Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Andalas
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Ide Amendemen UUD 1945 dari MPR-DPD Dianggap Buat Gaduh Jelang Pemilu
Kompas.com Jenis Media: Nasional
JAKARTA, KOMPAS.com - Gagasan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mengusulkan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 supaya sesuai nilai-nilai Pancasila, penataan ulang MPR sebagai lembaga tertinggi negara, serta pemilihan presiden tak langsung dinilai hanya membuat gaduh menjelang Pemilu 2024.
Gagasan itu disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti dalam pidato terpisah pada Sidang Tahunan 2023, Rabu (16/8/2023) lalu.
Menurut pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, jika dilakukan perubahan dengan mekanisme Pasal 37 UUD, maka konsentrasi publik dan elite politik akan terbelah dua.
"Pertama tahapan Pemilu plus kampanye yang sudah dan akan berlangsung, dan kedua proses plus substansi amandemen. Bayangkan riuh rendahnya. Isu amandemen hanya akan merusak fokus penyelenggaran pemilu saja," kata Feri saat dihubungi pada Jumat (18/8/2023).
Feri menilai gagasan yang disampaikan oleh Bambang dan La Nyalla seolah memperlihatkan upaya elite politik mengamankan kekuasaan dengan dalih amendemen UUD 1945.
Baca juga: Fahri Hamzah: Wacana Amendemen UUD 1945 Tidak Boleh Mendekati Pemilu
"Elite politik tidak berani bertarung secara fair dan demokratis karena memang tujuannya berbeda," ujar Feri.
Feri mencurigai ada maksud lain di balik gagasan kontroversial yang dilontarkan Bambang dan La Nyalla.
Kekhawatiran Feri adalah gagasan itu digunakan menjadi tameng buat memperpanjang kekuasaan dengan cara yang seolah-olah legal dengan membuat aturan yang disetujui oleh para elite politik.
"Seolah-olah ini formil dan legal, padahal ini adalah taktik politk semata yang berupaya mengelabui masyarakat luas dan lawan-lawan politik yang tidak setuju," ucap Feri.
Sebelumnya diberitakan, Bambang dalam pidato di Sidang Tahunan mengatakan, pada 14 Februari 2024 mendatang bangsa Indonesia akan menunaikan mandat konstitusi untuk mewujudkan demokrasi melalui pemilihan umum, untuk memilih wakil rakyat di DPR/DPD/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Baca juga: Soal Wacana Amendemen UUD 1945, Mahfud: Boleh Saja jika Situasi Berubah, tapi...
Sedangkan peristiwa Reformasi 1998 telah melahirkan perubahan undang-undang dasar, yang sekian lama dianggap tabu untuk diubah.
Selain itu, kata Bambang, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah menata ulang kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, dan sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru. Penataan ulang itu juga terjadi kepada MPR.
"Majelis yang semula merupakan lembaga tertinggi negara, berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi negara. Majelis tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945," kata Bambang.
Menurut Bambang, saat ini bangsa Indonesia memutuskan pelaksanaan Pemilu 2024, dan semua pihak telah bekerja keras menyiapkannya agar berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) dan jujur serta adil (Jurdil).
Baca juga: Bamsoet Usul Amendemen UUD 1945, Mahfud: Silakan Saja, Itu Hak Setiap Orang
Pelaksanaan Pemilu setiap 5 tahun sekali merupakan perintah langsung Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, yang secara tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali.
Akan tetapi, kata Bambang, sebagaimana diketahui, pemilihan umum terkait dengan masa jabatan anggota-anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden.
Masa jabatan seluruh Menteri anggota kabinet, juga akan mengikuti masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang telah ditentukan oleh undang-undang dasar hanya selama 5 tahun.
Bambang mengatakan, yang saat ini menjadi persoalan adalah seandainya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi.
Menurut dia, jika kondisi itu terjadi maka secara hukum tentunya tidak ada Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu.
Baca juga: Pimpinan Komisi II Minta MPR Tak Munculkan Wacana Amendemen UUD 1945
"Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum? Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?" papar Bambang.
Menurut Bambang sampai saat ini mereka belum menemukan jalan keluar secara konstitusional jika kondisi seperti itu terjadi.
Bambang menjelaskan, pada masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai ketetapan yang bersifat pengaturan, untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi kita.
"Apakah setelah perubahan undang-undang dasar MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan Ketetapan-Ketetapan yang bersifat pengaturan? Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara," ucap Bambang.
Baca juga: Wacana MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara, PKS: Kita Siap, Asal Semua Sepakat
Bambang memaparkan, sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.
"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," ucap Bambang.
Dalam kesempatan yang sama, La Nyalla mengatakan Indonesia sebagai negara kepulauan sudah seharusnya mampu mewujudkan kemerdekaan, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
"Mari kita hentikan kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara liberal," kata La Nyalla.
Menurut La Nyalla, cara berpolitik yang terjadi saat ini di Indonesia telah menjadikan kehidupan bangsa kehilangan kehormatan, etika, rasa dan jiwa nasionalisme serta patriotisme.
Baca juga: MPR-DPD Usul Penghapusan Pilpres Langsung, PDI-P: Perlu Kajian Mendalam
"Pemilihan Presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja, telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa," ujar La Nyalla.
Menurut La Nyalla, dalam proses politik yang liberal, rakyat akan kesulitan mencari pemimpin nasional yang tepat karena popularitas para kandidat bisa dibuat-buat atau fabrikasi.
"Begitu pula dengan elektabilitas yang bisa digiring melalui angka-angka. Lalu disebarluaskan oleh para buzzer di media sosial dengan narasi-narasi saling hujat atau puja-puji buta," ucap La Nyalla.
Menurut La Nyalla, akibat kondisi seperti itu pada akhirnya rakyat pemilih disodori oleh realita politik yang dibentuk sedemikian rupa sesuai keinginan para elite.
La Nyalla mengatakan, Indonesia mempunyai pekerjaan yang lebih besar mendesak ketimbang disibukkan oleh hiruk-pikuk dan biaya mahal demokrasi ala Barat.
Baca juga: Jika MPR Jadi Lembaga Tertinggi, Surya Paloh: Konsekuensinya Pilpres Tak secara Langsung
"Indonesia harus menyiapkan diri menyongsong Indonesia Emas, dalam menghadapi ledakan demografi penduduk usia produktif," kata La Nyalla.
Dia menyampaikan, Presiden seharusnya mendapat dukungan penuh dari semua elemen bangsa. Sehingga percepatan terwujudnya cita-cita negara ini menjadi tekad bersama, seperti yang pernah kita nyatakan dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa.
-. - "-", -. -Sentimen: positif (80%)