Sentimen
Positif (100%)
18 Agu 2023 : 11.59
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Senayan, Lenteng Agung

Partai Terkait

Kompaknya MPR dan DPD Usulkan MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara...

18 Agu 2023 : 18.59 Views 3

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Kompaknya MPR dan DPD Usulkan MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara...

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI kompak mengusulkan agar MPR dikembalikan jadi lembaga tertinggi negara.

Gagasan ini disampaikan di hadapan Presiden, Wakil Presiden, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, para menteri, dan jajaran pejabat tinggi negara lainnya dalam Sidang Tahunan MPR 2023, Rabu (16/8/2023).

“Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri, saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu,” kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam pidatonya di Gedung Kura-kura Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Menurut Bamsoet, demikian sapaan akrabnya, ada persoalan-persoalan negara yang belum mampu terjawab oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Misalnya, apabila terjadi bencana alam yang berskala besar, pemberontakan, peperangan, pandemi, atau keadaan darurat lain yang menyebabkan pemilu tak dapat digelar sebagaimana perintah konstitusi. Dalam situasi demikian, tidak ada presiden dan wakil presiden yang terpilih dari produk pemilu.

Baca juga: Bamsoet Usul MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara, Sepakat dengan Megawati

Contoh tersebut menimbulkan pertanyaan, siapa pihak yang punya kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya demikian.

“Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum?” ucap Bamsoet.

“Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?” lanjutnya.

Sebelum konstitusi diubah, kata Bamsoet, MPR dapat menerbitkan ketetapan yang bersifat pengaturan untuk melengkapi kekosongan konstitusi. Namun, setelah amendemen UUD 1945, masalah-masalah demikian belum ada jalan keluar konstitusionalnya.

Sementara, merujuk ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan.

Kewenangan ini guna mengatasi dampak dari suatu keadaan fiskal maupun politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.

KOMPAS.com/ Tatang Guritno Ketua MPR RI Bambang Soesatyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2023). Atas alasan-alasan itulah, Bamsoet mendorong MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara.

“Hal itu memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua sebagai warga bangsa,” tuturnya.

Sementara, Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti dalam pidatonya menyampaikan, pihaknya mengusulkan agar MPR kembali jadi lembaga tertinggi dengan alasan demokrasi.

“Mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang berkecukupan, yang menampung semua elemen bangsa, yang menjadi penjelmaan rakyat sebagai pemilik dan pelaksana kedaulatan,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, La Nyalla juga menyinggung tentang sistem pemilihan presiden secara langsung yang menurutnya mahal dan justru merusak persatuan bangsa.

“Pemilihan Presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. Karena batu uji yang kita jalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas yang bisa difabrikasi,” ujar La Nyalla.

Dok. DPD RI Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti mendesak pemerintah untuk segera mengusut skandal transaksi janggal senilai Rp 300 Triliun di lingkungan Kementerian Keuangan secara transparan. La Nyalla pun mengajak semua pihak untuk menghentikan kontestasi politik yang semata-mata hanya menginginkan kesuksesan dan meraih kekuasaan secara liberal.

“Karena telah menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan kehormatan, etika, rasa dan jiwa nasionalisme serta patriotisme,” kata dia.

Gagasan ini menuai respons beragam dari sejumlah pihak. Pasalnya, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara berimplikasi pada sistem pemilihan presiden tidak langsung.

Jika MPR kembali jadi lembaga tertinggi negara, maka, presiden dan wakil presiden akan dipilih oleh MPR itu sendiri.

Respons partai

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto misalnya, menyebut bahwa partainya tidak bisa langsung menerima gagasan tersebut. Menurut dia, perlu kajian mendalam untuk merealisasikan usulan pengembalian MPR jadi lembaga tertinggi negara.

"Apa yang disampaikan oleh Pak Bamsoet, ya sebagai gagasan-gagasan, ya kita cermati. Perlu kajian-kajian yang mendalam. Dan kami ini kan intens berkomunikasi dengan Pak Bamsoet sehingga kami akan melakukan dialog-dialog," kata Hasto di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis (17/8/2023).

Baca juga: DPD Juga Usul MPR Dikembalikan Jadi Lembaga Tertinggi Negara

Hasto juga memberi penjelasan soal pernyataan Bamsoet yang mengaitkan usul tersebut dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Katanya, Megawati sebelumnya justru menekankan pentingnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan suatu pola pembangunan berencana atau haluan negara.

"Ini yang disampaikan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri, bukan mengubah suatu sistem pemilu presiden," ujar Hasto.

Hasto mengatakan, perubahan sistem politik nasional yang fundamental harus dilakukan secara cermat. Terlebih, ini menyangkut kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum (pemilu).

"Kalau dari PDI-P yang terpenting saat ini adalah bukan mengubah sistem pemilu secara langsung menjadi dipilih oleh MPR, tetapi bagaimana pola pembangunan semesta berencana tersebut dapat ditetapkan dan menjadi bagian dari kewenangan MPR," katanya.

Sementara, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Alhabsyi mengatakan, partainya siap atas wacana pengembalian MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Namun, menurutnya, gagasan tersebut harus lebih dulu didiskusikan hingga tercapai kesepakatan, baik di level MPR maupun publik.

Baca juga: Alasan MPR dan DPD Dukung Ide Pemilihan Presiden Tak Langsung Diterapkan Lagi

"Ya buat kita kalau mau kembali ke amendemen kita siap saja, enggak ada masalah, asal semua disepakati. Jangan celetak-celetuk belum siap semuanya, main celetak-celetuk aja, padahal enggak ada kesepakatan dari bidang-bidang lain di lembaganya," kata Aboe di Kantor DPTP PKS, TB Simatupang, Jakarta Selatan, Kamis (17/8/2023).

Kendati menyiratkan persetujuan, Aboe menegaskan bahwa partainya tak serta merta sependapat jika marwah MPR dikembalikan untuk memilih presiden dan wakil presiden.

"Ya, nanti kita bicarakan. Tidak bisa dikatakan setuju hari ini. Kita duduk dulu yang tenang. Berpikir main setuju, setuju, itu bukan level kita lagi," ujarnya.

Tak mendesak

Gagasan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara ini mendapat penolakan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Menurut PSHK, usulan tersebut tak mendesak untuk direalisasikan dan justru berpotensi membawa kemunduran demokrasi.

“Gagasan amendemen UUD 1945 yang diusulkan saat ini tidak mendesak dan justru menunjukkan kemunduran yang kental dengan otoritarianisme. Selain itu, usulan amandemen UUD 1945 juga tidak mengindikasikan upaya penguatan ketatanegaraan, rule of law, dan demokrasi di Indonesia,” kata Peneliti PSHK, Violla Reininda, kepada Kompas.com, Jumat (18/8/2023).

Menurut PSHK, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah tidak relevan dengan sistem pemerintahan Indonesia saat ini. Gagasan tersebut bahkan cenderung melemahkan sistem presidensiil yang telah dibangun selama era Reformasi.

Violla mengatakan, ide itu bukan merupakan solusi yang tepat untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunan dan penyerapan aspirasi publik dalam pembentukan kebijakan.

Ketimbang mengusulkan perubahan konstitusi, MPR yang anggotanya terdiri dari DPR dan DPD diminta untuk fokus pada upaya perbaikan proses pembentukan dan substansi legislasi.

Sebab, masih banyak persoalan dalam proses pembentukan sejumlah undang-undang. Misalnya, terkait pelibatan partisipasi publik, aksesibilitas dan transparansi dokumen, serta akuntabilitas proses pembentukan undang-undang.

“Misalnya, tecermin pada pembentukan UU Kesehatan dan Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU,” ujar Violla.

Baca juga: Wacana MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara, PKS: Kita Siap, Asal Semua Sepakat

Violla mengatakan, tanpa adanya komitmen perbaikan dalam proses pembentukan undang-undang, amendemen konstitusi hanya akan menjadi forum konsolidasi elite politik untuk melanggengkan kekuasaan.

Dikhawatirkan, perubahan-perubahan fundamental dalam UUD 1945 bakal mengesampingkan nilai-nilai partisipasi publik dan penguatan ketatanegaraan, sehingga berpotensi menghadirkan amendemen konstitusi yang inkonstitusional.

“Berdasarkan catatan-catatan yang telah diuraikan di atas, PSHK mendesak MPR untuk menghentikan upaya amendemen UUD 1945, utamanya terkait penghidupan kembali pokok-pokok haluan negara, menempatkan MPR sebagai lembaga tinggi negara, dan mengembalikan utusan golongan dan utusan daerah di MPR,” tutur Violla.

-. - "-", -. -

Sentimen: positif (100%)