Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Ramadhan
Institusi: ITB
Kab/Kota: bandung, Batang, Kartini
Ketabahan Inggit Garnasih Demi Soekarno, Rela Berjualan Rokok Bedak hingga Jamu
Pojoksatu.id Jenis Media: Nasional
POJOKSATU.id, JAKARTA— Sekalipun ekonominya lagi sengsara, Inggit Garnasih tetap memaksakan diri untuk membesuk sekaligus memberikan Soekarno uang di dalam penjara.
Saking kuatnya semangat Inggit demi Soekarno, dia rela memaksakan diri berjalan kaki karena tidak memiliki ongkos untuk menyewa kendaraan dari Jalan Jaksa ke Sukamiskin.
Pernikahan Inggit dan Soekarno digelar pada 24 Maret 1923.
Saat itu, Soekarno masih menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng, cikal-bakal Institut Teknologi Bandung (ITB). Jarak usia keduanya terpaut 13 tahun. Soekarno berusia 24 tahun, sementara Inggit 37 tahun.
-
Profil Singkat 9 Istri Sah Soekarno, Hanya 2 Istri yang Memberi Anak Buat Bung Karno
“Tentu suka ada kebutuhan-kebutuhan tertentu pada suamiku yang menyebabkan aku harus mencari akal bagaimana caranya agar keinginan suamiku itu terpenuhi. Kadang-kadang ia meminta sejumlah uang,” cerita Inggit Garnasih dikutip Ramadhan KH dalam buku Soekarno: Kuantar Ke Gerbang (1988).
“Mengenai ini aku sudah berpengalaman sewaktu Kusno masih berada di Banceuy. Sekali waktu Kusno meminta uang sampai enam puluh gulden banyaknya,” ceritanya lagi.
“Soekarno berkata: untuk dibagikan kepada para penjaga. Aku percaya. Bukankah itu satu cara agar sedikitnya yang ditahan bisa mendapat keinginan atau kesenangan terbatas? Supaya para penjaga itu menjadi baik terhadap yang dijaga, itu sekurang-kurangnya,” tambah Inggit lagi.
Semasa Bung Karno dipenjara, Inggit menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Ia banting tulang mengerahkan kemampuannya untuk menghidupi keluarga, sekaligus membantu Bung Karno di Penjara. Untuk menyambung hidupnya, Inggit mengerjakan banyak hal.
Dalam konteks itu, Inggit bahkan bekerja sama dengan para perajin logam untuk membuat golok dan peralatan besi lainnya di Ciwidey, Bandung Selatan.
Keuntungan usahanya itu, dijadikan inggit sebagai modal untuk membeli bahan utama usaha rokok, seperti daun enau (Sunda: kawung) dan tembakau.
Usaha rokok lintingan Inggit dari daun kawung itu laku keras. Setiap bungkus rokok berisi 10 batang. Yang mana, rokok itu diberi merek “Rokok Kawung Ratna Djuami bikinan Ibu Inggit Garnasih.” Rokok itu kemudian menjadi alat perjuangan.
Tiap orang yang bersimpati dengan perjuangan Bung karno akan membeli rokok tersebut. Seiring itu, penyebaran rokok ala Inggit Garnasih turut pula melanggengkan gema perlawanan Bung Karno kepada pemerintah Kolonial diberbagai kawasan.
Her Suganda dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno (2010) menyebutkan, rokok itu ternyata laku keras. Pembelinya yang sekaligus menjadi penyokong perjuangan Bung Karno terdiri dari rakyat kecil.
“Mereka berpendapat, dengan membeli rokok tersebut berarti ikut membantu rumah tangga ekonomi pemimpinnya yang sedang prihatin. Selain itu, bantuan diterima dari Mr Sartono, Moh Thamrin, Sukartono (kakak RA Kartini), Tan Tjoei Gien (pemilik toko kain di Jalan Raya Barat), dan Ibu Wardoyo (kakak kandung Bung Karno),” kata Her Suganda dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno (2010).
“Rokok itu diisap kaum petani dengan kesadaran harus membelinya, sebagai partisipasi pada perjuangan. Dari rokok itupun, Bu Inggit memperoleh penghasilan yang lumayan. Inggit Garnasih berkata: berkat partisipasi seluruh masyarakat,” tertulis pada laporan surat kabar Buana Minggu, 18 November 1979 dikutip Deni Rachman dalam buku Kisah-Kisah Istimewa Inggit Garnasih (2020).
“Mereka membeli dengan harga yang lain tanpa berpikir panjang, pokoknya turut memberikan sumbangan bagi berlanjutnya perjuangan bung Karno,” tertulis dalam buku Kisah-Kisah Istimewa Inggit Garnasih (2020).
Selain berjualan rokok, Inggit juga menjual bedak, jamu, bahkan hingga menjahit kutang.
“Untuk mendukung perjuangan sang suami, Bu Inggit melakukan segalanya mulai dari menjual bedak, meramu jamu, bahkan hingga menjadi penjahit kutang. Semua itu dengan ikhlas dijalaninya untuk menafkahi keluarganya,” kata Abraham Panumbangan dalam buku The Uncensored of Bung Karno (2016).
“Bu Inggit sudah cukup bangga dengan semangat Bung Karno yang tidak pernah padam mengobarkan semangat juang di dada para pemuda Indonesia pada waktu itu. Sepasang pengantin baru tersebut saling melengkapi,” ujar Abraham lagi. (ikror/pojoksatu)
Sentimen: positif (99.9%)