Sentimen
Negatif (64%)
21 Sep 2023 : 16.33
Informasi Tambahan

Event: Pemilu 2019

Pemilu 2024 Momentum Adu Ide dan Gagasan, Jangan Terhasut Narasi Hoaks dan Ujaran Kebencian

Tagar.id Tagar.id Jenis Media: Nasional

21 Sep 2023 : 16.33
Pemilu 2024 Momentum Adu Ide dan Gagasan, Jangan Terhasut Narasi Hoaks dan Ujaran Kebencian

TAGAR.id, Jakarta - Barisan Aktivis Timur menggelar diskusi publik dengan tajuk 'Hate Speech, Hoax dan Politik Identitas di Medsos' yang dilaksanakan di kawasan Jakarta Selata, Kamis, 21 September 2023.

Narasumber yang hadir yakni, Ketua Aliansi Timur Indonesia, Mance Kota, Pengamat Kebijakan Publik IDP LP, Riko Noviantoro dan Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas.

Sebagaimana diketahui, narasi hoaks dan ujaran kebencian kian menghangat menjelang gelaran demokrasi yakni pemilu 2024.

Pemilu 2024 diharapkan menjadi momentum adu gagasan dan ide dengan tak menggunakan narasi-narasi yang cenderung kepada narasi perpecahan.

Ketua Aliansi Timur Indonesia, Manche Kota melihat belakangan ini mulai muncur narasi-narasi pembelahan yang berkeliaran di media sosial oleh para influencer.

"Akhir-akhir ini kemudian kita melihat, masih saja ujaran kebencian, hoaks oleh teman-teman influencer," kata Manche Kota.

Menurut Manche, hoaks itu terus digaungkan, diternak dan kemudian berkembang di media.

"Nah ini tidak serta merta kita melihat bahwa ini muncul seketika. Tentu ada kepentingan yang kapitalisasikan di sini, ada kepentingan politik di sini," ujarnya.

Padahal, menurut Manche, atas situasi yang kian membelah ini sudah pernah ada dan dilakukan rekonsiliasi politik pasca gelaran pemilu 2019 silam.

"Sudah ada rekonsiliasi usai pilpres 2019 antara Pak Jokowi dengan Pak Prabowo, ketika mau jadi menteri masuk dalam kabinet," ungkapnya.

"Ini rekonsiliasi nasional tapi kemudian yang menjadi persoalan rekonsiliasi ini ternyata tidak turun sampai ke bawah dan itu persoalannya," katanya.

Manche menduga munculnya narasi-narasi yang cenderung mengarak kepada perpecahan ini tak lepas dari kepentingan politik kelompok tertentu dalam kontestasi politik lima tahunan.

"Jujur kita melihat ini ada kepentingan politik dari partai-partai kemudian juga kepentingan sama oleh teman-teman influencer," ujarnya.

"Kita tidak menuduh bahwa mereka dibayar dan sebagainya. Tapi kalau kita melihat pergerakan yang di media ya patut diduga bahwa ini agenda yang dimainkan," ungkapnya.

Terkait dengan meningkatkan hoaks, ujaran kebencian, menurutnya harus ada kesadaran bersama karena potensi konflik sosial itu tetap akan ada. Ditegaskan, harus punya niat bersama dalam membangun proses demokratisasi yang lebih baik.

"Negara kita ini kan sangat multi etnik, beragam. Jadi saya pikir harus ada kesadaran bersama bagaiman kita merawat demokrasi ini. Cukup sudahlah pembelahan bangsa ini terjadi di 2019, 2014 dan sebagainya, kita hentikan sudah," tegasnya.

Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, mengatakan narasi pembelahan dengan istilah cebong dan kampret sudah terhadi sejak tahun 2015 pasca pilpres 2014.

"Kalau kita lihat bagaimana ada istilah-istilah yang itu tidak patut di dalam demokrasi. Adanya cebong dan kampret tterus adanya istilah kadrun. Kalau kita lihat sebenarnya terjadinya istilah itu berdasarkan riset ternyata ini muncul di tahun 2015 pasca pilpres 2014," ujarnya.

Ditegaskan Fernando, pada tahun 2018 muncul lagi dengan istilah kadrun yang mempersepsikan sebagai lawan politik Jokowi pada tingkatan masyarakat.

"Jadi ini imbas dari 2014 ada muncul istilah cebong dan kampret. Yang pada akhirnya pada tahun 2018 juga muncul lagi, kadrun, kan gitu," ungkapnya.

" Jadi ini sangat merendahkan dari hal untuk segi kemanusiaan, bagaimana namanya manusia sebagai orang yang bermartabat disamakan dengan binatang. Jadi ini kurang patut, kurang pantas," tegasnya.

"Demokrasi seharusnya kita senang-senang, happy, namanya pesta, bagian dari konstitusi kita di mana diamanatkan setiap lima tahun sekali diadakan pemilu untuk regenerasi ataupun pemilihan kembali," jelasnya.

Lebih lanjut, dirinya berharap pada pilpres 2024 tak lagi terjadi adanya polarisasi, pembelahan di masyarakat dengan adanya narasi-narasi sesat yang memecah belah bangsa di media sosial ataupun dunia nyata.

"Kemudian kalau kita lihat apakah kira-kira 2024 yang akan datang akan sama atau lebih parah? Kalau harapan saya tentunya tidak adalah," jelasnya.

"Cuma kan kalau kita lihat dari upaya-upaya yang dibangun dari partai politik dalam membangun poros-poros koalisi ini kan tentu saya berharap niatan baik dari para tokoh-koh politik kita, para ketua umum partai untuk bagaimana agar kejadian politik di 2019 dan 2017 dan 2015 tidak terjadi lagi," ujarnya.

Pengamat Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro menegaskan, politik gagasan dan keadaban harus dihidupkan di segala ruang.

Diawali dengan menjaga harkat dan martabat manusia dengan menghindari penyebutan yang merendahkan.

Dari sisi kebijakan, Menkominfo punya kewenangan memblokir atau mematikan akun. Datanya, tahun 2021, Menkominfo menonaktifkan ratusan ribu akun.

Menurutnya, perangkat Pemerintah dan negara amat cukup untuk menghentikan hoaks dan narasi perpecahan di medsos.

Selain Menkominfo, Polri juga punya polisi cyber yang mampu melacak, memblokir, menindak para akun pelaku penyebar hoax dan pemecah belah.

"Instrumennya, SDM kita ada kok. Sangat bisa negara dan kepolisian utamanya, personelnya handal, alatnya canggih. Kalau perlu bikin Satgas khusus libatkan Kepolisian, Menkominfo, BSSN, dan laimnya. Capture semua peristiwa, selama proses Pemilu," katanya.

Satgas khusus ini, untuk menyasar para produsen hoax dan narasi pecah belah selama Pemilu.

"Demokrasi digital harus lebih sehat. Selain tentu mengandalkan nurani kita semua dari mukai elite politik dan masyarakat akar rumput," pungkasnya.[]

Sentimen: negatif (64%)