Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Gelar Diskusi Publik, Fraksi Gerindra MPR Bahas Penguatan Posisi MPR
Keuangan News Jenis Media: Nasional
KNews.id – Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra) MPR RI kembali mengadakan Diskusi Publik Akademik dengan menggandeng sejumlah anggota MPR/DPR RI dan pakar. Diskusi ini bertema ‘Mengembalikan MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara: Kemajuan atau Kemunduran dalam Demokrasi?’.
Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan pasca 25 tahun era reformasi, kini saatnya merenungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara. Hal ini disampaikannya dalam pidato pengantar Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023.
Menanggapi hal tersebut, dalam diskusi yang berlangsung, salah seorang pakar Fuad Bawazier mengungkapkan kesepakatan dan semangat merupakan hal terpenting dalam penyelenggaraan negara. Jika semua hal tersebut disepakati, bukan tidak mungkin mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dapat diwujudkan.
Seperti halnya pada masa Orde Baru, kata Fuad, hal tersebut dapat terwujud karena ada semangat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan yang menginginkan adanya lembaga tertinggi untuk mengambil keputusan sepihak di saat negara berada dalam keadaan mendesak ataupun berbahaya.
Ia menjelaskan kala itu MPR merupakan pengejawantahan dari kekuasaan rakyat. Di masa Reformasi, euforia demokrasi sangatlah menggebu secara nasional. Akhirnya, semangat yang sebelumnya ada pun berubah. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan semua setara sebagai lembaga negara.
“Tentu saja, tidak serta-merta mengembalikan segala macam hak dan kewenangannya seperti pada saat Orde Baru. Ada yang harus disesuaikan dengan dinamika masyarakat saat ini,” ujar Fuad dalam keterangannya.
Sementara itu, Sekretaris F-Gerindra MPR Elnino Mohi menyebut penguatan kembali MPR pertama kali disuarakan oleh DPD. Menurutnya, hal tersebut disuarakan karena ada ketimpangan wewenang antara DPR dengan DPD.
Elnino berpendapat ketimpangan ini menimbulkan perdebatan, yakni mayoritas dari anggota DPR akan menolak (penyetaraan wewenang DPR dengan DPD). Sebab nantinya dapat meningkatkan kompleksitas dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang-undang.
Akhirnya, usulan yang relatif disetujui adalah penguatan MPR dibandingkan dengan menyetarakan antara DPR dengan DPD secara langsung. Menurutnya, mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi merupakan cara untuk efisiensi waktu dalam pengambilan suatu keputusan.
Dengan demikian, anggota DPR dan DPD yang tergabung dalam MPR dapat turut serta dalam pengambilan keputusan. MPR juga dapat kembali membuat ketetapan dalam bentuk TAP MPR-RI yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam pembuatan undang-undang selain dari UUD 1945.
Dalam kesempatan ini, seorang pakar lainnya Martin Hutabarat menegaskan perlunya memperjelas maksud dari mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
“Lembaga tertinggi negara seperti apa dan bagaimana yang diinginkan saat ini. Lembaga tertinggi negara yang sesuai dengan UUD 1945 atau yang tidak sesuai dengan UUD 1945,” tutur Martin.
Martin menilai semua pihak harus mengevaluasi isu tersebut, menyerap aspirasi rakyat, lalu membuat kajiannya. Dengan demikian, dapat diketahui untung dan ruginya jika MPR kembali menjadi lembaga tertinggi. Anggota MPR RI Sodik Mudjahid menjelaskan euforia demokrasi di Indonesia berlangsung sangat masif dan cepat pasca reformasi. Menurutnya, demokrasi di Indonesia sudah cenderung mengarah ke demokrasi liberal.
“Seharusnya, kita tetap berpegang pada Pancasila, dari mulai ekonomi dan juga politiknya yang berlandaskan pada musyawarah. Pada intinya, kita harus mengevaluasi sistem yang ada saat ini,” katanya.
Adapun kesimpulan dari diskusi ini menyebut upaya mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan suatu hal yang mungkin dapat diwujudkan. Namun, hal tersebut tidaklah mudah karena akan menimbulkan perdebatan dari berbagai kalangan masyarakat. Oleh karena itu, wacana ini harus disertai dengan kajian akademis yang matang.
Untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi, lanjutnya, tidak serta-merta berbentuk seperti masa lalu. Diperlukan berbagai penyesuaian dengan dinamika masyarakat saat ini. Salah satu kuncinya adalah semangat dan kesepakatan penyelenggaraan negara oleh pemerintah dan seluruh aspek bangsa.
Ia mengingatkan Indonesia tentu tidak ingin tercatat sebagai negara yang mengalami kemunduran dalam aspek demokrasi. Namun menurutnya, jangan sampai bangs aini terlalu terlena dengan euforia kebebasan yang membuat Indonesia ‘terjerumus’ ke dalam demokrasi liberal. Apalagi Indonesia memiliki Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang dapat dijadikan basis dalam setiap aspek kehidupan, hal ini menurutnya patut disadari dan dihidupkan ke setiap generasi bangsa. (Zs/Dtk)
Sentimen: positif (100%)