Sentimen
8 Jun 2023 : 11.38
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Al Azhar Indonesia
Tokoh Terkait
Pengamat: Cawe-Cawe Presiden Bisa Jadi Tunjukkan Post Power Syndrome
8 Jun 2023 : 18.38
Views 3
Medcom.id Jenis Media: News
Jakarta: Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin berpendapat ada kemungkinan bagi Presiden Joko Widodo terjangkit post power syndrome atau sindrom pascakekuasaan atas cawe-cawe yang dilakukan jelang Pemilu 2024. Sebab, Jokowi telah menjabat sebagai Kepala Negara selama hampir 10 tahun.
"Kalau (Presiden) mau melibatkan diri dalam politik praktis di Pemilu 2024, itu bisa saja terjangkit post power syndrome," kata Ujang kepada Media Indonesia, Rabu, 7 Juni 2023.
Umumnya, lanjut Ujang, pejabat yang telah mengakhiri kekuasaannya cenderung tidak lagi oleh masyarakat. Selain itu, ia juga membuka kemungkinan bahwa cawe-cawe Presiden dijalankan untuk mengamankan persoalan hukum, bisnis, maupun pengaruh ke depannya.
Namun, apapun motifnya, Ujang menilai seharusnya Presiden tidak melakukan cawe-cawe politik. Ia mengatakan, mestinya Jokowi dapat memosisikan diri sebagai seorang negarawan dan presiden yang adil, baik untuk rakyat maupun kandidat calon presiden.
"Agar Jokowi punya legacy yang bagus, agar punya cerita yang bagus, dikenang sebagai presiden yang bagus dan landing (mengakhiri jabatan) dengan baik," ungkapnya.
Dalam Rapat Kerja Nasional atau Rakernas III PDI Perjuangan di Sekolah Partai, Jakarta Selatan, kemarin, Presiden sendiri telah menegaskan bahwa langkah politiknya murni untuk memastikan situasi nasional tetap kondusif dan damai jelang pemilihan presiden atau Pilpres 2024. Menurut Jokowi, telah menjadi tugasnya untuk memastikan transisi kepemimpinan 2024 berjalan baik.
"Bahwa menjadi kewajiban moral, menjadi tanggung jawab moral saya sebagai Presiden dalam masa transisi kepemimpinan nasional di 2024. Harus menjaga agar visi kepemimpinan nasional serentak bisa berjalan dengan baik, tanpa ada riak-riak yang membahayakan negara dan bangsa," ujar Jokowi.
Pada kesempatan sebelumnya, Presiden juga menyebut bahwa bahwa cawe-cawe yang dilakukannya demi kepentingan nasional. Sebab, lanjut Jokowi, memilih pemimpin pada 2024 sangat krusial. Walakin, peneliti senior Pusat Riset Politik (PRP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai pernyataan Jokowi tersebut dapat ditafsirkan berbeda.
"Karena seolah-olah, pihak yang dia tidak dukung itu akan membawa Indonesia ke arah yang tidak baik. Itu, kan, bisa ditafsirkan seperti itu," katanya saat dihubungi Media Indonesia.
Firman mengatakan seorang presiden boleh-boleh saja mendukung kandidat presiden tertentu. Hal itu juga dilakukan Barack Obama di akhir masa jabatannya yang mendukung Hillary Clinton pada Pilpres Amerika Serikat 2016. Kendati demikian, Firman menekankan bahwa dukungan tersebut baru dilakukan saat masa kampanye dan mendekati pemungutan suara.
"Itu memang Obama menunjukkan keberpihakannya. Setahun sebelum pemilu, Obama enggak pernah cawe-cawe, tapi perlu diingat, bahwa selain kapannya (waktu meng-endorse), lingkungan politik Amerika itu sudah modern," jelas Firman.
Menurut Firman, netralitas struktur dan birokrasi di Amerika telah terjamin meski seorang presiden memberikan endorsement kepada calon tertentu. Hal itu berbeda sekali dengan struktur dan birokrasi di Indonesia. Sebab, dukungan yang dilakukan presiden di Indonesia terhadap calon tertentu akan berdampak pada keberpihakan struktur di bawahnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
"Kalau (Presiden) mau melibatkan diri dalam politik praktis di Pemilu 2024, itu bisa saja terjangkit post power syndrome," kata Ujang kepada Media Indonesia, Rabu, 7 Juni 2023.
Umumnya, lanjut Ujang, pejabat yang telah mengakhiri kekuasaannya cenderung tidak lagi oleh masyarakat. Selain itu, ia juga membuka kemungkinan bahwa cawe-cawe Presiden dijalankan untuk mengamankan persoalan hukum, bisnis, maupun pengaruh ke depannya.
-?
- - - -Namun, apapun motifnya, Ujang menilai seharusnya Presiden tidak melakukan cawe-cawe politik. Ia mengatakan, mestinya Jokowi dapat memosisikan diri sebagai seorang negarawan dan presiden yang adil, baik untuk rakyat maupun kandidat calon presiden.
"Agar Jokowi punya legacy yang bagus, agar punya cerita yang bagus, dikenang sebagai presiden yang bagus dan landing (mengakhiri jabatan) dengan baik," ungkapnya.
Dalam Rapat Kerja Nasional atau Rakernas III PDI Perjuangan di Sekolah Partai, Jakarta Selatan, kemarin, Presiden sendiri telah menegaskan bahwa langkah politiknya murni untuk memastikan situasi nasional tetap kondusif dan damai jelang pemilihan presiden atau Pilpres 2024. Menurut Jokowi, telah menjadi tugasnya untuk memastikan transisi kepemimpinan 2024 berjalan baik.
"Bahwa menjadi kewajiban moral, menjadi tanggung jawab moral saya sebagai Presiden dalam masa transisi kepemimpinan nasional di 2024. Harus menjaga agar visi kepemimpinan nasional serentak bisa berjalan dengan baik, tanpa ada riak-riak yang membahayakan negara dan bangsa," ujar Jokowi.
Pada kesempatan sebelumnya, Presiden juga menyebut bahwa bahwa cawe-cawe yang dilakukannya demi kepentingan nasional. Sebab, lanjut Jokowi, memilih pemimpin pada 2024 sangat krusial. Walakin, peneliti senior Pusat Riset Politik (PRP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai pernyataan Jokowi tersebut dapat ditafsirkan berbeda.
"Karena seolah-olah, pihak yang dia tidak dukung itu akan membawa Indonesia ke arah yang tidak baik. Itu, kan, bisa ditafsirkan seperti itu," katanya saat dihubungi Media Indonesia.
Firman mengatakan seorang presiden boleh-boleh saja mendukung kandidat presiden tertentu. Hal itu juga dilakukan Barack Obama di akhir masa jabatannya yang mendukung Hillary Clinton pada Pilpres Amerika Serikat 2016. Kendati demikian, Firman menekankan bahwa dukungan tersebut baru dilakukan saat masa kampanye dan mendekati pemungutan suara.
"Itu memang Obama menunjukkan keberpihakannya. Setahun sebelum pemilu, Obama enggak pernah cawe-cawe, tapi perlu diingat, bahwa selain kapannya (waktu meng-endorse), lingkungan politik Amerika itu sudah modern," jelas Firman.
Menurut Firman, netralitas struktur dan birokrasi di Amerika telah terjamin meski seorang presiden memberikan endorsement kepada calon tertentu. Hal itu berbeda sekali dengan struktur dan birokrasi di Indonesia. Sebab, dukungan yang dilakukan presiden di Indonesia terhadap calon tertentu akan berdampak pada keberpihakan struktur di bawahnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
(END)
Sentimen: positif (99%)