Sentimen
Positif (100%)
15 Jul 2023 : 12.00
Informasi Tambahan

Grup Musik: Dewa 19

Bagaimana Bobo Membuat Kita FOMO

15 Jul 2023 : 19.00 Views 3

Detik.com Detik.com Jenis Media: News

Bagaimana Bobo Membuat Kita FOMO
Jakarta -

Orang-orang sibuk nge-war tiket Taylor Swift, aku sibuk bahagia pesanan Majalah Bobo edisi 50 tahun sebulan yang lalu sudah datang ~ netizen

Orang bisa membeli kesenangan, tapi tidak bisa membeli kenangan. Ungkapan tersebut dipatahkan oleh Bobo, majalah anak-anak yang berjaya pada dekade 70-an hingga awal 90-an. Pada ulang tahunnya yang ke-50 tahun ini, majalah yang telah mengakhiri masa terbitnya per 21 Desember 2022 lalu itu mengeluarkan "edisi koleksi terbatas" yang dijual dengan sistem pemesanan.

Dalam sekejap, Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo tersebut viral di media sosial, dan berhasil menimbulkan riak-riak kecil dan kehebohan-kehebohan nostalgis yang hangat sekaligus sengit. Sesuai embel-embelnya, "terbatas", dalam sekejap pula penawaran tersebut langsung disambut dengan antusias oleh publik, dan habis dipesan.

-

-

Banyak penggemar yang menginginkannya dan tidak kebagian mengeluh, karena kemudian di lapak-lapak marketplace majalah tersebut ditawarkan dengan harga tinggi, bahkan terbilang sangat tinggi --dari harga aslinya Rp 75 ribu. Karena tingginya permintaan ini, pihak penerbit pun sigap membuka pre-order (PO) kedua. Perbincangan netizen pun semakin meluas.

Sebagaimana terjadi pada segala hal yang viral, percakapan kemudian melebar ke mana-mana, dan seperti yang selalu terjadi, silang sengkarut suara-suara sumbang pun mulai terdengar dari berbagai penjuru. Peminat yang belum kebagian dan merasa senang dengan adanya PO ke-2 segera dihadapkan pada kasak-kusuk yang justru "menyayangkan" hal tersebut, dengan dalih bahwa pembukaan kembali pemesanan untuk "memenuhi permintaan penggemar" (seperti dinyatakan pihak penerbit) akan menjadikan edisi koleksi itu menjadi tidak "terbatas" dan "eksklusif" lagi.

Ada juga suara yang mengatakan bahwa orang-orang yang segitu hebohnya memburu edisi tersebut hanya terdorong oleh perasaan FOMO (takut ketinggalan tren) belaka. Apapun yang terjadi, viral dan hebohnya majalah yang telah berhenti terbit secara reguler tersebut jelas merupakan sebuah fenomena menarik di era digital.

Tidak sulit untuk mengatakan bahwa yang sedang dijual dan dibeli itu bukanlah "majalah", melainkan "memori masa kecil". Tapi, menjual produk dengan sentimen semacam itu, dan berhasil memviralkan di media sosial, tentu tidak serta merta menjadi mudah.

Apalagi, dalam kasus Bobo, majalah itu sebenarnya belum lama berhenti terbit --baru akhir tahun lalu. Tapi, angka keramat "50 tahun" sepertinya memberikan sensasi lain. Hal inilah yang dengan jeli dan jitu dibaca oleh pihak penerbit. Barangkali ini sekaligus menjelaskan, mengapa band Dewa 19 dan Sheila on 7 begitu membahana hari-hari ini ketika mereka menggelar konser di berbagai kota.

Para pembaca, pelanggan, dan penggemar Majalah Bobo adalah generasi yang lahir pada awal dekade 70-an (majalah ini terbit pertama kali pada 1973) dan secara umum bisa diasumsikan telah tumbuh menjadi orang-orang dewasa yang mapan. Demikian pula dengan para penggemar Dewa 19, yang pada dekade 90-an masih duduk di bangku SMA, kini telah menjelma menjadi anggota masyarakat kelas menengah makmur, menduduki jabatan-jabatan tinggi, posisi-posisi penting, dan melahirkan anak-anak yang cerdas dan bahagia. Salah satu kebutuhan dari generasi ini sekarang adalah mengenang masa lalu.

Bahwa kemudian ada unsur FOMO di balik itu, tentu saja menjadi sesuatu yang wajar. Hari gini, di zaman ketika apapun yang kita lakukan harus direkam dan dipamerkan, siapa sih yang tidak FOMO?

Dari sisi para pemburu Majalah Bobo edisi khusus tersebut, juga para penyerbu yang berbondong-bondong ke konser Dewa 19 (juga konser Ari Lasso), sebutan FOMO mungkin berkonotasi negatif, dan dengan demikian orang yang diberi label itu akan merasa tersinggung. Namun, dari sisi produsen (penerbit, EO, pemilik brand), FOMO justru sebuah kesengajaan strategi marketing --tidak ada konotasi negatif di dalamnya.

Banyak pemburu Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo yang "sensi" dikatai FOMO, padahal justru itulah tujuan dari pihak penerbit.

Strategi marketing FOMO bertujuan untuk menciptakan rasa ingin memiliki dengan dengan cepat, dan jangan sampai kehabisan. Untuk itu, mereka menjual produk dalam jumlah terbatas, lewat pemesanan khusus, dan memberikan batas waktu. Dengan demikian, FOMO sebagai strategi marketing juga berkaitan dengan unsur persaingan; dengan jumlah barang yang terbatas, dan harus segera dipesan pada waktu tertentu, dengan sendirinya menciptakan dan memperkuat citra eksklusif pada barang yang dijual, dan membuat (calon) pembeli akan saling bersaing.

Pada gilirannya, perilaku bersaing akan melahirkan perasaan menang; siapa yang berhasil mendapatkan barang tersebut, dia akan merasa bangga dan memamerkannya dengan mem-posting di media sosial. Perasaan senang telah berhasil mendapatkan barang yang diperebutkan banyak orang kerap diungkapkan dengan ekspresif, berbunga-bunga, dan penuh rasa lega --seolah baru saja berhasil melewati dan lolos dari sebuah rintangan yang begitu berat.

Majalah Bobo tidak hanya berhasil "hidup lagi" bahkan sebelum genap setahun berhenti terbit, melainkan juga sukses besar "menghidupkan kembali" kenangan masa kecil para penggemarnya, membuat mereka tergopoh-gopoh dan keponthal-ponthal, untuk bisa dengan riang gembira berseru di timeline, mengabarkan kepada dunia bahwa "pesanan saya sudah datang" sambil mengunggah foto atau video majalah bersampul kuning dengan sosok kelinci biru berusia 10 tahun berbaju merah bertuliskan huruf 'b' itu.

Bobo tahu, sebagai manusia-manusia Twitter, IG, dan Tiktok, kita memang se-FOMO itu. Dan, dan kalau dengan itu kita bisa bahagia, apa salahnya?

Mumu Aloha wartawan, penulis, editor

(mmu/mmu)

Sentimen: positif (100%)