Sentimen
Positif (100%)
31 Mei 2023 : 11.52
Informasi Tambahan

Agama: Islam, Katolik

Event: Ramadhan

Grup Musik: iKON

Institusi: UIN

Kab/Kota: Yogyakarta

Mengenang Wali Toleransi

Rmol.id Rmol.id Jenis Media: Nasional

31 Mei 2023 : 11.52
Mengenang Wali Toleransi

Tradisi Minangkabau memang unik yang sudah melahirkan banyak tokoh tempo dulu. Para pendiri bangsa ini banyak lahir dari alam sana. Buya Syafi’i Ma’arif lahir dari situ. Peringatan satu tahun perginya Buya syahdu dan akrab malam itu.

Yayasan Maarif Institut dan para penggiatnya memberikan testimoni dan melaunching dua buku tentang sang wali: Nyala Abadi Suluh Bangsa: Mengenang Buya Safii Maarif dan Ahmad Syafii Maarif: Guru Bangsa Penembus Batas. Kumpulan tulisan dari berbagai pengagum dan sahabat Buya. Di bawah pohon-pohon besar di rumah seniman itu, dengan koleksi lukisan-lukisan, dan juga kolam dibawah pohon rindang yang asri, malam menjadi bermakna mengingat kebajikan-kebajikan sang wali. Penting mengenang yang sudah meninggal dan mengukur seberapa kita berbuat kebajikan.


Butet Kartaredjasa memberikan testimoni pertama, ketika bersilaturahmi ke rumah Buya. Katanya, saat itu bulan Ramadhan, dan baru berkenalan pertama. Buya sedang menjalankan ibadah puasa. Tetapi kapada sang tamu penganut Katolik, Buya menyuguhi wedang (minuman) dan mempersilahkannya untuk merokok. Seniman ini terkesan dengan keterbukaan Buya dan prinsip toleransi yang selama ini dipegang, tidak hanya sekedar nasehat dan tausiyah.

Buya memang tokoh yang tetap konsisten menyuarakan kebhinekaan, toleransi, hubungan selaras antar-iman, dan isu-isu kemanusiaan. Buya dekat dengan banyak tokoh di berbagai bidang dan asal muasal. Buya tidak membedakan dan memperlakukan mereka berbeda. Buya adil dan bersahabat.

Butet panjang lebar menerangkan sikap dan konsistensi Buya dari waktu ke waktu. Konon, Buya dulu pernah meyakini pendirian negara Islam di Indonesia, namun keyakinan itu berubah. Negara non-agama, namun menjadi tempat semua agama menjadi pilihan berjuang dalam hidup Buya. Beliau istiqomah dengan tema itu untuk mengayomi semua umat.

Kata wali itu sendiri adalah testimoni dari KH Dr. Mustofa Bisri, panutan banyak ummat dan sahabat kental Buya Syafii Maarif. Menurut Gus Mus, tanda seorang wali adalah hilangnya rasa takut dan khawatir karena imannya pada Tuhan kokoh. Buya tidak pernah merasa takut, secara ekonomi, sosial dan politik. Buya selalu tenang dan menerima apa adanya yang terjadi dan menimpa dirinya. Apapun yang terjadi di dunia, wali tetap teguh pada imannya. Dalam menghormati kewalian Buya, keluarga Gus Mus diajak ziarah ke makam Buya, dan ditunjukkan inilah seorang yang derajatnya mencapai wali.

Toleransi antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tampak dalam testimoni Gus Mus. Katanya, jika seorang Muhammadiyah mencapai derajat tinggi akan tampak seperti orang NU. Sebaliknya, jika seorang NU mencapai derajat yang tinggi, akan tampak seperti Muhammadiyah.  

Tentu hadirin menyambut dengan gelak tawa humor yang khas ini. Lontaran ini juga selaras dengan ajakan Ketua Umum PBNU Dr. KH Yahya Cholil Staquf dan Prof. KH Haedar Nashir dalam silaturahim mereka di kantor PP Muhammadiyah dan PBNU di Jakarta dua tahun belakangan ini. Bangsa ini hendaknya bersyukur mempunyai pemimpin yang bijak dalam mendinginkan suasana panas karena persaingan politik ini akhir-akhir ini.

Hadir dalam peringatan wirid kebangsaan itu, banyak seniman, tokoh sosial dan agama, Prof. Amin Abdullah, KH Ulil Abshar Abdalla, dan pameran lima seniman sekaligus: Agus Noor, Bambang Herras, Jumaldi Alfi, Putut Sutawijya dan Suwarno Wisetrotomo. Disamping itu koleksi lukisan pribadi Buya sendiri juga hadir di ruangan tersendiri. Berbicara tidak harus dengan kata-kata dan kalimat yang panjang, karya lukisan dan lagu-lagu bisa menjadi wahana komunikasi yang kadangkala lebih efektif dan menyatukan.

Penulis merasa beruntung mendapatkan undangan dan hadir dalam peringatan wirid kebangsaan tersebut. Saat ini kita rindu pada wali semacam Buya yang mengayomi semua anak bangsa, menjadi penguhubung bagi kebelbagian, dan simbol dan ikon bagi generasi mendatang. Kita membutuhkan panutan yang lebih banyak lagi, contoh nyata yang mudah ditiru.

Sudah banyak manuver-manuver yang dilakukan di publik. Di tengah merebaknya kebencian akibat dari kampanye hitam, saling memojokkan, mencari kelemahan lawan politik, dan kadangkala menunjukkan cacat dari masing-masing yang di dukung dengan video-video Tiktok singkat. Kita membutuhkan pendingin dan penebar hawa damai.

Buya, sang wali sudah pergi setahun lalu. Kita harus mengenangnya. Sesuai dengan testimoni dari Gus Mus dan Butet, makhluk seperti Buya lah yang kita harapkan tumbuh lagi di publik. Intelektual, pemimpin, panutan, dan guru bangsa. Reformasi ini sudah menghasilkan proses demokrasi yang terbuka. Pendapat bersliweran dengan bebasnya. Matinya para pakar dan kepakaran, karena ilmu dan otoritas sudah minim kekuatan.

Para pendakwah kebencian mendapatkan tempat leluasa. Sedikit berbeda mudah dihakimi dengan segera. Komentar-komentar negatif selalu menang dan mendapatkan tanggapan hingga viral. Opini netral, moderat, dan bijak tidak mendapatkan respons dan sedikit pengikut.

Buya adalah wali yang bijak, sederhana, dan mengayomi semua. Sepeda yang khas hadir juga di pameran itu. Sepeda itu sering menjadi kendaraan Buya ketika ada waktu senggang, menjauhkan diri dari kesan kemewahan dan eksklusif. Sepeda diletakkan di pojok sudut ruangan bersama koleksi lukisan pribadi Buya.

Sepeda adalah simbol kesederhanaan sang wali, sangat kontras dengan budaya flexing, pamer kekayaan yang marak akhir-akhir ini di publik. Watak sederhana memang diperlukan. Tampil apa adanya sudah langka, dan layak untuk dimusimkan lagi.

Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

Sentimen: positif (100%)