Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: Garuda Indonesia
Event: Pemilu 2019
Kab/Kota: Surabaya, Bogor, Senayan, Berlin
Tokoh Terkait
Koalisi "Gambot" Penampung Hati yang Terluka
Kompas.com Jenis Media: Nasional
USAI sudah masa “berkabung” Partai Demokrat pascaberpisah dengan Anies Baswedan dan Partai Nasdem. Tanda-tanda akan bergabungnya Demokrat ke Koalisi Indonesia Maju semakin santer terdengar dalam tiga hari terakhir ini.
Kode keras akan bergabungnya Demokrat ke koalisi pengusung bakal capres Prabowo Subianto justru disuarakan oleh para elite Partai Amanat Nasional (PAN) dan Golkar.
Seperti ingin mengorfimasi kepastian Demokrat “kawin” dengan Koalisi Indonesia Maju, sinyal ada partai berwarna biru dan ketua umumnya masih muda serta tampan akan masuk koalisi menjadi pertanda berlabuhnya partai berlogo mercy itu.
Kedatangan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke kediaman Prabowo di Hambalang, Bogor, Jawa Barat (Sabtu, 17 September 2023) disertai fungsionaris Demokrat serta disambut elie-elite partai anggota Koalisi Indonesia Maju, menjadi akhir dari “drama” yang mengharu biru sejak 5 September lalu.
Usai ditinggal “kawin” Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dengan deklarasi di Hotel Majapahit, Surabaya, 5 September 2023 lalu, SBY seperti mewakili perasaan hati putranya yang kecewa dan marah atas sikap Anies Baswedan.
Tidak menunggu lama, Agus Harimurti Yudhoyono yang gagal didapuk menjadi cawapresnya Anies Baswedan menyatakan keluar dari Koalisi Perubahan.
Ajakan untuk bergabung kembali dan mendukung pasangan Anies – Cak Imin, baik dari PKB maupun PKS, tidak digubris Demokrat.
Usai “menjomblo” sekitar kurang dari dua minggu, akhirnya Demokrat mantap memilih untuk berada di barisan Koalisi Indonesia Maju.
Bergabungnya Demokat dalam Koalisi Indonesia Maju bersama Gerindra, Golkar, PAN, Partai Bulan Bintang, Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) semakin menambah “sesak” jumlah pendukung pencapresan Prabowo.
Walau belum secara resmi menyatakan dukungannya terhadap pencapresan Prabowo, saya prediksi PSI akan berlabuh bersama Koalisi Indonesia Maju. Gelagat para elite PSI dan kedekatannya dengan Prabowo, membuat saya yakin PSI akan bersama Prabowo.
Kumulatif prosentase suara di Pemilu 2019 maupun raihan total kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Koalisi Indonesia Maju jelas melebihi ketentuan pengajuan pasangan Capres – Cawapres seperti yang disyaratkan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Untuk bisa mengajukan pasangan kandidat presiden dan wakil presiden harus memiliki minimal 115 kursi di parlemen. Adapun penguasaan Koalisi Indonesia Maju mencapai 261 kursi di DPR.
Jika mengikuti ketentuan persyaratan prosentase suara, jumlah prosentase suara partai-partai yang terwakili di DPR dan partai “Parnoko” alias partai nol koma di Koalisi Indonesia Maju juga berada di atas ketentuan ambang batas 25 persen.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN Ketua Umum Partai Gelora Anies Matta, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus bakal calon presiden Prabowo Subianto, dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra (kiri ke kanan) foto bersama di Kantor DPP Partai Golkarm Jakarta. Dalam konferensi pers, Prabowo menjelaskan landasan yang telah dicapai pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi akan terus dipertahankan.Gabungan prosentase raihan suara Koalisi Indonesia Maju di Pemilu 2019 mencapai 42,63 persen.Jika dibandingkan dengan koalisi pengusung Ganjar Pranowo yang didukung PDIP, PPP, Hanura dan Perindo, total kursi di DPR hanya berjumlah 147.
Sementara koalisi pendukung Anies – Cak Imin beroleh 167 kursi di DPR, hasil gabungan kursi Nasdem, PKB serta PKS.
Dilema Koalisi GambotSengaja saya meminjam istilah “gambot” di dunia otomotif untuk menggambarkan besarnya jumlah partai-partai yang bergabung d Koalisi Indonesia Maju. Pecinta otomotif kerap menamakan “gambot” sebagai padanan kata dari bentuknya yang besar dan tambun.
Koalisi Indonesia Maju seperti mengulang ”cerita lama” di perhelatan Pilpres 2014 silam. Saat itu pasangan Prabowo – Hatta Radjasa juga didukung Gerindra, Golkar, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Perindo.
Walau menyatakan netral, Demokrat pada dasarnya condong ke Prabowo mengingat ada sosok Hatta Rajasa yang juga besan dari SBY.
Koalisi “gambot” pengusung Prabowo – Hatta Rajasa yang dikenal dengan sebutan Koalisi Merah Putih pada akhirnya takluk kepada Koalisi Indonesia Hebat yang berintikan PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI.
Tidak ada linearitas antara koalisi “gambot” dengan kemenangan di ajang Pilpres.
Kemenangan di Pilpres lebih ditentukan kepiawaian partai dalam memobilisasi dukungan di akar rumput, keterlibatan relawan yang bahu membahu menjadi “die hard” calon, serta racikan “resep” kemenangan para konsultan dan faktor “lucky” dalam momentum politik.
Banyaknya partai dalam koalisi “gambot” justru bisa menyulitkan koordinasi dan sinkronisasi antarpartai karena ada banyak “kepala” dan banyak “pintu”.
Keberadaan elite yang merasa “senior” dan “lebih berpengalaman” tentu bisa tersinggung jika ditempatkan di tim pemenangan sebagai anggota.
Belum lagi jika urusan kepangkatan dalam militer dilibatkan – terlepas mereka sudah lama meninggalkan panggung aktif sebagai personel militer dan polisi - tentu pensiunan jenderal tidak akan sudi dipimpin oleh pensiunan mayor.
Ibarat seperti di ring tinju, petinju kelas berat bergerak sangat lamban walau memiliki pukulan yang mematikan. Berbeda dengan petinju kelas bantam atau welter, pergerakannya di ring begitu lincah dan menari-nari mengelabui lawan.
Ada persoalan klasik yang hingga kini belum ada kata sepakat untuk posisi cawapres pendamping Prabowo.
Masuknya Demokrat ke dalam Koalisi Indonesia Maju, apalagi dengan posisi terbesar ke tiga dalam hal penguasaan kursi di DPR setelah Golkar dan Gerindra, tentu sangat muskil jika tidak ada transaksi politik di balik itu semuanya.
Seperti pemberitaan majalah berita mingguan terbaru, Gerindra menawarkan posisi empat menteri untuk Demokrat andai Prabowo menang Pilpres 2024.
Tentu saja tawaran bagi Demokrat tersebut “dikunci” dengan peringatan awal “tidak ada posisi cawapres bagi AHY”.
Cara Gerindra melokalisasi Demokrat dengan memberi empat kursi menteri termasuk kepastian AHY sebagai salah satu menteri koordinator, bisa menjadi strategi Prabowo untuk melempangkan jalan kandidat cawapresnya agar tidak diganggu dari dalam.
Ibarat memiliki banyak anak, Prabowo yang lama menjadi “single parent” harus memberi keadilan bagi partai-partai yang bergabung di koalisinya.
Jika Golkar tetap ngotot meminta jatah cawapres untuk Airlangga Hartarto, maka PAN yang hanya memiliki kursi hampir setengah kursi Golkar di parlemen juga “ngotot” minta jatah. PAN tetap rajin berjualan nama Erick Thohir sebagai pendamping Prabowo.
Lebih menggemaskan lagi, Partai Bulan Bintang yang absen di parlemen karena hanya meraih 0,79 persen di Pemilu 2019, juga memasang selera tinggi. Yusril Ihza Mahendra sang ketua umum PBB juga menyodorkan diri sebagai kandidat cawapres.
Walau tidak dinyatakan eksplisit, saya juga ragu jika partai baru seperti Gelora tidak mengajukan “permintaan” alias persyaratan saat bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju.
Belum lagi PSI dan partai lain yang mungkin akan bergabung.
Ingatlah ada adagium dalam politik yang berlaku abadi dan kekal sepanjang masa: tidak ada makan siang yang “gretongan”. Duduk dan mengambil piring makan di warung pinggir jalan saja terkadang sudah dianggap makan dan diharuskan bayar.
Demokrat kehilangan momentum sejarahBatalnya Demokrat melakukan “ijab kabul” politik dengan koalisi pengusung Ganjar Pranowo terutama dengan PDIP menjadi catatan sejarah yang terus berulang.
Kegagalan menyatukan elite “merah” dan “biru” sepertinya terhalang Tembok Berlin yang dikenal kokoh dan ketat penjagaannya.
Menyatukan Demokrat dan PDIP tidak sekadar menyatukan aras politik pada jalan perjuangan yang sama, tetapi juga mengguyubkan kembali relasi SBY – Megawati Soekarnoputri yang dianggap publik “tidak harmonis”.
Padahal Puan Maharani dan AHY telah membuka simpul persahabatan melalui pertemuan yang begitu akrab di Plataran Hutan Kota Senayan, Jakarta, 18 Juni 2023 lalu.
Publik – termasuk saya – begitu berharap silaturahmi tersebut tidak sekadar basa-basi politik saja, tetapi juga membuka kerja sama politik yang kongkret.
Andai saja Demokrat “bergandengan” tangan politik dengan PDIP dalam mendukung Ganjar, maka tidak saja relasi SBY dan Megawati yang tertaut, tetapi di akar rumput akan mengurangi tensi ketegangan antara simpatisan “merah” dan “biru” yang selama ini terbelah.
Dalam tataran lokal yang saya ikuti dengan langsung, koalisi PDIP dengan Demokrat telah berjalan apik saat memenangkan Zainal Arifin Paliwang dan Yansen Tipa Padan di Pilgub Kalimantan Utara 2020 lalu.
Walau kalah di Pilgub Kalimantan Barat 2018 saat mengusung Karoline Margreth Natasha – Suryadman Gidot, kerja sama Demokrat dan PDIP juga terjadi di Jawa Tengah saat PDIP mengajukan Ganjar Pranowo – Taj Yasin.
Nasi sudah menjadi bubur, demikian kata pepatah dan Demokrat telah “move on” memilih “pacar” yang baru.
Demokrat begitu “getol” mengusung jargon perubahan untuk perbaikan karena menganggap era SBY saat menjadi presiden jauh lebih baik di saat Joko Widodo menjadi presiden.
Lucunya, kini Demokrat menjadi pendukung Prabowo yang jelas-jelas bisa menjadi menteri karena uluran tangan Jokowi.
Dan Prabowo menganggap Jokowi adalah salah satu presiden terbaik dan bertekad akan meneruskan program pembangunannya yang terbukti menyejahterakan rakyat jika nantinya menang di Pilpres.
Kita tunggu “teriakan” kampanye SBY, AHY, Ibas dan para elite Demokrat yang siap “turun gunung” demi kemenangan Prabowo dengan memuja-muji program-program pembangunan era Jokowi.
Sekali lagi, lidah memang tak bertulang di jagat politik. Senin bilang tempe, selasa menyebut kerupuk serta rabu bilang bakwan. Entah hari-hari yang lain.
-. - "-", -. -Sentimen: positif (100%)