Sentimen
Negatif (100%)
31 Agu 2023 : 11.10
Informasi Tambahan

Hewan: Ayam, Monyet

Kab/Kota: Sukoharjo, Tangki, Dukuh, Sukabumi, Kamal

Kasus: kebakaran

Merindukan Lagi Lengkung Pelangi di Tugusari

31 Agu 2023 : 11.10 Views 2

Solopos.com Solopos.com Jenis Media: News

Merindukan Lagi Lengkung Pelangi di Tugusari

SOLOPOS.COM - Suasana Dusun Tugusari, Desa Kamal, Kecamatan Bulu Sukoharjo, yang sejak Juni 2023 lalu mengalami krisis air akibat kemarau panjang, Rabu (16/8/2023). (Solopos/Ayu Prawitasari)

SUKOHARJO, Solopos.com—Di lerang perbukitan Kamal, Dukuh Tugusari, Desa Kamal, Kecamatan Bulu, Sukoharjo, Purwanti, 20, keluar sebentar dari rumah. Hari itu menjelang sore, namun suasananya sangat sepi. Tidak ada orang yang lalu-lalang di jalanan desa atau sekadar bercakap-cakap di luar rumah. Semua orang meringkuk di rumah masing-masing.

Kondisi di lerang perbukitan tersebut begitu berbeda dengan suasana perkampungan di bawahnya. Musik dangdut dan campursari terdengar ingar-bingar di sepanjang perjalanan saya menuju kampung itu.

Promosi7 layanan digital untuk indonesia terus maju

Pada Rabu (16/8/2023) malam, semua kampung di Desa Kamal dan secara umum kampung-kampung di seluruh Indonesia akan menggelar tirakatan. Warga menyambut datangnya Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dengan penuh suka cita. Semua bersiap-siap.

Beberapa orang membangun panggung, mengecek sound dari pengeras suara, menyiapkan konsumsi, sementara yang lain mulai menutup jalan. Sibuk-sibuk, semua sibuk. Namun, yang terjadi di Tugusari justru sebaliknya. Suasananya senyap, tak ada kegiatan berarti di lereng perbukitan Kamal tersebut.

Sore itu, Purwanti menengok sebentar suasana di luar rumah sambil memanggil sang adik, menyuruhnya segera kembali ke rumah. Magrib datang dalam hitungan menit. Wajah adiknya cemberut tatkala mendengar teriakan sang kakak yang sedang hamil 6 bulan itu. Anak kecil tersebut kesal karena baru saja keluar rumah, namun sekarang sudah diminta kembali.

Hari-hari bisa bermain di luar rumah adalah sebuah keistimewaan bagi anak kecil itu. Panas yang begitu menyengat membuatnya tak pernah mendapat izin keluar rumah. Itu belum ditambah sejak Juni lalu air di sumur pamsimas (Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Kebutuhan Masyarakat) tak lagi mengalir lancar. Seringkali air keluar hanya dua hari sekali sehingga warga pun sangat mengandalkan bantuan air dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang datang sekali atau kali sepekan.

Pernah Purwanti memberi izin adiknya bermain pada siang hari. Saat itu sedang terik-teriknya. Selepas bermain, adiknya sakit. Dimulai dari keringat berlebih hingga kemudian kepalanya pusing. Flu pun hadir. Semenjak peristiwa itu, Purwanti melarang adiknya keluar rumah pada siang hari. Sang adik hanya boleh bermain pada sore hari.

“Panas tahun ini berbeda. Membuat badan sakit semua saking panasnya. Berada di luar rumah agak lama selalu membuat tubuh saya lemas dan pusing. Daripada terjadi apa-apa pada janin saya, lebih baik saya beraktivitas di dalam rumah saja. Saya juga takut terjadi apa-apa pada adik saya. Kalau bermain di luar itu kan kotor, sementara air bersih susah. Lebih baik bermain dengan saya di rumah saja,” kata dia.

Saat persediaan air di rumah habis, menurut Purwanti, warga harus mengambil air di sumur pamsimas yang kontur jalannya naik dengan membawa jeriken. Jarak sumur pamsimas dengan rumah Purwanti sekitar satu kilometer. Kerap kali aktivitas mandi dan cuci warga pun dilakukan di sana. Kondisi tersebut membuat Purwanti sedih, apalagi saat ini dia sedang hamil. Daripada berisiko harus berjalan jauh, Purwanti memutuskan mencuci di rumah saja. Sepekan sekali pun tak apa asal aman.

Bukan itu saja yang membuat perempuan tersebut bersedih. Dia mengaku sebenarnya tak tega melihat sang adik bermain sendirian di rumah. Namun, perempuan itu tak bisa berbuat apa-apa. “Segalanya begitu berbeda dibandingkan masa saya kecil dulu,” kenang dia.

Dulu, Purwanti mengingat-ingat musim penghujan selalu datang lebih panjang. Purwanti kecil bisa bermain air hujan di halaman rumah, keluar rumah sesuka hati tanpa dibatasi jam yang ketat, hingga menikmati pelangi yang melengkung dari lereng bukit. Semua itu kini hanya menjadi kenangan. Aska adiknya yang baru kelas II SD itu hanya bisa membayangkan cantiknya pelangi lewat cerita sang kakak.

Panas dan air yang langka adalah kombinasi pencipta kegelisahan yang sempurna. Bayangan-bayangan buruk kerap muncul di kepala Purwanti, menumpuk seperti cucian kotor yang baru bisa dicuci sepekan sekali gara-gara harus irit air. Perempuan itu mengaku ingin persalinannya lancar tanpa takut kekurangan air. Dia juga berharap suaminya yang merantau di Sukabumi, Jawa Barat, bisa pulang kampung saat ia melahirkan nanti. Purwanti ingin ditemani sang suami.

Sejatinya bukan hanya kekeringan yang mengganggu warga Desa Kamal. Walidi, 62, ayah mertua Purwanti, menjelaskan serbuan monyet ekor panjang dari hutan rakyat yang lokasinya di atas bukit juga sangat meresahkan. Kera-kera itu adalah kera-kera kelaparan. Bebeberapa kali kejadian kebakaran hutan ditambah musim kemarau panjang membuat binatang-binatang itu kesusahan mencari makan sehingga akhirnya turun ke bawah atau ke permukiman penduduk.

“Monyet-monyet itu turun ke permukiman warga, menjarah ketela pohon, pepaya, sayuran, dan masih banyak lagi,” kata Walidi. Jumlah monyet-monyet tersebut, sambung dia, mencapai seratusan ekor lebih. Yang membuat warga kesal, monyet-monyet tersebut tidak takut sama sekali pada manusia. Mereka bahkan kerap nongkrong di rumah-rumah penduduk desa, bermain di sana. Kemunculan monyet-monyet itulah yang menyebabkan para orang tua melarang anak-anak mereka bermain di luar rumah. Mereka takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Mengutip laman sukoharjo.go.id, Senin (28/8/2023), terdapat 531 anak (usia 0-14 tahun atau setara kelas VIII SMP) pada 2022 di Desa Kamal. Jumlahnya menjadi 745 anak untuk kategori 0-19 tahun atau setara SMA. Banyak dari anak-anak ini yang menurut Walidi hanya diasuh ibu serta kakek-nenek mereka karena para ayah merantau ke luar kota, seperti halnya suami Purwanti. Sawah tadah hujan ditambah musim kering yang berkepanjangan tidak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup para pemuda yang sudah berkeluarga.

Pendidikan Rendah

Persoalannya, dengan latar belakang pendidikan rendah, para laki-laki yang merantau di luar daerah kebanyakan hanya bisa bekerja di sektor informal. Suami Purwanti, contohnya. Dia berjualan mi ayam di Sukabumi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya. Dua pekan sekali, sang suami mengirimi Purwanti Rp500.000 untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Masih mengacu laman sukoharjo.go.id, mayoritas penduduk di Desa Kamal memang hanya tamatan SD. Jumlahnya mencapai 931 orang, disusul kemudian yang tidak/belum bersekolah sebanyak 478 orang, belum tamat SD/sederajat sebanyak 428 orang, lulusan SMP sebanyak 382 orang, lulusan SMA/sederajat sebanyak 419 orang, diploma I-II 7 orang, diploma III 26 orang, dan diploma IV atau setara S1 sebanyak 4 orang. Tidak ada warga yang merupakan lulusan S2 maupun S3. “Paling masuk akal memang merantau. Jadi petani di sini enggak bisa diandalkan,” tambah Walidi.

Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sukoharjo Ariyanto Mulyatmojo menjelaskan ada 14 lokasi kekeringan di 5 desa-3 kecamatan di Sukoharjo pada 2023 ini. Kamal termasuk salah satunya dan tergolong daerah yang mengalami krisis air lebih awal dibandingkan daerah lain karena BPBD telah mendistribusikan bantuan air di sana sejak Juli lalu. Pada saat itu, belum ada daerah lain yang mengajukan permohonan serupa.

“Jadi Kamal ini karakter daerahnya memang kering ya. Namun, El-Nino membuat situasinya semakin parah. Musim kemarau datang lebih cepat sementara masa keberlangsungannya menjadi lebih panjang,” jelas dia.

Ariyanto menambahkan kemarau sepanjang 2023 di Sukoharjo lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, Ariyanto menyebutkan BPBD menyalurkan 100 tangki air sepanjang 2022, sementara pada Juli hingga pertengahan Agustus 2023, distribusi air sudah mencapai 50 tangki lebih. Dengan surat edaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait ancaman El Nino hingga awal tahun depan, Ariyanto mengaku akan berkoordinasi dengan instansi terkait dan bahkan swasta dalam hal penyediaan air bersih.

Sementara itu, juru kampanye iklim dan energi dari Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, mengatakan bumi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Suhu rata-rata di bumi telah meningkat 1,1 derajat celsius sejak 1880 lalu. Suhu bumi juga diperkirakan melewati titik kritis 1,5 derajat celsius dalam lima tahun mendatang dengan risiko kekeringan mencapai tiga kali lipat lebih besar.

Padahal mengutip laman pusatkrisis.kemkes.go.id, pada 2015 lalu suhu di muka bumi sudah mencapai titik terpanas sepanjang sejarah, yaitu naik 0,73 derajat Celcius atau di atas rata-rata 1961-1990. Panasnya suhu bumi ini terjadi akibat pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, sebagai penyebab emisi gas buang hingga mengakibatkan efek pemanasan global.

Laman itu menyebut pemanasan global berpengaruh besar terhadap kesehatan manusia karena bisa menimbulkan bencana kekeringan, kekurangan air bersih, hingga mengancam sumber-sumber makanan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan memprediksi antara tahun 2030–2050, perubahan iklim menyebabkan peningkatan angka kematian manusia sebanyak 220.000 jiwa per tahun akibat malnutrisi, kelaparan, diare, hingga udara panas.

Adila menambahkan perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini memang menyebabkan banyak gangguan. “Bukan hanya panas yang luar biasa, tapi muncul juga potensi malnutrisi atau kebutuhan gizi yang tidak bisa dipenuhi akibat potensi gagal panen yang disebabkan kekeringan. Jadi anak jelas ikut terdampak,” lanjut dia.

Di NTT sebagai contoh, sambung Adila, hak anak di bidang pendidikan terampas akibat bencana kekeringan. Waktu bermain dan waktu bersekolah anak-anak di sana tidak bisa terpenuhi karena mereka harus membantu orang tua mencari air dari sumber air yang lokasinya sangat jauh dari permukiman. “Nah yang terjadi di NTT memang seperti itu. Sementara kalau yang di Sukoharjo itu kan anak-anak kehilangan sosok bapaknya karena sang bapak harus merantau dengan pekerjaan yang juga tidak menjanjikan banyak penghasilan,” kata dia. Berbeda dengan yang terjadi NTT, hak anak yang terampas di Tugusari adalah mendapatkan pengasuhan dari sosok ayah serta bermain dan bersosialisasi dengan kawan-kawan mereka di ruang terbuka.

Dengan kondisi seperti ini, Green Peace mendorong pemerintah segera melakukan intervensi serius. Harus ada pendataan secara menyeluruh terhadap bencana kekeringan disertai mitigasi bencana supaya warga tidak semakin menderita. Di saat warga begitu terbebani dengan banyaknya bencana, menurut Adila, di situlah perempuan dan anak selalu dalam posisi yang lebih rentan sebagai korban.

Desakan Adila ini sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan UNICEF dalam sebuah laporan yang berjudul The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index. “Krisis iklim adalah krisis hak anak,” begitu sebut perwakilan UNICEF Indonesia Debora Comini, dalam laporan tersebut seperti yang dipublikasikan di unicef.org.

Laporan ini mengungkap sekitar 1 miliar anak atau hampir separuh dari total 2,2 miliar anak di seluruh dunia hidup di salah satu dari 33 negara yang berkategori risiko sangat tinggi (extremely high-risk). Pada posisi ke-46, Indonesia menjadi salah satu dari negara dengan risiko tinggi. Anak-anak Indonesia mengalami keterpaparan tinggi terhadap penyakit tular vektor, pencemaran udara, banjir rob, kelangkaan air, dan masih banyak lagi.

Investasi yang besar pada layanan sosial, khususnya kesehatan dan nutrisi, pendidikan, perlindungan sosial, dan inklusi keuangan, akan menciptakan perbedaan besar dalam upaya negara melindungi masa depan anak dari dampak perubahan iklim. Dibandingkan orang dewasa, anak-anak membutuhkan lebih banyak makanan dan air per kilogram berat badan mereka. Kemampuan anak bertahan dari cuaca ekstrem juga lebih juga rendah sehingga anak menjadi lebih rentan terdampak hal-hal seperti bahan kimia beracun, perubahan suhu, maupun penyakit.

“Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Jika kita bertindak sekarang, kita akan dapat mencegah situasi ini menjadi lebih buruk,” tambah Debora Domini.

Suara azan Magrib lamat terdengar di Tugusari. Suasana desa itu kian malam kian senyap. Tak seperti anak-anak di bawah perbukitan yang beramai-ramai menuju ruang terbuka untuk ikut tirakatan dan menerima berbagai hadiah hasil lomba Agustusan, anak-anak di Tugusari justru berdiam diri di rumah masing-masing. Termasuk juga Aska yang memilih menghabiskan malam itu dengan menonton TV bersama sang kakak.

Orang dewasa yang hanya perempuan dan kelompok lansia bergegas menuju masjid untuk menunaikan salat berjemaah. Angin sore menuju malam bertiup sangat kencang, menimbulkan bunyi-bunyian pada jendela dan daun pintu, menimpali suara aliran air dari kamar mandi yang lamban.

Warga lansia yang dipimpin Walidi menjalankan Salat Magrib dan berdoa bersama. Salah satu doa itu barangkali sebuah harapan agar anak-anak mereka di perantauan selalu dalam keadaan baik-baik saja. Sebuah harapan supaya anak-anak mereka bisa kembali ke rumah, melihat wajah-wajah para istri dan anak-anak mereka yang sudah sekian lama mereka tinggalkan.

 

Sentimen: negatif (100%)