Catatan Kritis Untuk Prabowo: Capres Emosional Mimikri Jokowi

Keuangan News Keuangan News Jenis Media: Nasional

7 Jun 2023 : 10.47
Catatan Kritis Untuk Prabowo: Capres Emosional Mimikri Jokowi

Mengapa Sekarang Prabowo Kalem?

Seperti Anda, saya juga bertanya-tanya, mengapa sikap dan tindak tanduk Prabowo di publik, khususnya dalam sorotan media sekarang terkesan sangat berbeda dari masa-masa menjelang Pemilu 2014 dan 2019. Saya yakin, sikap arogansi Prabowo tidak akan pernah akan dijumpai lagi sekarang, bukan karena dia sudah berubah, melainkan bagian dari siasat branding politik untuk memikat pemilih, khususnya pemilih muda, sebagian Gen millennial dan Gen Z yang tak merasakan dan tak tahu tentang sejarah kelam Prabowo. Ini strategi ciamik, sebab data Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat sebanyak 55% pemilih pada Pilpres 2024 nanti berusia 15 hingga 40 tahun.

Saya pernah bertanya kepada salah satu petinggi partai yang hendak mengusung Prabowo sebagai capres 2014, mengapa sikap Prabowo sekarang berbeda, menjadi kalem. “Sudah saya suntik,” katanya. Jawabannya itu memang terkesan bercanda, tetapi saya kira apa yang ia katakan betul. Diksi suntik ini adalah sebuah masukan kepada Prabowo untuk mengubah gaya komunikasi publiknya, untuk meraih simpati publik. Gaya ini sukses dipakai oleh Jokowi untuk memenangkan dua kali pertarungan di Pilpres melawan Prabowo. Juga oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungguli Megawati yang cenderung jumawa pada Pilpres 2004.

Pertanyaanya siapakah pihak yang bisa “menyuntik” atau menasehati Prabowo untuk berubah, atau paling tidak berpura-pura untuk berubah agar bisa menjadi presiden? Tentu saja ada konsultan politik yang senantiasa mengarahkan gerak gerik Prabowo di publik, tetapi saya anggap bukanlah mereka yang bisa mengubahnya. Amatilah pelan-pelan, perubahan sikap Prabowo bukanlah hasil kerja sehari, tetapi beberapa tahun belakangan dan orang paling berpengaruh dalam perubahan sikapnya adalah Jokowi.

Kalau ada yang percaya, bahwa motif dibalik antiklimaks persaingan sengit Pilpres 2019 yang bahkan melahirkan polarisasi hebat di masyarakat via Cebong vs Kampret, dengan kesediaan Prabowo menjadi pembantu Jokowi adalah murni hanya demi persatuan bangsa, maaf, saya anggap naif. Politisi tetaplah politisi, bagi mereka kekuasaanlah yang utama, dan Prabowo masih pada level politisi bukan negarawan. Kalaupun kemudian terbukti benar, polarisasi itu berkurang-bukan hilang-itu hanyalah efek dari apa yang menurut saya sebagai dampak lain dari hubungan simbiosis mutualismeantara Prabowo dan Jokowi yang disemai sejenak setelah Jokowi dilantik menjadi Presiden pada 20 Oktober 2019.

Jokowi adalah orang yang sangat visioner, berpikir ke depan. Ia adalah paket komplit sosok politisi dan pengusaha, dan meski sering terkesan grasa-grusudalam mengambil kebijakan, ia adalah sosok langka dengan kalkulasi cermat dan matang, di atas rata-rata politisi Indonesia. Misalnya, ia tidak peduli dengan kritik pedas mega proyek infrastruktur, mulai dari jalan tol hingga ibukota nusantara, yang dibiayai dengan utang jumbo. Benar, pilihan Jokowi berdampak buruk dalam jangka pendek pada kinerja perekonomian yang jauh di bawah pendahulunya SBY, tetapi dari sudut pandang teoritis apa yang ia bangun memang baru akan berdampak positif bagi Indonesia setelah ia lengser. Indonesia memang butuh infrastruktur yang layak untuk menjadi negara maju.

Ia tidak bergeming dengan kebijakan hilirisasi produk tambang dan juga regulasi payung kontroversial Cipta Kerja, meskipun di kritik kanan kiri. Ia tahu, dalam visinya, suatu saat nanti ia akan dikenang sebagai peletak fondasi ekonomi Indonesia maju nan modern. Boleh dibilang, hampir semua kebijakan ekonominya itu memiliki dampak positif jangka panjang, sehingga yang ia pun menyiapkan skenario politik jangka panjang untuk memastikan semua kepentingan dan visi nya tetap dijalankan oleh penggantinya. Jokowi hanya tinggal memastikan, penerusnya adalah orang yang direstuinya. Untuk hal ini saya sudah menulisnya dalam seri analisis sebelumnya, bahwa Prabowo adalah pilihan kedua Jokowi untuk melawan Capres PDIP Ganjar Pranowo, sehingga siapapun pemenangnya, kecuali Anies Baswedan, adalah orang yang dapat ia percaya meneruskan kebijakan-kebijakannya.

Itulah makna dibalik istilah ‘cawe-cawe’ yang baru ia akui belakangan ini dan meski ditentang banyak politisi, ia tak peduli. Bahwa, atas nama peluang terakhir Indonesia keluar dari middle income trap, atau jebakan negara berkembang untuk menjadi negara maju tinggal 13 tahun lagi karena keterbatasan demografi, maka ia nekat menerobos fatsun politik sebagai presiden yang seharusnya bertindak sebagai wasit, tidak ikut-ikutan mempengaruhi hasil Pilpres. Saya yakin, cawe-cawe yang diakui Jokowi sekarang sudah ia persiapkan sejak didapuk menjadi presiden pada 2019, dan nama Prabowo masuk dalam skenarionya. Terlepas dari emosinya yang labil, semua tahu Prabowo adalah pribadi yang teguh memegang komitmen, sementara Jokowi sendiri belakangan meminta pemakluman publik bahwa posisinya adalah politisi sebagaimana politisi lainnya, tetapi menggenggam jabatan publik.

Saya duga, sudah ada semacam konsesi politik yang diberikan Jokowi kepada Prabowo saat merayunya untuk bergabung menjadi Menteri Pertahanan saat menyusun kabinet 2019. Pertama, Prabowo ditempatkan di posisi strategis pada kementerian dengan anggaran jumbo tiap tahun, paling besar pada 2023 mencapai Rp131 triliun. Kedua, konsesi endorsementpolitik untuk maju sebagai penggantinya di 2024. Dalam pidato dalam acara HUT Partai Perindo di Jakarta Pusat, 7 November 2022 silam, Jokowi setengah berkelakar bilang begini. “Kelihatannya setelah ini jatahnya (Presiden) Pak Prabowo,” kata Jokowi. Prabowo yang hadir dalam acara itu langsung berdiri dari kursinya dan memberi hormat kepada Jokowi.

Karena berbagai alasan itu, tidak perlu heran mengapa Jokowi secara telanjang mempertontonkan endorse politik kepada Prabowo. Ia tak peduli hal itu membuat sakit hati banyak pemilih, yang mencoblos gambarnya di Pilpres 2014 dan 2019, hanya karena alasan masa lalu kelam Prabowo bukan karena benar-benar suka pada janji kampanyenya. Cek saja pemberitaan media, banyak sekali momen kunjungan-kunjungan Jokowi di daerah dimana Prabowo dan Ganjar diajak pose swafoto bersama. Prabowo bahkan diberikan izin oleh Jokowi untuk ikut menggarap program lumbung pangan atau food estate, yang diharapkan membantu mengerek elektabilitas meskipun program itu jauh dari tugas pokok Kemhan.

Saya mendapat cerita lucu dari internal di Kementerian Pertanian terkait bagaimana sang menterinya, Syahrul Yasin Limpo, yang merupakan politisi Partai Nasdem, dibuat kesal oleh protokol Istana dalam acara panen raya padi di Desa Lajer, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, 9 Maret lalu. Saat itu, yang diajak Jokowi tampil di depan sorot kamera dan wartawan adalah Prabowo dan Ganjar, sementara sohibul hajat, Mentan Syahrul justru dilarang mendekat. Cek saja, tidak ada satupun foto Syahrul yang disebarkan oleh Biro Pers istana dalam acara itu, dan sudah menjadi rahasia umum Jokowi ikut andil mengatur siapa-siapa, terutama tokoh politik yang bisa berdekatan dengannya di depan publik. Pak Jokowi itu, sangat detail orangnya.

 

Foto: Presiden Joko Widodo didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meninjau panen raya padi dan berdialog dengan petani di Desa Lajer, Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah Kamis (9/3/2023). (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)
Presiden Joko Widodo didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meninjau panen raya padi dan berdialog dengan petani di Desa Lajer, Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah Kamis (9/3/2023). (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)

 

Mimikri Jokowi

Dengan tingkat kepuasan kinerja hingga 82% berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2023-tertinggi sejak Jokowi naik tahta pada 2014, sangat masuk akal semua capres ibarat ingin mimikri dengan Jokowi.

Mimikri adalah kemampuan hewan untuk memakai bagian tubuhnya atau warna kulitnya agar dapat menyerupai sesuatu, bisa saja hewan lainnya, benda, perilaku atau bahkan suara. Mimikri tidak berarti hewan mengubah tubuhnya tetapi hanya menyesuaikan tubuhnya sesuai lingkungan atau hewan lain.

Mungkin dalam sejarah politik Indonesia, hanya Soekarno, yang bisa menyaingi popularitas Jokowi. Bahkan, di akhir-akhir masa jabatannya, dan dengan kinerja ekonomi yang mengecewakan, masih saja ia di elu-elukan, khususnya untuk masyarakat lapisan bawah. Jokowi tahu betul cara meraih simpati, ia lakukan itu sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta. Misalnya gimmicksidak jalan rusak di Lampung dan Jambi baru-baru ini yang membuatnya menjadi pahlawan publik karena mempermalukan gubernur setempat-meskipun memang pantas dibuat demikian dan publik berharap demikian-dengan mengubah rute sidak ke jalan yang rusak dan sekonyong-konyong mengambil alih perbaikan.

Dengan popularitas Jokowi yang tinggi, baik Ganjar maupun Prabowo ingin dipersonifikasikan sebagai dirinya-kecuali Anies Baswedan yang kini mengubah strategi kampanye menjadi antitesa Jokowi . Restu Jokowi amat menentukan, karena orang yang dipilihnya besar kemungkinan akan meraup limpahan suara pendukung pada dua pilpres sebelumnya. Maka tak salah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pernah menyatakan capres yang ingin menang harus baik-baik ke Jokowi. Tetapi, capres mana yang paling mungkin berhasil memikat pendukung Jokowi tentu bukan hanya ditentukan oleh restu Jokowi, melainkan siapa yang tampak paling mirip dengannya.

Dibandingkan Ganjar, Prabowo sebenarnya memiliki latar belakang yang lebih mirip dengan Jokowi. Selain politisi, Prabowo adalah juga seorang pengusaha yang bahkan skala bisnisnya jauh lebih besar. Setelah dipecat dari dinas militer pada Agustus 1998, Prabowo kemudian mengikuti jejak adiknya, Hashim Djojohadikusumo, sebagai pengusaha. Dia tidak memulai dari nol seperti Jokowi, tapi menjadi perwakilan kelompok bisnis adiknya, Tirtamas/Comexindo saat di Aman, Yordania. Inilah muasal hingga sampai saat ini hubungannya dengan Raja Yordania Abdullah II amat dekat.

Prabowo berdiri sendiri pada 2001 dengan mendirikan Nusantara Energi. Perusahaan inilah kemudian menjadi mesin pendulang kekayaan bagi Prabowo, yang merupakan capres dengan harta paling banyak dari semua capres yang berlaga sejak reformasi. Hartanya kini senilai Rp 2 triliun. Awalnya bisnisnya bergerak di industri kertas bernama PT Kiani Kertas, di Berau, Kalimantan Timur. Kiani Kertas dibeli dengan harga Rp1,8 triliun dari Bos Hasan. Disinilah hubungannya dengan senior di TNI, Luhut Binsar Panjaitan mencair, karena Luhut didapuk menjadi komisaris. Ada puluhan perusahaan milik Prabowo yang kini dijalankan oleh orang-orang dekatnya seperti Hashim Djojohadikusumo, Widjono Hardjanto, Bambang Atmadja dan Fadli Zon.

Dalam hal mimikri, Prabowo mungkin masih kalah dengan Ganjar karena memang Jokowi secara lebih terang-terangan mengendorse gubernur Jawa Tengah sejak lama. Selain karena satu partai, dan mendapat mandat langsung dari PDIP, partai dimana Jokowi bernaung, Ganjar cukup pintar memainkan lakon-lakon lawas saat Jokowi menjadi gubernur DKI. Tetapi Prabowo tampak tidak menyerah begitu saja, misalnya isu bahwa dia ingin menjadikan anak Jokowi, Gibran Rakabuming sebagai cawapresnya. Bahkan, belakangan diketahui relawan Gibran menyatakan baiat setia kepada Prabowo. Ini belum termasuk munculnya nama Menteri BUMN Erick Thohir, orang kepercayaan Jokowi yang dikabarkan juga akan menjadi cawapres alternatif untuk Prabowo.

Upaya-upaya Prabowo menjadi Jokowi dilakukan secara sistematis, dengan berusaha menjadi bagian dari Jokowi. Termasuk juga, pujian-pujian yang sering ia lontarkan kepada Jokowi untuk meraup simpati pendukung Jokowi. Saya jamin, tak akan ada lagi narasi imperialisme asing, atau antek asing dibalik pembangunan ekonomi Indonesia, seperti yang dulu sering ia angkat sebagai tema kampanye. Prabowo kini lebih kalem, misalnya ia beberapa waktu lalu menyebut semua lawan tandingnya, baik Anies maupun Ganjar sebagai putra-putra bangsa terbaik, pernyataan yang tak akan ditemukan keluar dari Prabowo pada Pilpres sebelumnya. Bahkan, bila dicermati tidak ada lagi suara sumbang dari kader Partai Gerindra untuk mengkritik Jokowi. Misalnya, Fadli Zon kader Gerindra yang dulu tetap mengkritik Jokowi pada awal-awal Prabowo menjadi Menhan. Kemana Fadli Zon sekarang yang dulu sering menghiasi headline media dengan kritik pedas pada Jokowi, tak ada lagi kabarnya, hilang bak ditelan bumi.

Peluang Prabowo untuk menang pada Pilpres 2024 cukup besar, terutama setelah penurunan elektabilitas Ganjar yang merosot tajam pasca komentar anti Israel yang membuat FIFA membatalkan perhelatan sepakbola Piala Dunia U 20. Survei belakangan menunjukkan elektabilitasnya dekat dengan Ganjar, meskipun masih di nomor dua tetapi lebih baik dari Anies. Skenario terbaik bagi Prabowo menang adalah dengan melawan kehendak Jokowi agar Anies tak dapat tiket pencapresan. Prabowo berkepentingan, agar Anies tetap bisa maju dengan mengupayakan skenario dua putaran Pilpres.

Yakni, mengulangi drama sengit Pilkada DKI Jakarta 2017. Polanya, Prabowo akan berlaku seperti Anies, Ganjar bernasib seperti Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan Anies di skenariokan seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Maka, Anies diharapkan kalah pada putaran pertama, dan pada putaran kedua yang menyisakan Prabowo dan Ganjar, pemilih Anies akan berpindah ke Prabowo, karena pada prinsipnya para loyalis Anies akan menerima siapapun presidennya asalkan bukan Ganjar.

Desas-desus skenario ini mencuat belakangan ini sebagai koalisi besar, dikomandoi Partai Golkar yang tak mampu mempertahankan koalisi karena anggotanya, PPP dan PAN memilih hengkang ke PDIP. Koalisi ini mendesain, capres yang bertanding minimal tiga pasang, atau bahkan empat pasang karena dengan asumsi hanya dua pasang saja; Ganjar vs Prabowo, maka Prabowo akan kalah. Koalisi besar ini ingin menjatuhkan dominasi PDIP sebagai partai penguasa, karena dinilai eksklusif, tak mau bagi jatah kekuasaan. Koalisi besar ini juga didukung partai gurem seperti Partai Gelora, dan juga tokoh non partai seperti Wiranto dan bahkan Jimly Asshiddiqie yang kedapatan media bertandang ke rumah Prabowo. Dari semua capres yang ada, harus diakui Prabowo kini cenderung bermain ‘di tengah’, inklusif sehingga dapat bermain di semua kalangan. Ini adalah senjata ampuh baginya untuk memenangi pertempuran pada 2024. (Fhd/ CNBC)

Sentimen: positif (100%)