Sentimen
Negatif (99%)
7 Agu 2023 : 15.36
Informasi Tambahan

BUMN: PT Pertamina

Event: MotoGP

Kasus: Tipikor, korupsi

Membaca Dramaturgi Pimpinan KPK dalam Kasus Basarnas

7 Agu 2023 : 15.36 Views 14

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Membaca Dramaturgi Pimpinan KPK dalam Kasus Basarnas

AKHIR-akhir ini, perhatian publik kembali tertuju pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sorotan publik kali ini bukan karena KPK menunjukkan taringnya dalam pemberantasan korupsi, melainkan karena kontroversi yang ditampilkan pimpinan KPK periode 2019−2023.

Kontroversi yang timbul tidak hanya sekali saja, tetapi berulang kali. Mulai dari kontroversi eks komisioner KPK Lili Pintauli yang diduga menerima tiket nonton MotoGP Mandalika, gaya hidup mewah “naik helikopter” Ketua KPK Firli Bahuri, hingga pembocoran dokumen rahasia penyelidikan kasus korupsi Kementerian ESDM.

Belum cukup sampai di situ, ruang publik kembali riuh saat KPK melalukan operasi tangkap tangan (OTT) pada 28 Juli 2023.

Diduga terjadi tindak pidana korupsi di dalam tubuh Badan SAR Nasional (Basarnas) dengan tersangka Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfianto (HA) dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC).

HA dan ABC diduga menerima suap proyek pengadaan barang dan jasa untuk penanggulangan bencana senilai 88,3 miliar.

Rupanya, kehebohan publik lebih dari sekadar mendengar kabar kasus korupsi di tubuh Basarnas.

Pasca-penetapan tersangka yang diumumkan oleh komisioner KPK Alexander Marwata, KPK melalui komisioner Johanis Tanak justru meminta maaf dengan alasan kesalahan penanganan kasus.

Konferensi pers bertajuk permintaan maaf itu dilakukan KPK setelah didatangi sejumlah pimpinan TNI. Pihak TNI menilai bahwa penanganan kasus korupsi anggota aktif TNI mestinya ditangani oleh Puspom TNI.

Dalam keterangannya, Johanis Tanak mengaku ada kekhilafan dan kelupaan yang dilakukan oleh tim penyelidik KPK dalam penanganan kasus tersebut.

Dengan kata lain, pimpinan KPK yang bersifat kolektif kolegial secara bersama bersepakat menyalahkan “anak buahnya”, yakni tim penyidik.

Padahal, pimpinan KPK seharusnya bertanggung jawab sepenuhnya dalam penanganan kasus korupsi. Tak pelak, tindakan komisioner KPK itu lantas menuai kritik tajam dari publik karena menilai pimpinan KPK “cuci tangan”.

Pertunjukan masih berlanjut, sehari setelah konferensi pers penetapan tersangka dan permintaan maaf, pernyataan tak senada datang dari Ketua KPK Firli Bahuri, pada Sabtu 29 Juli.

Firli mengatakan bahwa seluruh rangkaian kegiatan yang dilakukan KPK dalam kegiatan tangkap tangan, penyelidikan, penyidikan hingga penatapan tersangka telah sesuai prosedur hukum dan mekanisme yang berlaku.

Pernyataan Firli itu, alih-alih meredakan kisruh, malah justru menjadi pembenaran atas kekacauan yang terjadi di KPK.

Dramaturgi

Tarik ulur dalam penanganan kasus korupsi Basarnas baru-baru ini, mencerminkan pimpinan KPK sedang bermain drama. Hanya saja, drama yang dipentaskan tidak sesuai dengan persiapan di belakang panggung.

Wajar bila publik mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi pimpinan KPK 2019−2023. Dan bagaimana sebenarnya “dapur KPK” kini, sehingga banyak “menu kekeliruan” yang disajikan kepada publik belakangan ini?

Seorang ahli sosiologi bernama Erving Goffman (1922−1982) menjelaskan tentang kehidupan sosial seperti halnya panggung drama.

Dalam bukunya The Presentation of Everyday Life, Goffman menggambarkan setiap individu menampilkan pertunjukan (show) di panggung sosial. Setiap penampilan ditujukan dan ditonton oleh khalayak ramai.

Oleh karena itu, setiap pertunjukan yang ditampilkan akan diupayakan mengarah pada citra yang diharapkan oleh sang aktor.

Seperti halnya yang dilakukan pimpinan KPK dengan cara “cuci tangan” dan “pembenaran” agar citranya tetap baik di mata publik.

Perspektif dramaturgi dapat menggambarkan sekaligus memurnikan suatu perkara sosial, termasuk dalam konteks ini ihwal dramaturgi KPK.

Dengan menempatkan manusia sebagai "hewan yang menggunakan simbol," yang memiliki kemampuan unik untuk mengontrol tindakan mereka dan menyusunnya berdasarkan makna simbolis.

Dramaturgi pimpinan KPK tersebut memperlihatkan secara gamblang interaksi manusia politik (aktor-aktor; pimpinan KPK) yang punya kepentingannya masing-masing.

Salah lakon

Lebih lanjut, Goffman menjelaskan sebagaimana panggung teater, kehidupan sosial juga mempunyai panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).

Jelas, panggung depan digunakan sebagai tempat pertunjukan atau presentasi sebagai individu ideal. Sedangkan panggung belakang adalah tempat persiapan yang tidak dapat dilihat oleh khalayak penonton.

Dari kedua panggung kehidupan tersebut, acap kali sesuatu yang ditampilkan di panggung depan berbeda sama sekali dengan panggung belakang yang merepresentasikan kehidupan nyata. Karena itu, penampilan panggung depan kental dengan kepalsuan.

Dalam konteks polemik penatapan tersangka kasus Basarnas, KPK sebenarnya mempunyai panggung persiapan seperti rapat tim penyelidik dan rapat pimpinan KPK.

Selain itu, ketentuan penanganan kasus berdasarkan UU KPK juga ada agenda ekspos perkara yang dihadiri oleh tim penyelidik dan pimpinan KPK. Alangkah lucu apabila pimpinan KPK tidak mengetahui perkara yang sedang berlangsung.

Simpang-siur informasi dari tiga komisioner KPK dalam kasus Basarnas merupakan drama yang salah lakon.

Para aktor, Alexander Marwata, Johanis Tanak, dan Firli Bahuri memainkan peran yang tidak sesuai dengan tema pertunjukan, yakni pemberantasan korupsi.

Alih-alih mereka tampil sesuai kepentingannya sendiri-sendiri untuk memperoleh citra ideal; menyalahkan anak buah, melakukan pembenaran diri, menyatakan tetap teguh memberantas korupsi.

Pilihan tindakan pimpinan KPK tersebut adalah cerminan perilakunya, seperti ditekankan Goffman (1994) bahwa konteks interaksional dari perilaku manusia terletak pada tindakannya.

Kendati pimpinan KPK secara bergiliran sudah nyata melanggar kode etik secara berulang, namun belum ada sanksi tegas yang diberikan dewan pengawas KPK.

Bahkan, kasus Lili Pintauli Siregar pada 2022 lalu, tidak mendapat sanksi tegas dari Dewas, ujung-ujungnya selesai dengan pengunduran diri.

Padahal, kasus Lili tersebut mengandung unsur pidana karena diduga menerima gratifikasi dari Pertamina.

Atas dasar itu, evaluasi tertuju bukan saja pada pimpinan KPK, melainkan juga kepada Dewan Pengawas KPK.

Lalu perdebatan klasik akan muncul, siapa yang mengawasi dan mengevaluasi Dewas KPK? Dalam kondisi seperti ini, Presiden sebagai kepala pemerintahan harus turun tangan membenahi kemerosotan KPK.

Kini makin terang keraguan publik terhadap revisi UU KPK pada 2019 silam; KPK jadi tak bertaji. Begitulah jika kehendak rakyat diabaikan dan keinginan elite dijalankan.

Kita tidak menghendaki kondisi ini terus berlangsung. Dalam demokrasi, kedaulatan rakyat harus menjadi sumber utama kebijakan pemerintah karena itulah roh dari demokrasi.

-. - "-", -. -

Sentimen: negatif (99.2%)