil ditangkap di kota Tegal, Jawa Tengah.

Hukuman Letkol Untung Syamsuri

Setelah ditangkap ia menjalani pemeriksaan dan perisidangan di Makamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) Jakarta. Hasil sidang, majelis hakim menjatuhkan vonis mati kepada Untung pada 7 Maret 1966. Menurut Majelis Hakim, Untung terbukti melanggar semua dakwaan yang disampaikan oditur militer.

Saat itu pembacaan amar putusan Untung dilakukan selama 3,5 jam. Hakim mengatakan, Untung terbukti ikut menyusun operasi G-30-S dalam sejumlah rapat di beberapa tempat. Bahkan menurut hakim, Untung terbukti memerintahkan mantan bawahannya, Serda Giadi, buat menculik Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani dalam kondisi “hidup atau mati.”

Untung juga disebut memimpin dan menggerakkan pasukan Pasopati, Bima Sakti, dan Pringgodani yang dibentuk dari anggota Resimen Tjakrabirawa. Menurut laporan surat kabar Kompas pada 8 Maret 1966, Untung meneteskan air mata saat mendengar pembacaan vonis mati untuknya.

Untung juga disebut bertindak melampaui batas untuk menjaga keselamatan presiden. Untung kemudian ditahan sebelum dieksekusi pada 1967 di Cimahi, Jawa Barat.

Profil Letkol Untung

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Letkol Untung lahir dengan nama kecil Kusman di Kebumen, Jawa Tengah, tanggal 3 Juli 1927. Sejak kecil, Kusman alias Untung diangkat sebagai anak oleh pamannya yang bernama Syamsuri.

Dari sinilah namanya kelak dikenal sebagai Untung Syamsuri. Selepas menamatkan pendidikan dasar, Kusman meneruskan studinya ke sekolah dagang, namun belum sempat tamat lantaran pasukan Jepang masuk ke Indonesia pada 1942.

Jepang menguasai Indonesia setelah Belanda menyerah dalam suasana Perang Dunia II itu. Kusman kemudian memutuskan bergabung dengan Heiho atau Tentara Pembantu bentukan Jepang pada 1943. Dari sinilah karir militer Kusman dimulai.

Karir Militer

Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Kusman yang merupakan mantan anggota Heiho menjadi anggota angkatan perang Republik Indonesia dengan pangkat sersan. Dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang sudah dimulai sejak 1945 lantaran Belanda kembali dan ingin berkuasa di Indonesia lagi, Kusman bergabung dengan Batalyon Sudigdo dengan wilayah operasi di Wonogiri, Jawa Tengah.

Pada 1948, Kusman bersama Batalyon Sudigdo terlibat dalam peristiwa yang disebut pemberontakan PKI Madiun. Setelah peristiwa itu, Kusman mengganti namanya menjadi Untung Syamsuri dan kembali bergabung dengan TNI.

Untung sempat ikut dalam Operasi 17 Agustus pada 1958 yang dipimpin Ahmad Yani. Saat itu Untung masih menjadi Komandan Kompi dengan pangkat Letnan Satu, lalu pada 1959, Untung kembali ke Jawa Tengah. Setelah operasi selesai, Untung menjadi Komandan Batalyon 454/para Banteng Raiders Dipenogero, Srondol, selatan Semarang. Saat itu pangkatnya Mayor.

Sekitar 14 Agustus 1962, Untung diterjunkan ke daerah Sorong, Papua Barat. Untung merupakan bagian dari Operasi Mandala yang dipimpin Soeharto. Operasi militer itu sukses, ia mendapat kenaikan pangkat secara istimewa dari mayor ke Letnan Kolonel.

Selain itu, Untung juga mendapatkan bintang jasa setelah memimpin pasukan gerilya menyerang tentara Belanda di Papua Barat. Karier militer Untung terbilang baik. Ia dipercaya untuk menjabat Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa.

Seperti yang diketahui, Untung kemudian mengangkat diri sebagai Ketua Dewa Revolusi sekaligus memimpin Gerakan 30 September hanya untuk melindungi bapak nasionalis Indonesia, Sukarno yang sekaligus menjadi atasan Untung. Saat menjadi Ketua Dewan Revolusi, dirinya dikenal dengan nama baru yaitu Untung Syamsuri.

Sosok Frans Pangkey

Masih teringat jelas peristiwa G30S PKI dalam kenangan Frans Pangkey. Frans Pangkey merupakan mantan pasukan Cakrabirawa. Pria yang kini berumur 80-an ini tahu banyak hal tentang peristiwa seputar G30S PKI. Berbincang dengan Frans Pangkey sudah seperti belajar sejarah dari pelakunya langsung.

Seperti pengalaman Frans Pangkey.

Frans Pangkey dulunya adalah pasukan Cakrabirawa. Potret masa muda Frans Pangkey saat masih bertugas dalam pasukan Cakrabirawa.
Sebelum peristiwa G30S PKI tersebut, Frans Pangkey yang anti PKI disingkirkan dari Cakrabirawa.

 Akhir pekan lalu di kediamannya di Kelurahan Malalayang, Manado, Frans Pangkey mengaku diusir dari Cakrabirawa karena bentrok dengan Komandan Batalyon 1 Cakrabirawa, Letkol Untung.

“Saya diejek seorang rekan dan kami bertengkar,” katanya.

Baku hantam terjadi dan Frans Pangkey menang.

“Saya berhasil pukul bibirnya hingga giginya patah,” kata dia.

Ternyata rekannya itu adalah teman sekampung Letkol Untung. Frans Pangkey pun dipanggil Untung dan diancam.

“Saya balik mengancam, Anda boleh tembak saya, tapi kalau tak mempan Anda akan saya hajar,” kata dia.

Untung jengah.

Sudah lama Frans Pangkey dikenal sebagai pria kebal peluru yang punya nyali besar. Frans Pangkey pun disingkirkan dari Cakrabirawa.

“Saya dipindahkan,” kata dia.

Frans Pangkey memaknai peristiwa itu bukan kebetulan. Sesungguhnya ia sudah lama ingin disingkirkan.

“Saya kan dari Permesta, yang tentu saja anti PKI. Mungkin mereka telah mengamati saya dan mencari cara untuk menyingkirkan saya,” katanya.

Frans Pangkey menuturkan, ia punya ilmu kebal yang tak terkalahkan. Peragaan ilmu kebal Frans Pangkey berhasil memukau Komandan RPKAD Sarwo Edhi. Itu terjadi saat tes masuk Cakrabirawa.

“Saat itu Sarwo Edhi menantang siapa yang mau maju, hanya saya yang berani,” katanya.

Sarwo lantas menunjukkan kemampuannya menembak dan melempar pisau komando. Beberapa tembakan dari Sarwo Edhi kena kaleng susu. Namun, ada pula yang sempat mengenai Frans.

“Tapi saya tak luka, pak Sarwo lantas mengagumi keberanian saya,” katanya.

Ilmu kebal Frans Pangkey beberapa kali menyelamatkannya dari beberapa palagan pertempuran, salah satunya saat peristiwa Permesta. Pun saat mendarat di Papua.

“Kala itu saya sudah gabung di TNI dan menyusup dalam rangka pembebasan Irian Barat. Pasukan kami orang Manado semua dan tak ada yang mati,” katanya.

Kini di usia senjanya, Frans Pangkey punya pegangan baru, yaitu pencipta alam semesta.

“Tuhan Yesus adalah segalanya bagi saya kini. Saya sudah bertobat, saya sudah jadi murid Yesus, ilmu kebal saya sudah dibuang,” katanya.

Frans Pangkey mengaku memperoleh kedamaian dalam Yesus, berbeda dengan saat ia masih memakai ilmu kebal dahulu.

“Saat itu terasa tak ada damai,” kata dia.

Kehidupan baru Frans Pangkey berbuah manis, dua anaknya jadi pelayan Tuhan.  Di sisi Tuhan, Frans Pangkey menjalani hidup yang tangguh. Ia beberapa kali mengidap penyakit kronis. Terakhir penyakit ginjal, tapi masih sehat wal afiat.

Jenderal A Yani

Cerita lain, sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965 ternyata Jenderal Ahmad Yani sempat melakukan wawancara bersama awak media. Dalam wawancara itu tidak pernah ada yang menyangka bahwa 30 September akan terjadi peristiwa berdarah.

Dalam peristiwa itu, Kolonel A. Latief yang merupakan Komandan Brigade Infanteri atau Brigif I Kodam V Jakarta Raya (Kodam V Jaya) terlibat karena rumahnya digunakan sebagai tempat rapat persiapan operasi.

Sedangkan Letkol Untung Sjamsuri menggerakkan pasukan untuk menculik sejumlah perwira TNI. Para perwira yang diculik itu adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo.

Yani gugur akibat ditembak oleh para penculik di kediamannya. Sedangkan Kapten Czi (Anumerta) Pierre Tendean yang menjadi ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution ikut diculik.

Sedangkan Nasution berhasil menyelamatkan diri. Mereka yang diculik itu dituduh membentuk kelompok Dewan Jenderal dan hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.

Para korban kemudian dibawa ke daerah Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, kemudian dieksekusi. Jasad mereka dibuang ke dalam sebuah sumur. Mereka kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.

Wawancara terakhir

Sebelum menjadi korban G-30-S, Ahmad Yani ternyata sempat meladeni awak media pada pagi harinya. Pada saat itu Yani dan sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Darat menghadiri upacara penyerahan tanda penghargaan Sam Karya Nugraha di kapal Tampomas, seperti dikutip dari surat kabar Kompas edisi 12 Oktober 1965.

Yani saat itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Pangkatnya ketika itu letnan jenderal. Dalam upacara itu Yani bertindak sebagai inspektur upacara. Tidak ada yang pernah menyangka kalau Yani dan sejumlah perwira tinggi TNI AD yang hadir pada kegiatan itu akan menjadi korban peristiwa berdarah tersebut.

Selepas upacara, Yani dan sejumlah perwira tinggi beristirahat sejenak. Akan tetapi, tidak lama kemudian Yani menyambangi para jurnalis yang diberi tugas meliput upacara itu. Yani kemudian mempersilakan para wartawan mengajukan pertanyaan kepadanya.

“Jullie boleh tanya apa saja. Akan tetapi jangan tanya soal Angkatan Kelima,” kata Yani.

Para jurnalis kemudian mengajukan berbagai pertanyaan kepada Yani. Jenderal lulusan Korps Pembela Tanah Air (PETA) itu kemudian menceritakan pengalamannya saat terlibat dalam operasi menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. Bahkan Yani sempat menyapa jurnalis kantor berita Antara yang sempat meliput operasi itu.

“Jij dulu pernah ikut operasi sama saya di Manado bukan,” ujar Yani.

(Zs/TRBN)

Sentimen: positif (100%)