Sentimen
Negatif (97%)
30 Sep 2023 : 00.28
Informasi Tambahan

Event: Rezim Orde Lama

Grup Musik: APRIL

Hewan: buaya

Kab/Kota: bandung, Surabaya, Bogor, Gunung, Kalibata, Cilacap, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Madiun, Purwokerto, Lubang Buaya, Yogyakarta, Sragen, Pekalongan, Solo, Magelang, Pekanbaru

7 Sosok Pahlawan Revolusi yang Jadi Korban Pemberontakan G30S PKI

30 Sep 2023 : 07.28 Views 3

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

7 Sosok Pahlawan Revolusi yang Jadi Korban Pemberontakan G30S PKI

PIKIRAN RAKYAT – 30 September 1965 menjadi kenangan kelam bagi bangsa Indonesia. Kala itu, Indonesia dihadapkan dengan pemberontakan di tengah situasi politik yang tidak stabil. Peristiwa ini dikenal dengan Gerakan 30 September atau G30S, yaitu pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bertujuan untuk mengubah ideologi bangsa Indonesia.

Dalam peristiwa tersebut, para petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat menjadi korban. Mereka ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi lewat beberapa Keputusan Presiden pada tahun 1965.

Ahmad Yani merupakan petinggi TNI AD pada masa Orde Lama, yang lahir di Jenar, Purworejo pada 19 Juni 1922. Semasa muda, Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Setelah itu, Ahmad Yani mulai berkarier di militer dan terlibat dalam pemberantasan PKI Madiun 1948, Agresi Militer Belanda II, dan juga penumpasan DI/TII di Jawa Tengah.

Baca Juga: Elektabilitas Anies Baswedan di Jawa Timur Masih Lemah Meski Sudah Gandeng Cak Imin Jadi Bacawapres

Pada 1958, ia diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang Sumatra Barat untuk menumpas pemberontakan PRRI. Kemudian pada 1962, ia dikukuhkan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Namun pada 1965, Ahmad Yani difitnah ingin menjatuhkan Soekarno. Ia menjadi korban tewas pemberontakan G30S PKI pada 1 Oktober 1965.

Suprapto yang lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920, pernah mengikuti pendidikan di Akademi Militer Kerajaan Bandung. Namun langkahnya terhenti karena pendaratan Jepang di Indonesia. Pada awal kemerdekaan, Suprapto aktif dalam usaha merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Ia menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan ikut dalam pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Sudirman.

Kariernya semakin gemilang di militer. Namun ketika PKI mengajukan pembentukan angkatan perang kelima, Suprapto menyatakan penolakan, yang membuatnya menjadi korban pemberontakan G30S PKI. Jasadnya ditemukan di Lubang Buaya dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.

Siswondo Parman atau S. Parman adalah petinggi TNI AD pada masa Orde Lama, yang lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918. Berbeda dengan dua perwira sebelumnya, S. Parman lebih berkutat di bidang intelijen. Ia sempat dikirim ke Jepang untuk mendalami ilmu intelijen bersama Kenpei Kasya Butai. Pascaproklamasi, ia mengabdi untuk memperkuat militer tanah air.

Pengalamannya di bidang intelijen sangat berguna bagi TNI. Ia bisa mengetahui rencana-rencana PKI yang ingin membentuk angkatan kelima. Namun, pada 1 Oktober 1965 ia diculik dan dibunuh bersama para jenderal lainnya.

Baca Juga: Banyak Petani di Jawa Barat Sengsara, Ridwan Kamil Lebih Sibuk Berpolitik Ketimbang Urus Pertanian

Mas Tirtodarmo Haryono atau yang lebih dikenal dengan M. T. Haryono lahir pada 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur. Sebelum terjun ke dunia militer, M. T. Haryono pernah mengikuti Ika Dai Gaku (sekolah kedokteran) di Jakarta pada masa penjajagan Jepang. Pascakemerdekaan, ia bergabung bersama TKR dengan pangkat mayor.

Menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman membuatnya kerap dikirim untuk mengikuti perundingan internasional. Ia kemudian berkutat di Kementerian Pertahanan. M. T. Haryono juga sempa menjabat sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Ia menjadi Atase Militer RI untuk Negeri Belanda (1950) dan sebagai Direktur Intendans dan Deputy Ill Menteri/Panglima Angkatan Darat (1964). Namun pada 1965, M. T. Haryono gugur akibat pemberontakan G30S.

Donald Ignatius Panjaitan atau D. I. Panjaitan lahir pada 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli. Pada masa pendudukan Jepang, ia memasuki pendidikan militer Gyugun hingga ditempatkan di Pekanbaru, Riau sampai saat proklamas. Setelah itu, D. I. Panjaitan ikut membentuk TKR dengan latar belakang karier di bidang militer yang sangat cemerlang.

Ia pernah diangkat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat dan mendapat tugas belajar di Amerika Serikat. Sosok jenderal dari Sumatra ini tewas ketika terjadi pemberontakan PKI 1965.

Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Sutoyo Siswomiharjo lahir pada 28 Agustus 1922 di Kebumen. Pada masa pendudukan Jepang, ia mengikuti pendidikan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta, kemudian menjadi pegawai negeri di kantor kabupaten di Purworejo. Pascaproklamasi, dia memasuki TKR bagian kepolisian dan menjadi anggota Korps Polisi Militer. Ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto dan kemudian menjadi Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo.

Pada 1961, Sutoyo mendapat tugas menjadi Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat dan menentang pembentukan angkatan kelima. Ia gugur dalam peristiwa G30S.

Katamso dilahirkan pada 5 Februari 1923 di Sragen. Pada masa pendudukan Jepang, ia menjalani pendidikan militer PETA di Bogor hingga diangkat menjadi Shodanco di Solo. Pascaproklamasi, ia masuk TKR kemudian menjadi TNI.

Pada 1958, Katamso dikirim ke Sumatra Barat untuk menumpas pemberontakan PRRl sebagai Komandan Batalion A Komando Operasi 17 Agustus. Setelah itu menjadi Kepala Staf Resimen Team Pertempuran (RIP) II Diponegoro di Bukittinggi. Setelah Katamso diketahui diculik dan dibunuh, dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Baca Juga: Luhut Pandjaitan Ungkap Pertemuan dengan CEO TikTok Usai Fitur Perdagangannya Dilarang di Indonesia

Piere Tendean yang lahir pada 21 Februari 1939 di Jakarta mengikuti pendidikan di Akademi Militer Jurusan Teknik. Pada 1962, ia menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan. Ia pernah ditugaskan untuk menyusup ke Malaysia ketika Indonesia sedang berkonfrontasi dengan negara tersebut.

Pada April 1965, Pierre diangkat menjadi ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution. Namun dia ditangkap oleh kelompok PKI. Pierre sempat mengaku sebagai A. H. Nasution yang membuat sang jenderal bisa melarikan diri. Pada akhirnya, dia mengorbankan nyawa untuk melindungi jenderalnya.

Karel Satsuit atau K. S. Tubun lahir di Maluku Tenggara pada 14 Oktober 1928. Ia pernah menjadi agen polisi tingkat II hingga ditugaskan di Brimob Dinas Kepolisian Negara di Jakarta. Pada 1955, ia dipindahkan ke Medan dan tahun 1958 ke Sulawesi.

Saat terjadi pemberontakan G30S, ia tengah bertugas sebagai pengawal di kediaman Dr. Y. Leimena yang berdampingan dengan rumah Jenderal A. H. Nasution. K. S. Tubun ditembak hingga gugur dan jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Sugiyono lahir pada 12 Agustus 1926 di Gunung Kidul, Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang, ia menjalani pendidikan militer PETA hingga diangkat menjadi Budanco di Wonosari. 

Pada 1 Oktober 1965 Sugiyono yang baru kembali dari Pekalongan ditangkap di Markas Korem 072 yang dikuasai PKI. la dibunuh di Kentungan dan jenazahnya ditemukan pada 22 Oktober 1965 kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki.***

Sentimen: negatif (97.7%)