Sentimen
Negatif (100%)
6 Jul 2023 : 10.20
Informasi Tambahan

BUMN: BSI

Kab/Kota: Solo

Kasus: covid-19, pencurian, serangan siber

Ancaman pada Keamanan Siber

6 Jul 2023 : 10.20 Views 2

Solopos.com Solopos.com Jenis Media: News

Ancaman pada Keamanan Siber

SOLOPOS.COM - Anang Setiyawan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Insiden  siber yang dialami  Bank Syriah Indonesia (BSI) membukakan mata bahwa ancaman keamanan siber akan semakin lazim terjadi di masyarakat yang memiliki tingkat penggunaan dan ketergantungan tinggi terhadap teknologi.

Artinya semakin tinggi tingkat penggunaan dan ketergantungan terhadap teknologi akan berbanding lurus dengan tingkat ancaman dan risiko keamanan yang akan dihadapi. Ancaman global ini menurut Kaspersky (2012) akan terus meningkat setiap tahun dan akan lebih berbahaya daripada sebelumnya.

Promosi5 Rekomendasi Hotel di Solo Termewah untuk Berlibur

Salah satu di antaranya dipengaruhi tingkat perkembangan teknologi yang semakin canggih. Ciri-ciri dari serangan siber ini adalah sifat anonimitas, lintas negara, dan interkoneksi jaringan yang membuat penanganan ancaman ini sangat rumit dan kompleks.

Pada 2014 tercatat 48 juta serangan siber dan kemudian meningkat mendekati satu miliar serangan pada 2022. Serangan ini lebih sedikit daripada pada 2021 yang sebanyak 1,6 miliar serangan. Meskipun data mencatat serangan siber sangat intensif dan masif, belum membuat pemerintah melakukan langkah dan perubahan besar untuk menjaga dan mempertahankan kepentingan Indonesia di domain siber.

Apabila kita merujuk pada berbagai kasus serangan siber di berbagai belahan dunia akan lebih membukakan mata kita untuk lebih waspada dan peduli tentang seberapa nyata risiko dan dampak serangan ini terhadap suatu negara.

Dampak itu misalnya kelumpuhan sektor ekonomi, terutama bidang perbankan di Estonia, gangguan pengayaan uranium di Iran, kelumpuhan sistem radar pertahanan udara Syria dan Serbia, ledakan pipa gas milik Rusia di Siberia, pencurian data dan teknologi tinggi alat perang dan pertahanan di Amerika Serikat, operasi mata-mata di berbagai negara, termasuk yang dialami Indonesia, dan sebagainya.

Kasus-kasus tersebut menggambarkan serangan siber dapat digunakan secara sistematis untuk melemahkan, mengganggu sistem pertahanan, sistem ekonomi, sistem infrastruktur publik, dan jaringan infrastruktur vital lainnya yang terkait dengan keselamatan dan keamanan suatu negara.

Kebijakan Nasional

Ancaman siber telah membuat negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris menetapkan ancaman ini sebagai ancaman strategis paling berbahaya yang dihadapi negara, bahkan mereka menilai ancaman ini lebih berbahaya dibandingkan serangan terorisme yang mereka hadapi selama ini.

Negara-negara tersebut telah mengubah kebijakan nasional keamanan dan pertahanan negara menjadi lebih modern berbasis teknologi tinggi. Mereka menilai bahwa menjaga domain ini sama pentingnya dengan menjaga perbatasan domain fisik negara mereka.

Terutama pada kasus serangan-serangan siber yang ditujukan terhadap objek vital nasional suatu negara, mereka menilai serangan tersebut sebagai bagian serangan terhadap kedaulatan negara dan dimungkinkan menggunakan serangan fisik sebagai bagian serangan balasan/reprisal.

Di Indonesia, selain terbatasnya sumber daya, ketiadaan payung kebijakan yang jelas membuat penanganan ancaman ini cenderung parsial dan tidak tuntas, meskipun pemerintah telah membentuk Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN sebagai leading sector dalam bidang ini.

Peraturan perundangan saat ini cenderung lemah ketika dihadapkan dengan kasus-kasus serangan siber yang cenderung kompleks, bahkan misalnya ketika serangan siber tersebut dilakukan oleh negara maupun “organ” negara lain.

Rezim hukum Indonesia cenderung “mengenali dan memperlakukan” serangan siber sebagai tindak pidana yang hanya menjadi domain kepolisian, padahal tidak tertutup kemungkinan tindak kejahatan tersebut memiliki motif politik dan merupakan bagian dari strategi terstruktur sistematis oleh negara asing untuk mengganggu kepentingan nasional (misalnya pada bidang ekonomi, pertahanan, keamanan) suatu negara.

Pendekatan kebijakan pengamanan objek vital nasional perlu diubah dari menekankan pendekatan konvensional menjadi pendekatan modern, mengingat upaya untuk melumpuhkan objek vital nasional saat ini bisa dilakukan dengan mudah dari jarak jauh secara lintas negara.

Pemerintah juga perlu menginventarisasi serta menetapkan objek vital nasional sebagai critical point untuk membantu/memudahkan penentuan apakah serangan siber tersebut sebagai bagian serangan dalam konteks pertahanan atau dalam konteks keamanan nasional suatu negara. Hal ini perlu untuk merespon serangan siber secara proporsional, efisien, dan tepat.

Ancaman siber sebenarnya bukan penyakit baru di Indonesia, meskipun kita kurang bisa mengenalinya dengan baik sehingga penanganannya cenderung tidak tuntas. Analoginya seperti ketika ada orang yang pilek atau demam yang kemudian kita hanya mengenalinya sebagai penyakit flu biasa, padahal gejala tersebut juga ditemukan pada orang yang terinfeksi Covid-19.

Insiden-insiden siber yang pernah terjadi di Indonesia cenderung tidak direspons secara komprehensif dan selesai dengan tuntas karena salah mendiagnossis penyakitnya. BSSN belum bisa mengolaborasikan gerak stakeholders, baik dari unsur pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, dan lain-lain untuk menangani ancaman ini dengan baik dan tuntas.

Serangan siber memiliki karakteristik yang sulit dideteksi, sulit dikenali, lintas wilayah negara, lintas jaringan sehingga penanganan ancaman ini tidak bisa dilakukan secara parsial oleh satu atau dua lembaga terkait, atau bahkan hanya ditangani oleh satu negara maju dengan teknologi tinggi sekalipun.

Oleh karena itu, penanganan ancaman siber harus melibatkan semua stakeholders di dalam dan di luar negeri. BSSN harus bisa meningkatkan kapasitas dan peran serta mampu mengolaborasikan berbagai stakeholders di dalam maupun luar negeri untuk dapat mendiagnosis sekaligus menangani ancaman modern yang kompleks ini.

Berbagai kasus yang pernah dialami negara lain maupun Indonesia seharusnya cukup menjadi pelajaran pemerintah untuk mengelola potensi dan risiko domain siber dengan baik sehingga dampak buruk penggunaan teknologi, terutama yang mengancam kepentingan nasional Indonesia, bisa tereduksi secara maksimal sesuai amanat UUD 1945.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Juni 2023. Penulis adalah pemerhati bidang pertahanan dan keamanan dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)

Sentimen: negatif (100%)