Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Wonogiri, Yogyakarta, Solo, Bantul
Kisah Cinta Soeharto dan Ibu Tien, Anak Petani yang Menikah dengan Putri Bangsawan Jawa
Pojoksatu.id Jenis Media: Nasional
POJOKSATU.id, JAKARTA — Perjalanan cinta Presiden kedua RI Soeharto dengan Ibu Tien menarik untuk disimak. Perjodohan keduanya antara anak petani dengan putri bangsawan Jawa.
Soeharto bukan lahir dari keturunan ningrat atau kerajaan. Ayahnya bernama Kertosudiro yang merupakan seorang petani dan pembantu lurah, sedangkan ibunya bernama Sukirah.
Ia lahir di Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921.
Sementara Siti Hartinah atau Ibu Tien merupakan anak dari Kandjeng Pangeran Harjo (KPH) Soemoharjomo, seorang pegawai atau wedana Mangkunegaran, Surakarta.
Hartinah merupakan kelahiran 23 Agustus 1923.
-
Dua Orang Ini Ditolak Soeharto hingga Meninggal, Padahal Dulunya Orang Kepercayaan
Saat keduanya menikah, Soeharto berusia 26 tahun sedangkan Ibu Tien berusia 24 tahun.
Soeharto pertama kali bertemu Tien saat bersekolah di Wonogiri, Jawa Tengah.
Kala itu, Tien satu kelas dengan adik sepupu Harto yang bernama Sulardi. Belum ada benih-benih cinta di antara mereka.
Kisah cinta mereka berawal kala Soeharto sedang bertugas di Yogyakarta, dia didatangi oleh keluarga Prawirowihardjo yang tak lain merupakan paman sekaligus orangtua angkatnya.
Di tengah pembicaraan mereka, Ibu Prawiro pun menanyakan soal rencana pernikahan kepada Harto.
Harto yang saat itu berpangkat Letkol tidak begitu serius menanggapi pertanyaan bibi sekaligus ibu angkatnya itu.
Namun, Ibu Prawiro terus mendesak dan mengingatkan Harto pentingnya sebuah pernikahan yang tidak boleh terhalangi oleh apapun termasuk perang.
“Tetapi, siapa pasangan saya? Saya balik bertanya kepada mereka. Saya tidak punya calon,” ujar Pak Harto dalam otobigrafi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya halaman 43-45.
Ibu Prawiro pun meminta Harto agar tidak pusing dengan masalah perjodohan. Dia ternyata telah memiliki calon yang cocok untuk mendampingi Harto. Perempuan itu tak lain dan tak bukan adalah Siti Hartinah.
“Kamu masih ingat dengan Siti Hartinah, teman satu kelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?” tanya Ibu Prawiro.
Harto ternyata masih ingat dengan sosok Tien. Namun, dia tak yakin Tien mau menjadi istrinya.
Keraguan itu karena Tien merupakan putri seorang bangsawan Jawa sementara dia hanyalah anak seorang petani.
“Apa dia akan mau? Apa orangtuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran,” ungkap Harto dengan perasaan minder.
Ibu Prawiro mencoba membesarkan hati Harto. Dia kemudian berjanji mengurus semuanya, dengan jaminan kedekatannya dengan keluarga Kandjeng Pangeran Harjo (KPH) Soemoharjomo, ayah dari Tien.
Tanpa disangka, keluarga KPH Soemarjomo mau menerima tawaran Ibu Prawiro.
Akhirnya, kedua keluarga itu sepakat untuk menggelar upacara ‘nontoni’ yaitu, mempertemukan antara calon pengantin pria dengan calon pengantin wanita.
“Agak kikuk juga, sebab sudah lama saya tidak melihat Hartinah dan keragu-raguan masih ada pada saya, apakah dia akan benar-benar suka kepada saya,” tutur Pak Harto.
Pertemuan itu berujung pada pembicaraan mengenai penentuan hari pernikahan. Harto dan Tien kemudian menikah di Solo pada 26 Desember 1947.
Pernikahan keduanya digelar sederhana karena adanya perang yang sedang berkecamuk pada masa itu.
Bahkan, penerangan di malam hari terpaksa harus dibuat redup untuk menghindari kemungkinan adanya serangan dari Belanda.
Tiga hari usai pernikahan, Harto langsung memboyong Tien ke kota tempatnya bertugas, Yogya.
Soeharto dikaruniai 3 orang putra dan 3 putri hasil pernikahannya dengan Ibu Tien : Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih. (ikror/pojoksatu)
Sentimen: positif (93.8%)