Sentimen
Netral (44%)
29 Jun 2023 : 00.00
Informasi Tambahan

Kasus: nepotisme

Partai Terkait

HEADLINE: Gaduh Usulan Jabatan Ketum Parpol Maksimal 2 Periode, Wewenang Partai?

29 Jun 2023 : 07.00 Views 3

Liputan6.com Liputan6.com Jenis Media: News

HEADLINE: Gaduh Usulan Jabatan Ketum Parpol Maksimal 2 Periode, Wewenang Partai?

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan judicial review (JC) atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol). Terutama perihal masa jabatan Ketua Umum Partai Politik.

"Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam amar putusannya, dikutip lewat website MK, Rabu (28/6/2023).

Anwar Usman mengatakan, gugatan yang diajukan oleh Muhammad Helmi Fahrozi, E. Ramos Petege, dan Leonardus O. Magai itu ditolak lantaran majelis hakim menganggap gugatan tersebut tidak serius. Sebab tidak menjalankan perbaikan hal yang diminta oleh hakim.

Permintaan perbaikan tersebut telah disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra kepada para pemohon yang diwakili Aldo Pratama Amry ketika sidang perdana perkara Perkara Nomor 53/PUU-XXI/2023, 30 Mei 2023.

“Dalam persidangan tersebut, pada pokoknya Majelis Hakim memberikan nasihat kepada para Pemohon terkait dengan permohonan a quo dan menyampaikan kepada para Pemohon mengenai batas waktu penyampaian perbaikan permohonan," kata Saldi.

"Namun, hingga batas waktu maksimal yang ditentukan tersebut, para Pemohon tidak menyerahkan perbaikan permohonan a quo,” tambah Saldi.

Menurut Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, secara kelembagaan kalau jabatan ketum parpol dibatasi hanya 2 periode, maka akan memberikan ruang kepada kader-kader terbaik partai untuk bisa mengisi jabatan di masa depan.

"Tapi tentu juga akan mengalami pergolakan dari beberapa partai yang merasa dirugikan jika jabatan partai dibatasi dua periode saja karena tidak bisa meneruskannya kepada para anak-anaknya yang ingin bisa meneruskan kepemimpinan parpolnya," kata Arifki kepada Liputan6.com, Rabu (28/6/2023).

Arifki menjelaskan, dalam skema demokrasi kontemporer dan juga hal yang berkembang di negara-negara lain, maka kecenderungannya pembangunan parpol di Indonesia identik dengan figur keluarga-keluarga tertentu dan bukan dimiliki oleh publik.

Menurutnya, sulit memisahkan antara kepemilikan parpol dengan hak publik, karena kekuatan figur tertentu dan keluarganya memperlihatkan posisi bahwa persepsi nepotisme dalam pembangunan parpol di Indonesia masih terbentuk.

"Makanya akan susah nantinya uji materil ke MK ini karena akan mengalami penolakan dari parpol tentang batasan kepemimpinan 2 periode. Kenapa? Karena mereka merasa yang mendirikan parpol, merasa berhak menentukan siapa yang menjadi ketum ketumnya."

"Jadi tidak adil memang bila parpol mau dikatakan bisa menjadi wadah semua warga negara untuk bisa berkarier dan menduduki jabatan ketum parpol. Makanya ini juga akan menjadi saling tarik menarik antar parpol yang dirugikan dengan parpol modern yang siap memberikan ruang untuk tiap kadernya."

Arifki menilai, dalam pembangunan parpol di Indonesia identik dengan kepemilikan oleh keluarga tertentu, sehingga agenda-agenda di parpol bukan lagi milik publik tapi keluarga tertentu, baik itu fungsi regenerasi dan fungsi untuk meletakkan orang-orang terbaik di posisi strategis.

"Makanya, jika ketum parpol bisa menjabat tanpa batasan, tentu akan membentuk politik dinasti," ucapnya.

Berikan Ruang untuk Regenerasi

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, mengatakan, secara ideal Ketum Parpol mesti diatur berapa lama masa jabatan politiknya, untuk memberikan ruang regenerasi, ruang yang berkesimbungan dalam potret regenerasi kepemimpinan.

Ini juga untuk menunjukan harus ada upaya modernisasi di internal parpol, karena partai adalah ujung tombak pembangunan demokrasi.

"Ini kan sebenarnya aspirasi publik. Problemnya adalah apakah mau elite-elite partai menerima masukan ini, ya itu tentu urusan parpol, tapi yang jelas namanya aspirasi dari bawah, perlu dipertimbangkan," kata Adi kepada Liputan6.com, Rabu (28/6/2023).

Adi menilai, agak sedikit dilematis dan bahkan paradoks, karena parpol di Indonesia terpusat dan tersentralisasi pada Ketum mereka yang berkuasa selama bertahun-tahun, artinya kekuatan parpol di Indonesia itu terpersonifikasi pada sosok-sosok figur ketum mereka. Itu jelas sangat terlihat, bahkan partai-partai yang terpesonifikasi atau yang ketumnya begitu lama berkuasa, justru perolehan suaranya signifikan.

"Tapi pada saat bersamaan ada tuntutan supaya partai lakukan modernisasi supaya ketumnya gantian dan bukan itu-itu saja. Sementara di sisi lain ada partai yang cukup modern terbuka seperti PSI, tapi tidak lolos ke parlemen, sementara parpol lain yang ketumnya lama berkuasa justru perolehan suara pilegnya signifikan, ini yang serba dilematis."

"Sulit membayangkan akan ada perubahaan UU parpol, dimana ketumnya itu dibatasi dua periode, karena banyak parpol yang tidak mau keistimewaan kekuatan mereka yang terletak pada ketum akan habis, akan sirna dengan perubahan UU itu," ucapnya.

Sentimen: netral (44.4%)