Sentimen
Negatif (100%)
4 Agu 2023 : 11.49
Informasi Tambahan

Kasus: Tipikor, korupsi

Tokoh Terkait

Dilaporkan MAKI Buntut Polemik OTT KPK di Basarnas, Alexander Marwata: Saya Nggak Peduli, Nggak Bermutu

4 Agu 2023 : 11.49 Views 6

Fajar.co.id Fajar.co.id Jenis Media: Nasional

Dilaporkan MAKI Buntut Polemik OTT KPK di Basarnas, Alexander Marwata: Saya Nggak Peduli, Nggak Bermutu

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata merespons terkait dirinya yang dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK oleh Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI). Alex menegaskan, dirinya tak mempedulikan soal laporan tersebut.

"Terserah MAKI mau melaporkan apa saja, saya nggak peduli," kata Alex dikonfirmasi, Kamis (3/8).

Pimpinan KPK dua periode ini tak mempedulikan laporan tersebut. Ia menyebut, laporan MAKI ke Dewas tak bermutu.

"Ngapain mikirin laporan MAKI yang nggak bermutu," tegas Alex.

Sebelumnya, MAKI melaporkan Alexander Marwata ke Dewas KPK, pada Rabu (2/8) kemadin. MAKI menduga, Alexander Marwata melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku insan KPK yang diatur dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK nomor 01 tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku.

Pelaporan terhadap Alexander Marwata buntut polemik operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) RI. Sebab, penetapan tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sempat mendapat penolakan.

"Pimpinan KPK seharusnya melakukan koordinasi dengan Puspom TNI untuk membentuk Tim Penyidik Koneksitas sebelum menetapkan dan mengumunkan tersangka Henri Alfiandi. Dengan belum terbentuknya Tim Penyidik Koneksitas, namun Alexander Marwata melakukan pengumuman penetapan tersangka adalah diduga melanggar wewenang selaku pimpinan KPK," ucap kuasa hukum MAKI Kurniawan Adi Nugroho di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Rabu (2/8).

Terlebih, sehari setelah menetapkan Henri Alfiandi sebagai tersangka, Alexander Marwata mengaku tidak pernah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) terhadap Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai dasar penetapan status tersangka.

Seharusnya, surat perintah penyidikan sebagai dasar diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang berdasar putusan Mahkamah Konstitusi harus diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum dan Tersangka jangka waktu maksimal tujuh hari sejak terbit Sprindik.

"Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum penetapan tersangka oleh KPK sebagaimana dinyatakan oleh terlapor (Alex Marwata) terhadap Henri Alfiandi (Kepala Basarnas) adalah tidak sah karena tidak didasari adanya Sprindik," papar Adi.

Adi menjelaskan, pelaporan dugaan pelanggaran etik ini dilakukan agar peristiwa OTT terhadap Kabasarnas itu menjadi terang dari sisi perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya apakah telah melanggar prosedur atau sebaliknya.

Karena itu, Dewas KPK perlu melakukan audit kinerja kegiatan OTT, melalui sarana persidangan etik yang didahului pemeriksaan dan pendahuluan, sebagaimana hukum acara yang berlaku di Dewas KPK.

Ia menyebut, pelaporan dugaan pelanggaran etik ini dalam rangka membantu Dewas KPK untuk memberikan sanksi, apabila terbukti adanya pelanggaran kode etik dan juga sebaliknya rehabilitasi nama baik jika pelaksanaan OTT telah sesuai prosedur.

"Apabila Dewas KPK menemukan dugaan pelanggaran etik dalam perkara aquo maka ini sebagai sarana untuk tidak terulang peristiwa yang sama dikemudian hari," ucap Adi.

Adi mengungkapkan, pelaporan ini merupakan bentuk kepedulian MAKI dalam perkara dugaan suap pengadaan barang dan jasa yang menjerat Henri Alfiandi. Sehingga, akan mendapat putusan yang adil, yaitu bersalah melakukan korupsi oleh Pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan militer atau pengadilan koneksitas.

"MAKI tidak ingin terduga pelaku penerima suap akan dapat putusan bebas hanya gara gara kesalahan prosedur karena KPK memaksakan Tersangka dari militer dibawa ke Pengadilan Umum (Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat) sebagai akibat penyidikan dilakukan secara mandiri oleh KPK," ujar Adi.

Ia meyakini, terduga pelaku penerima suap Henri Alfiandi akan diproses hukum di Pengadilan Militer dan akan mendapat hukuman yang berat oleh hakim militer. Karena perwira tinggi TNI itu dianggap mencoreng nama baik militer.

"Kami meminta Dewas KPK untuk memerintahkan kepada Pimpinan KPK untuk membentuk tim tetap koneksitas dengan Panglima TNI dan Menteri Pertahanan, guna antisipasi dikemudian hari melakukan penindakan hukum yang terduga pelaku dari sipil dan militer. Pembentukan ini dapat berupa SKB atau MoU sebagaimana telah dilakukan oleh Kejagung," pungkas Adi. (JPC)

Sentimen: negatif (100%)