Sentimen
Positif (50%)
9 Jul 2023 : 12.41
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Sukoharjo, Solo

AI dan Disrupsi Psikologis

9 Jul 2023 : 12.41 Views 2

Solopos.com Solopos.com Jenis Media: News

AI dan Disrupsi Psikologis

SOLOPOS.COM - Abdul Latif (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Era  society 5.0 berbasis penggunaan teknologi terkini. Menurut Margaret Donaldson, seorang psikolog perkembangan, siswa sering gagal memberikan jawaban yang benar karena mereka tidak memperhatikan informasi pada pertanyaan.

Siswa menggunakan ide-ide mereka sendiri. Meskipun sering kali masuk akal, sering tidak relevan dengan tugas. Pendapat itu relevan dengan kondisi pelajar saat ini yang sedang menghadapi era society 5.0.

PromosiKrim Malam untuk Memutihkan Wajah, Kenali Dulu Kandungannya!

Dalam buku Children’s Mind (1978), Donaldson membedakan dua pemikiran. Pemikiran yang tertanam dan “pemikiran yang tercerabut.  Keberhasilan pendidikan lebih sedikit dibandingkan dengan kegagalan pendidikan karena pelajar mengalami pemikiran yang tercerabut pada era society 5.0.

Itu disebabkan rendahnya minat membaca. Minat membaca tercerabut dari pelajar, padahal hanya minat membaca yang menjadi jalan keluar ”kegagalan” pendidikan era society 5.0. Pelajar diajarkan memiliki kesadaran reflektif melalui membaca.

Kesadaran tentang proses berpikirnya sendiri. Memberikan jeda untuk memikirkan terlebih dahulu masalah yang dihadapi. Tidak hanya cepat menyelesaikan masalah yang serba-instan dan terburu-buru oleh waktu.

Penggunaan artificial intelligence atau AI pada era society 5.0 ditandai ketiadaan berkompromi dengan kesalahan karena sifat algoritmik dan menjadikan para pelajar subjek algoritma.

Era society 5.0 menyebabkan pelajar tidak mampu mengukur kondisi diri sendiri. Kondisi ekonomi maupun psikologis. Mereka kehilangan keuletan, kesabaran, dan respek terhadap momentum. Manusia adalah robot jenis lain atau manusia adalah pelopor generasi robot.

Pendidikan menjadi penting ketika suatu bangsa merindukan nilai-nilai moral dan sentuhan fisik biologis-psikologis. Nicholas Charr mengatakan semakin banyak waktu yang kita habiskan untuk tenggelam dalam ”perairan digital”, kemampuan kognitif kita akan semakin dangkal.

Jangan sampai keadaan psikologis yang abnormal dari dampak teknologi 5.0 menjadi psikologi perkembangan, yang menurut Werner (1969), bersifat permanen dan tidak dapat diputar balik karena perkembangan manusia dipengaruhi perkembangan masyarakat.

Society 5.0 menyebabkan individu tidak mampu mengukur kondisi dirinya sendiri. Mereka cenderung berkompromi dan bekerja sesuai reward and punishment. AI potensial mengubah kondisi etika-psikologis, seperti hilangnya keuletan, hilangnya kesabaran, kurangnya pengamatan yang detail, kurangnya penghargaan terhadap momentum.

Dampak buruk lainnya adalah berkurangnya nilai-nilai gotong royong, memudarnya pengorbanan, memudarnya nilai-nilai altruisme, memudarnya cinta, penurunan kemampuan menghafal dan menyerah terlalu cepat dalam mencapai harapan, krisis identitas, hubungan yang kacau antarmanusia, inisiatif menurun, daya kreatif menurun, dan inovasi rendah.

Fenomena ini mirip dengan keprihatinan C. Wright Mills tentang terbentuknya fenomena the cheerful robots yang disebabkan modernitas. Inilah era disrupsi ekonomi dengan dampak psikologis yang nyata.

Society 5.0 ditandai dengan isolasi, ancaman, kebosanan, dan ketidakberartian. Kita jatuh dalam pelepasan, anarki, dan nihilisme. Negara-negara maju pun gagal mengatasi masalah waktu luang yang terus berkembang—akibat otomatisasi—demi kebahagiaan manusia.

”Robot ceria” sebagai individu akan melebur ke dalam massa anonim atau menuju tren itu dan tidak menemukan dirinya sendiri, tidak menjadi “persona” dalam arti sebenarnya. Meskipun sama-sama menjunjung tinggi rasio (logos), ini justru menggiring pelajar pada skeptisisme etis dalam menjalani kesadaran akan “gangguan atau krisis etika-psikologis” yang tidak disadari.

Ketika kondisi sosial ditambahkan ke robot, hasilnya bukan cinta hidup, tapi cinta mati. Oleh karena itu, perlu pembenahan di bidang etika/akhlak. Krisis seperti yang terjadi pada pelajar dan masyarakat yang sedang mengalami masa transisi (era digital 4.0 ke society 5.0) dapat teratasi.

Ini membutuhkan etika baru. Etika adalah teori tentang moral. Ambivalensi dan ambiguitas sering terjadi karena etika dianggap kaku, kasar, dan relatif. Sering kali orang apriori terhadap etika sebagai makna dan praktik. Sikap apriori menyebabkan asosiasi tentang etika menyimpang.

Kemanusiaan

Untuk mengembalikan kemanusiaan, mereka harus berhenti menjadi benda dan bertarung sebagai manusia. Satu-satunya alat yang efektif adalah pendidikan kemanusiaan. Ini adalah praktik etika. Pendidikan harus dimulai dengan solusi.

Guru dan siswa bersama-sama mengamati kenyataan hidup. Raison d’etre pendidikan adalah pembebasan, di satu sisi, yang beroperasi sebagai rekonsiliasi. Dalam society 5.0, kemungkinan buruknya adalah pelajar semakin menyerahkan diri sepenuhnya kepada dirinya sendiri (egoisme radikal).

Filsafat dan etika harus melayani kehidupan. Untuk hidup sesuai dengan kodrat manusia. Plato menulis yang tak terlupakan dalam dialog Simposium. Eros adalah kekuatan kreatif manusia, pencetus kehidupan, inspirasi para penemu, seniman, dan jenius.

Etika adalah filsafat moral. Dalam moral terdapat kesantunan, budi pekerti, sopan santun, dan akhlak. Dapat dikatakan bahwa etika adalah bagian dari moral atau dengan kata lain norma, kebiasaan, dan tingkah laku termasuk di dalamnya. Eros inilah yang redup di generasi sekarang. Tujuan etika adalah memanusiakan manusia dan dunia.

Keberhasilan pendidikan terletak pada tiga hal, yaitu metode yang baik, guru yang baik, dan lingkungan yang baik.  Jean Piaget menyebut sebagai assimilation, accomodation, dan equilibration.

John I. Goodland berpendapat tentang budaya teknologi, bahwa budaya teknologi adalah budaya industri Barat yang rasional dan linier. Teknologi normal menambah nilai pendidikan dan teknologi abnormal mengganggu tatanan pemikiran manusia. Apakah harapan tentang generasi masa depan yang lebih baik realistis?

Kecenderungan manusia yang tampak adalah menjadi budak digital pada era society 5.0. Menjadi subjek algoritma. Ini adalah teknologi abnormal. Individu algoritma adalah individu yang diformat dengan logika algoritmik.

Individu yang diabstraksikan ke dalam sistem numerik sehingga dapat diperlakukan dengan logika algoritmik sebagai sekumpulan data angka yang dipolakan berdasarkan pengenalan mesin. Mereka dikondisikan untuk memperlakukan orang lain dengan cara yang sama.

Piaget menyatakan pendidikan adalah pertukaran sarat nilai yang keberhasilannya bergantung pada transmisi dan transformasi. Kebenaran yang ditiru hanyalah separuh kebenaran.

Pelajar harus menantang gagasan bahwa mereka harus mempelajari fakta dan prosedur sebelum mereka memahami sistem yang bekerja dengan teknologi. Masyarakat modern tidak dapat diwujudkan oleh pelajar yang cerdas saja.

Masyarakat harus menemukan cara untuk menciptakan pelajar yang cerdas. Sifat spontanitas manusia, menurut Margaret Donaldson, selalu bertahan karena sifat pendidikan yang cenderung gagal meskipun berbagai teknologi telah dihasilkan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Juli 2023. Penulis adalah guru MTsN 1 Sukoharjo, Jawa Tengah)

Sentimen: positif (50%)