Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM
Kab/Kota: Yogyakarta
Ekspor Tanah-Air | KRJOGJA
Krjogja.com Jenis Media: News
Fahmy Radhi.
Krjogja.com - AGAK mengejutkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Padahal Pemerintahan Presiden Megawati sudah melarang ekspor pasir laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Alasan Megawati, ekspor pasir laut dapat merusak lingkungan dan ekologi laut, serta berpotensi menenggelamkan sejumlah pulau yang membahayakan rakyat di sekitar pesisir pantai.
Pembukaan kembali keran ekspor pasir laut mengindikasikan bahwa Presiden Jokowi lebih mengendepankan perubahan peraturan ketimbang melanjutkan legasi Presiden Megawati. Izin ekspor pasir laut yang dikeluarkan mendekati pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) nmenimbulkan dugaan bahwa belaid itu dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mengumpulan dana Pemilu. Kalau kebijakan ekspor pasir laut dimaksudkan untuk menambah pendapatan negara, barangkali tidak tepat. Pasalnya, Kementerian Keuangan mengaku selama ini menerima penerimaan negara yang kecil dari hasil ekspor laut, termasuk pasir laut.
Kalau menggunakan cost-and-benefit analysis, biaya yang dikeluarkan untuk ekspor pasir laut jauh lebih besar ketimbang manfaat yang diperoleh, sehingga ekspor pasir laut tidak layak. Biaya yang diperhitungkan tersebut termasuk kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan dan ekologi, serta potensi tenggelamnya sejumlah pulau yang mengancam rakyat di sekitar pesisir laut, termasuk nelayan yang tidak dapat lagi melaut. Sedangkan pendapatan yang berupa perolehan devisa, royalty dan pajak relatif sangat kecil jumlahnya lantaran harga per metrik kubik pasir laut amat kecil. Dalam kondisi tersebut, pengusaha yang mendapat izin ekspor akan meningkatkan produksi dengan mengeduk pasir laut secara besar-besaran agar memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Pengedukan pasir laut secara besar-besaran itulah yang memicu dampak buruk terhadap kerusakan limgkungan dan ekologi laut, serta menyebabkan tenggelamnya pulau yang membahayakan bagi rakyat di pesisir pantai. Para pengusaha tentunya tidak akan berhenti mengeduk pasir laut pada batas sendimentasi selama keuntungan besar belum diraihnya. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pengerukan pasir laut tidak merusak lingkungan. Pasalnya, Pemerintah akan melakukan pengawasan ketat yang menggunakan global positioning system (GPS). Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa pengerukan pasir laut sesuai dengan aturan PP ditetapkan hanya pada batas sendimentasi laut. Selama ini, tata kelola pengawasan terhadap eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam amat lemah, sehingga tidak ada jaminan pengawasan akan efektif pada pengerukan pasir laut.
Sungguh sangat ironis, kalau pengedukan pasir laut itu menyebabkan tenggelamnya sejumlah pulau yang mengerutkan daratan wilayah Indonesia. Sedangkan wilayah daratan Singapora akan semakin meluas sebagai hasil reklamasi yang ditimbun dari pasir laut Indonesia. Kalau ini terjadi, tidak bisa dihindari akan mempengaruhi batas wilayah perairan antara Indonesia dan Singapura. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa Indonesia tidak akan menjual negara dengan mengekspor pasir laut. Namun, faktanya ekspor pasir laut sebenarnya menjual tanah-air, yang secara filosofi merepresntasikan negara.
Presiden Jokowi mestinya melanjutkan legasi Presiden Megawati untuk melarang izin ekspor pasir laut, bukan malah mengizinkannya. Alasannya, ekspor pasir laut akan merusak lingkungan dan ekologi laut, dan berpotensi menenggelamkan pulau-pulau, yang tidak hanya menyengsarakan rakyat, tetapi juga mengerutkan wilayah daratan Indonesia. Jangan sampai Indonesia mengekspor tanah air hanya untuk memenuhi kepentingan sesaat dengan biaya yang amat besar. (Fahmy Radhi, Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM dan Pengurus ISEI Yogyakarta)
Sentimen: negatif (98.4%)