Sentimen
Positif (100%)
23 Mei 2023 : 20.20
Informasi Tambahan

BUMN: BNI, BTN, BRI, Bank Mandiri

Grup Musik: APRIL

Kab/Kota: Hongkong, Shanghai

Partai Terkait
Tokoh Terkait

Bank Indonesia Dukung Kredit Hijau Tetap Mekar

23 Mei 2023 : 20.20 Views 3

Krjogja.com Krjogja.com Jenis Media: News

Bank Indonesia Dukung Kredit Hijau Tetap Mekar

Krjogja.com - PERUBAHAN iklim menjadi masalah bagi negara besar di dunia, termasuk Indonesia. Perubahan iklim bisa menimbulkan kerusakan di tatanan dunia. Bahkan, dapat menimbulkan gangguan bagi perekonomian dan stabilitas sistem keuangan melalui risiko fisik maupun risiko transisi.

Risiko fisik dapat bersifat akut akibat peningkatan intensitas dan keparahan cuaca ekstrem seperti badai, gelombang panas, banjir dan kekeringan. Sedangkan yang bersifat kronis, seperti kenaikan tinggi permukaan laut, kerusakan sumber daya hayati. Risiko transisi merupakan risiko yang muncul akibat perubahan preferensi investor, konsumen dan pembuatan kebijakan seiring dengan meningkatnya kesadaran atas pentingnya transisi menuju ekonomi rendah karbon. Indonesia termasuk salah satu negara dengan dampak perubahan iklim paling besar.

Cuaca ekstrim di Indonesia telah menyebabkan kerugian lebih dari Rp100 Triliun per tahun dan diperkirakan terus meningkat sampai dengan 40% PDB Indonesia pada 2050. Selain menimbulkan cuaca ektrim, perubahan iklim ini akan menghambat pertumbuham ekonomi nasional. Indonesia bakal menderita kerugian tahunan rata-rata sebesar 45 juta US Dolar antara tahun 2000-2019 karena bencana alam terkait iklim, dan kemungkinan besar akan tumbuh secara substansial. Para ahli ekonomi memprediksikan, dalam skenario emisi terlalu tinggi dan perubahan iklim terjadi, maka pertumbuhan PDB Indonesia dapat mencapai puncaknya yaitu 8.800 US Dolar per kapita pada tahun 2100. Melihat dampak yang luar biasa itu, harus segera dilakukan pencegahan nyata. Pertemuan tingkat internasional sebagai langkah konkret pencegahan dampak perubahan iklim telah banyak dilakukan.

Sebagai bagian dari komitmen Indonesia dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), berbagai langkah dan strategi perlu diupayakan seluruh pihak, termasuk perbankan. Salah satu aspek yang diupayakan perbankan dan memegang peran penting dalam mewujudkan visi tersebut adalah pembiayaan hijau. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa tujuan pembiayaan hijau adalah untuk meningkatkan aliran keuangan. Dari perbankan, misalnya, aliran keuangan dapat ditingkatkan melalui kredit mikro, asuransi, dan investasi kepada sektor publik, swasta, serta nirlaba agar dapat digunakan untuk prioritas-prioritas pembangunan berkelanjutan. Pada dasarnya, pembiayaan hijau diperlukan untuk membantu mengatasi permasalahan perubahan iklim. Lebih dari itu, pembiayaan hijau juga jadi modal untuk memitigasi bencana yang tak terprediksi pada masa depan.

Karena itu guna mendukung pembiayaan sekaligus memitigasi risiko sistemik dari perubahan iklim, UU PPSK memberikan mandat kepada Kementerian Keuangan, OJK dan Bank Indonesia untuk berkoordinasi mengembangkan keuangan berkelanjutan dan mendorong penerapannya bagi pelaku usaha. Dalam hal ini, kewenangan Bank Indonesia adalah mengatur dan mengembangkan keuangan berkelanjutan. Sebagai tindaklanjut UU PPSK, Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan dan OJK sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Komite Keuangan Berkelanjutan dan RPP Taksonomi Berkelanjutan. Terbitnya dokumen ini perlu diapresiasi mengingat Indonesia menjadi negara kedua di ASEAN setelah Malaysia yang mengeluarkan dokumen taksonomi hijau.

Bank Indonesia sendiri melalui kebijakan makroprudensial mengeluarkan beberapa kebijakan penting. Kebijakan ini memegang peranan penting dalam mengelola risiko keuangan terkait perubahan iklim. Pertama, perubahan iklim menimbulkan risiko sistemik pada skala global dan nasional, sehingga memerlukan pendekatan makrofinansial dalam pengelolaannya. Kedua, dampak risiko perubahan iklim memiliki lintasan waktu yang panjang dan sarat dengan eksternalitas. Kebijakan makroprudensial dipandang sebagai pendekatan yang optimal untuk memitigasi risiko keuangan terkait eksternalitas perubahan iklim dalam jangka panjang.

Bank Kunci Pembiayaan

Mengingat kemampuan APBN yang terbatas, sebagian besar pembiayaan perubahan iklim diharapkan bersumber dari sektor keuangan, khususnya bank. Sebagai sumber pembiayaan utama perekonomian Indonesia, bank diharapkan dapat memobilisasi pembiayaan ke sektor-sektor yang berkontribusi pada penurunan emisi nasional. Bank Indonesia terus melakukan penguatan kajian dan riset, berpartisipasi dalam knowledge sharing, serta secara proaktif menjalin koordinasi dengan otoritas terkait untuk mengawal inovasi dan sinergi kebijakan makroprudensial hijau. Guna mendorong keuangan berkelanjutan pada industri perbankan, Bank Indonesia telah menetapkan beberapa kebijakan makroprudensial bersifat insentif, antara lain:
1. Kebijakan Rasio LTV/FTV kredit/pembiayaan properti dan batasan uang muka KKB/PKB untuk mendorong pembiayaan properti berwawasan lingkungan dan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan. Pada tahun 2020, kebijakan ini diperkuat dengan pelonggaran rasio LTV/FTV bagi kredit/pembiayaan properti berwawasan lingkungan dapat diberikan sampai dengan 100% dan uang muka kredit/pembiayaan kendaraan listrik dapat diberikan sampai dengan 0% .
2. Kebijakan RPIM untuk mendorong pembiayaan berkelanjutan. Melalui kebijakan ini, bank diberikan kelonggaran memenuhi kewajiban RPIM melalui pembelian Obligasi Berkelanjutan dan pemberian kredit/pembiayaan kepada PT. SMI selaku pengelola SDG Indonesia One.
3. Kebijakan Insentif Makroprudensial dalam bentuk pelonggaran atas kewajiban pemenuhan giro Rupiah bank di Bank Indonesia atas penyaluran pembiayaan terhadap sektor prioritas dan inklusif39 untuk mendorong peningkatan pembiayaan berkelanjutan yang diperluas dengan pembiayaan terhadap sektor hijau.

ilustrasi ekonomi dan kredit hijau
© 2023 krjogja.com/freepick

Melalui kebijakan insentif ini, bank sentral terus mendorong pendalaman dan perluasan keuangan hijau sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam hal ini, Bank Indonesia telah berkolaborasi dengan Kementerian Keuangan, OJK dan LPS dalam menyelesaikan climate stress test terhadap perbankan nasional serta berkolaborasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi melakukan asesmen dampak transisi perubahan iklim terhadap makrofinansial Indonesia. Lebih lanjut, Bank Indonesia juga terus menguatkan riset terkait ekonomi sirkular dan asesmen sektoral yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.

Bank Indonesia juga mulai mendorong pengembangan UMKM hijau dalam rangka mendukung penguatan keuangan hijau yang diharapkan dapat menjadi kekuatan baru perekonomian Indonesia. Transformasi UMKM hijau diharapkan dapat semakin meningkatkan daya saing UMKM dan berkontribusi pada perekonomian di tengah meningkatnya perhatian atas perubahan iklim global dan permintaan terhadap produk yang eco-friendly. Dalam hal ini, telah disusun Kajian Model Bisnis Pengembangan UMKM Hijau dan framework kebijakan pengembangan UMKM. Model bisnis UMKM hijau Bank Indonesia mengklasifikasikan praktik hijau yang dilakukan UMKM menjadi 3 tahapan yaitu: Eco adopter, Eco-entrepreneur, dan Eco-innovator. UMKM hijau dinilai berdasarkan berbagai indikator hijau yang meliputi aspek: produksi, pemasaran, sumberdaya manusia, dan keuangan, berdasarkan tahapannya masing-masing. Indikator hijau dalam praktiknya ada yang bersifat mandatory dan complement.

Selain mengeluarkan kebijakan, Bank Indonesia mengeluarkan langkah nyata bahwa bank sentral akan mengalokasikan sekitar 5% dari total cadangan devisa yang dimiliki BI (atau setara USD6 miliar) ke dalam bentuk obligasi berkelanjutan sebagai komitmen dan langkah maju dalam mendukung ekonomi hijau. Hal ini didukung dengan akan aturan terkait Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) Hijau. RPIM ini adalah rasio yang menggambarkan porsi Pembiayaan/Penyediaan dana yang diberikan Bank (Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah) untuk UMKM, Korporasi UMKM, dan/atau Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR) dalam rupiah dan valuta asing sesuai dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia. Pembiayaan inklusif yang diberikan oleh bank dalam melakukan pemenuhan RPIM, berupa: (1) pemberian kredit atau pembiayaan secara langsung dan rantai pasok; pemberian kredit atau pembiayaan melalui lembaga jasa keuangan, badan layanan umum, dan/atau badan usaha; (2) pembelian surat berharga Pembiayaan Inklusif; dan/atau (3) pembiayaan inklusif lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Nantinya BI akan merancang bahwa untuk melakukan pemenuhan RPIM ini, bank diharuskan terlebih dahulu membeli obligasi hijau. Selain itu bank sentral dalam operasi moneter bisa menerima obligasi berkelanjutan sebagai jaminan bagi bank untuk mendapatkan likuiditas dari BI. Karena itu, bank yang memiliki obligasi hijau maupun obligasi berkelanjutan, jika bank membutuhkan likuiditas dari bank sentral, maka mereka bisa melakukan repo obligasi ke bank sentral dan mereka akan mendapatkan likuiditas rupiah untuk membiayai proyek-proyek berkelanjutan.

Green Credit di China

Melihat dampak perubahan iklim masyarakat di beberapa negara, utamanya negara maju terdapat tren untuk menjalankan gaya hidup hijau. Hal inilah yang akhirnya menginspirasi berbagai bisnis untuk mengembangkan kredit hijau (green credit). Sekadar contoh, sejak 2006 sejumlah bank di Cina mulai memperketat pinjaman bagi berbagai perusahaan penyumbang polusi yang besar. Dengan target pengurangan konsumsi energi hingga 20%, pemerintah menilai industri keuangan sebagai alat untuk membersihkan industri yang mencemari lingkungan.

Sistem green credit diyakini merupakan cara yang baik untuk mengurangi risiko dan membuat citra publik yang positif. Kini industri keuangan di Cina tengah bergeser dan lebih mengutamakan pemberian dana untuk berbagai proyek yang ramah lingkungan. Bank Industrial China menjadi bank Cina pertama yang menerapkan Equator Principles atau Prinsip-Prinsip Khatulistiwa. Di dunia baru 68 institusi keuangan yang telah menerapkan prinsip ini, yang menjadi standar internasional untuk mengatasi isu lingkungan dan sosial. Penerapan Equator Principles ini akan meningkatkan risiko kapasitas manajemen bank, namun isu ini yang sangat penting bagi semua bank. Equator Principles lebih berdampak langsung dan merupakan cara yang realistis untuk mengatasi berbagai risiko. Selain itu, ini merupakan kesempatan yang baik bagi bank untuk mendapatkan kesempatan internasional untuk mendanai berbagai proyek.

Sementara itu, The Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) meluncurkan kartu kredit hijau (green credit card). Peluncuran kartu kredit ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada nasabah/pemegang kartu kredit HSBC untuk memberikan kontribusi pada program kelestarian lingkungan. Konon kartu ini dibuat dari bahan PET G, jenis material yang bebas chlorine dan kemasan welcome pack. Sedangkan lembar tagihan dikirimkan lewat format elektronik untuk menghemat kertas. Para pemegang kartu ini akan ikut dalam pembangunan atap yang ramah lingkungan (green roof) di beberapa sekolah di Hong Kong. HSBC akan mendonasikan 0,1% dari setiap nilai belanja yang dilakukan nasabah bagi program HSBC Green Roof untuk sekolah tersebut.

Lalu, sejauh mana perbankan nasional melirik kredit hijau ini? Sebagai motor perekonomian bank memperkuat portofolio pembiayaan hijau atau green financing untuk mendanai berbagai proyek yang sejalan dengan arah pembangunan berkelanjutan. Hampir semua bank papan atas di Indonesia, mencatat pertumbuhan portofolio kredit hijau. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, misalnya, mencatat portofolio terhadap pembiayaan berkelanjutan sebesar Rp226,3 triliun hingga semester pertama tahun ini. Jumlah itu mewakili 25 persen dari total kredit yang disalurkan oleh perseroan. Angka itu juga tercatat konsisten tumbuh dibandingkan dengan posisi pada 2019 yang masih di kisaran 20 persen. Porsi pembiayaan terbesar menyasar sektor perkebunan, terutama industri kelapa sawit berkelanjutan. Selain itu, sektor transportasi dan energi bersih.

Sebagai salah satu upaya untuk mendukung bisnis yang berkelanjutan, khususnya di Indonesia, Bank Mandiri juga menggelar Mandiri Sustainability Forum (MSF) 2022 secara hybrid. Forum bertajuk Industry for tommorrow ini bertujuan untuk menyediakan wadah diskusi bagi pelaku bisnis, pemerintah, dan juga pelaku usaha lainnya terkait potensi dan tantangan ESG ke depan, baik di tingkat global maupun nasional. Forum ini diharapkan menjadi wadah aspirasi bagi pemangku kepentingan, regulator, pelaku industri, dan Bank Mandiri untuk bersama-sama menggali potensi ekonomi berkelanjutan, yang juga selaras dengan Agenda Nasional Pemerintah.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) membukukan portofolio pembiayaan hijau hingga Rp657,1 triliun atau 65,5 persen dari total kredit yang disalurkan hingga Juni 2022. Dari total portofolio itu, mayoritas disalurkan kepada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merupakan bisnis utama BRI. Selain sektor UMKM, pembiayaan hijau BRI menyasar sektor energi, transportasi, bangunan ramah lingkungan, pengairan, dan lainnya. Komitmen kedua bank dengan aset terbesar di Indonesia itu menjadi gambaran keseriusan industri perbankan dalam praktik ekonomi berkelanjutan yang menjadi bagian dari kerangka Presidensi G20.

Sepanjang 2022 pembiayaan pada Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KKUB) di BNI mencapai Rp182,9 triliun atau 28,5 persen dari total portofolio kredit BNI. Sustainable Portfolio ini utamanya diberikan untuk kebutuhan pengembangan ekonomi sosial masyarakat melalui pembiayaan segmen kecil sebesar Rp 123,2 triliun; pengelolaan bisnis ramah lingkungan dan sumber daya alam hayati sebesar Rp 19,7 triliun; energi baru dan terbarukan sebesar Rp 10,9 triliun; pembiayaan untuk pencegahan polusi sebesar Rp 4 triliun; serta Sustainable Portfolio lainnya sebesar Rp 25,1 triliun.

BNI juga memiliki komitmen untuk mengembangkan praktik usaha berkelanjutan sejalan dengan agenda global. BNI mulai proaktif memperkenalkan Sustainability Linked Loan (SLL), di mana salah satu aspek utama SLL adalah pemberian insentif bagi nasabah untuk memperbaiki aspek ESG dalam bisnisnya. Perseroan menawarkan pricing yang menarik sebagai insentif bagi debitur dalam rangka meningkatkan pencapaian aspek ESG. Bahkan, dalam jangka panjang ingin terus meningkatkan inisiatif tersebut agar menjadi bank dengan praktik ESG terbaik di Indonesia. Sepanjang tahun 2022, BNI telah menyalurkan SLL sebesar USD 355 juta atau ekuivalen Rp 5,3 triliun yang disalurkan kepada debitur top tier di sektor industri prioritas, seperti Fast-Moving Consumer Goods dan manufaktur.

PT Bank Central Asia Tbk (BCA) membukukan bahwa hingga Desember 2022 penyaluran kredit perseroan ke sektor-sektor berkelanjutan mencapai Rp 183,2 triliun atau tumbuh 14,9% secara tahunan, berkontribusi 25,4% terhadap total portofolio pembiayaan BCA. Nantinya, pertumbuhan pembiayaan ke sektor berkelanjutan tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan total kredit BCA. Bahkan, untuk khusus untuk sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) per Desember 2022, perseroan telah menyalurkan pembiayaan bagi sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang tersebut, dengan total kapasitas energi yang dihasilkan sekitar 200 megawatt (MW).

Kredit itu disalurkan dalam sektor Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg), hingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun, dalam penyaluran kredit perseroan selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya.Termasuk dalam memberikan pembiayaan pada sektor hijau. BCA akan terus meningkatkan kapabilitas pembiayaan hijau dari berbagai aspek.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat sektor perbankan semakin agresif mengembangkan inisiatif keuangan berkelanjutan. Hingga saat ini, penyaluran kredit hijau dan penerbitan surat utang berkelanjutan oleh perbankan mencapai Rp 881,9 triliun. Penyaluran kredit hijau tersebut melalui 13 bank, delapan di antaranya merupakan peserta pilot project kredit sektor hijau. Realisasi keuangan berkelanjutan perbankan juga datang dari penerbitan obligasi hijau. Terdapat tiga bank yang telah menerbitkan surat utang berkelanjutan. Dua bank milik negara yakni BRI dan Mandiri memenerbitkan Global Sustainability Bond senilai Rp 12,25 triliun. Kemudian OCBC NISP bekerjasama dengan Korporasi Keuangan Internasional (IFC) Bank Dunia menerbitkan Green and Gender Bond senilai Rp 59,9 triliun. Perbankan juga ikut serta dalam skema blended finance dengan nilai Rp 35,6 triliun.

Skema keuangan berkelanjutan semakin berkembang bukan hanya di sektor perbankan melainkan juga di sektor pasar modal. Heru menyebut Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki indeks SRI-KEHATI yang merupakan indeks saham untuk penerbitan saham-saham berkelanjutan. Indeks ini digunakan oleh 11 perusahaan manajer investasi untuk menerbitkan reksadana ESG dengan total dana kelolaan Rp 2,5 triliun hingga April 2021. Indeks ini terdiri atas 25 saham perusahaan publik yang tercatat di BEI. Sektor perbankan yang ikut serta dalam indeks ini antara lain, BCA, BNI, BRI, bank Mandiri, BTN dan OCBS NISP.

BEI tahun lalu telah menerbitkan indeks baru yakni IDX ESG Leaders, berisi daftar perusahan dengan kualitas terhadap penilaian lingkungan, sosial dan governance yang lebih baik. Sektor perbankan yang sudah ikut masuk dalam indeks ini antara lain BCA, BNI, BTN dan Mandiri. Sektor asuransi juga bersiap masuk dalam program keuangan hijau. Akan ada skema asuransi hijau yang saat ini tengah dalam proses penyusunan. Skema asuransi ini diharap dapat memberikan penjaminan terhadap proyek-proyek hijau. Sekalipun sudah makin berkembang, OJK akan terus mengawasi implementasi keuangan hijau di sektor keuangan, khususnya realisasi penyaluran kredit berkelanjutan oleh perbankan. Ada tiga langkah pengawasannya. Pertama, OJK monitoring sekali dalam setahun untuk memerika kepatuhan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) perbankan. Kedua, monitoring setiap tiga bulan sekali terhadap portofolio hijau bank. Ketiga, survei tahunan mengenai implementasi kebijakan keuangan berkelanjutan oleh perbankan.

Peluang dan Tantangan Kredit Hijau

Sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang cukup tinggi, pemerintah tampaknya perlu menempatkan perlindungan lingkungan yang seimbang dengan pembangunan ekonomi. Untuk itu, diperlukan adanya sejumlah pendekatan yang pragmatis. Selain itu, bahwa untuk melindungi lingkungan, kita tidak mungkin melarang kegiatan industri yang merusak lingkungan karena mungkin saja kita masih membutuhkan produk-produk yang dihasilkan industri tersebut, di samping tuntutan penyediaan lapangan kerja. Untuk itu, mungkin, ke depan pemerintah perlu terus mendorong bank-bank untuk bekerja sama dengan berbagai perusahaan yang menghasilkan polusi besar agar mereka bisa lebih ramah lingkungan.

Sebagai daya tarik, pemerintah mungkin dapat memberikan sejumlah sweeteners bagi perbankan, misalnya pemberian berbagai insentif dalam bentuk potongan pajak kepada bank yang memberikan kredit bagi perusahaan yang ramah lingkungan. Sebaliknya, bank yang memberikan kredit kepada perusahaan yang banyak melakukan pencemaran tidak berhak mendapatkan potongan pajak, bahkan bisa saja dikenai disinsentif dalam bentuk pembayaran pajak yang lebih besar. Bank Indonesia akan melakukan pilot project untuk memperkuat model bisnis serta sebagai penyusunan pedoman implementasi model bisnis UMKM hijau.

Sinergi dan inovasi bauran kebijakan Bank Indonesia akan semakin ditingkatkan untuk memperkuat ketahanan dan mendukung proses pemulihan ekonomi nasional dari dampak gejolak global. Kebijakan moneter Bank Indonesia tetap diarahkan untuk stabilitas (pro-stability) dengan kenaikan suku bunga secara terukur untuk pengendalian inflasi inti dan ekspektasi inflasi, intervensi valas untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, dan memastikan likuiditas perbankan dan perekonomian tetap memadai. Sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta inklusi ekonomi dan keuangan tetap diarahkan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional (pro growth).

Pada tahun 2023, Bank Indonesia konsisten melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan yang seimbang, berkualitas, dan bekelanjutan sebagai upaya mendukung pemulihan ekonomi nasional dengan turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Stance kebijakan makroprudensial akomodatif ini sejalan dengan arah siklus keuangan yang baru mulai berada dalam fase ekspansif, seiring terjaganya stabilitas sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial akomodatif yang ditempuh oleh Bank Indonesia adalah (i) penguatan kebijakan insentif makroprudensial; (ii) perpanjangan kebijakan pelonggaran LTV/FTV kredit properti dan uang muka KKB; (iii) penyempurnaan kebijakan RIM/RIM Syariah dan PLM/PLM Syariah; serta (iv) mempertahankan rasio CCyB sebesar 0%.

Sebagai inovasi kebijakan, Bank Indonesia kembali memperkuat kebijakan insentif makroprudensial, yang bersifat akomodatif, inklusif, dan berkelanjutan yang akan berlaku sejak 1 April 2023. Penyempurnaan kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan khususnya kepada sektor prioritas yang perlu didorong pemulihannya. Lalu, kredit/pembiayaan kepada UMKM (termasuk KUR) berdasarkan pencapaian rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM), serta kredit/pembiayaan berwawasan lingkungan. Penyempurnaan ini meningkatkan insentif makroprudensial berupa pelonggaran atas giro Rupiah bank di Bank Indonesia dari paling tinggi sebesar 2% menjadi 2,8%. Lebih lanjut, terdapat reklasifikasi subsektor prioritas sesuai dengan perkembangan kinerja masing-masing sektor ekonomi dalam kaitannya terhadap pemulihan ekonomi nasional. Terkait dukungan bagi kredit/pembiayaan hijau yang diberlakukan pada April 2023, insentif diberikan terhadap bank yang memberikan kredit/pembiayaan untuk properti dan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan.

Ke depan, Bank Indonesia akan terus menyempurnakan kebijakan insentif makroprudensial untuk mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan melalui pemberian insentif bagi bank yang menyalurkan kredit pada targeted sectors, antara lain sektor hilirisasi. Bank Indonesia juga memperpanjang pelonggaran. Rasio LTV untuk Kredit Properti (KP), Rasio FTV untuk Pembiayaan Properti (PP), dan Uang Muka untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (PKB) untuk mendorong pertumbuhan KP, PP, KKB, dan PKB yang semula berlaku sampai dengan 31 Desember 2022 menjadi berlaku sampai dengan 31 Desember 2023. Dengan adanya perpanjangan pelonggaran dimaksud, rasio LTV dan FTV dimungkinkan paling tinggi 100% dan uang muka paling rendah 0%.

Penyempurnaan ketentuan juga dilakukan pada RIM dan PLM. Penyempurnaan kebijakan RIM/RIM Syariah dan PLM//PLM Syariah ditujukan untuk memastikan efektivitas ketentuan sehingga dapat mendorong fungsi intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas serta mendukung ketahanan likuiditas perbankan. Selain itu, sebagai bauran kebijakan Bank Indonesia, khususnya kebijakan moneter yang pro-stability, Bank Indonesia juga memperkuat pengelolaan devisa ekspor dengan melibatkan peran perbankan. Penguatan pengelolaan devisa hasil ekspor dilakukan melalui instrumen operasi moneter valas Devisa Hasil Ekspor (DHE) berupa term deposit (TD) valas DHE sebagai instrumen penempatan DHE oleh eksportir melalui bank kepada Bank Indonesia sesuai dengan mekanisme pasar yang telah berlaku per 1 Maret 2023.

Hal tersebut dilakukan untuk memastikan DHE, khususnya dari ekspor komoditas Sumber Daya Alam (SDA) ditempatkan dalam pasar keuangan domestik secara berkesinambungan. Bank Indonesia juga memberikan insentif bagi perbankan berupa pengecualian dana DHE yang ditempatkan pada TD valas dari komponen DPK yang digunakan dalam perhitungan GWM valas, dan RIM atau RIM Syariah. Hal tersebut ditujukan untuk mendorong perbankan berpartisipasi dalam penempatan OM Valas. Setelah melakukan penyempurnaan kebijakan insentif yang diberlakukan pada tanggal 1 September 2022, Bank Indonesia kembali menguatkan kebijakan insentif yang bersifat akomodatif, inklusif, dan berkelanjutan yang mulai berlaku sejak 1 April 2023. Penguatan kebijakan ini ditujukan untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan khususnya kepada sektor prioritas yang perlu didorong pemulihannya, kredit/pembiayaan kepada UMKM (termasuk Kredit Usaha Rakyat) berdasarkan pencapaian RPIM, serta kredit/ pembiayaan berwawasan lingkungan.

Penyempurnaan pertama, menambah cakupan insentif dari kredit/pembiayaan berwawasan lingkungan meliputi Kredit Properti (KP)/ Pembiayaan Properti (PP) untuk pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan atau KP/PP konsumsi beragun Properti Berwawasan Lingkungan serta Kredit Kendaraan Bermotor (KKB)/Pembiayaan Kendaraan Bermotor (PKB) untuk pembelian Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan. Penyempurnaan kedua, besaran insentif makroprudensial berupa pelonggaran atas ketentuan penempatan giro Rupiah bank di Bank Indonesia meningkat dari paling tinggi sebesar 2% menjadi paling tinggi sebesar 2,8% dengan rincian insentif atas penyaluran kredit/ pembiayaan kepada sektor prioritas tetap paling tinggi sebesar 1,5%, insentif atas pencapaian RPIM meningkat menjadi paling tinggi sebesar 1,0% dari sebelumnya sebesar 0,5%, serta insentif atas pemberian kredit/pembiayaan berwawasan lingkungan paling tinggi sebesar 0,3%. Selain itu dilakukan penyesuaian kriteria nilai rata-rata pertumbuhan kredit/pembiayaan minimum atas kelompok sektor prioritas yang berdaya tahan terhadap tekanan ekonomi dan yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Penyempurnaan ketiga, dilakukan reklasifikasi 6 sub sektor prioritas yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok sektor prioritas yang berdaya tahan terhadap tekanan ekonomi, kelompok sector prioritas yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, dan kelompok sektor prioritas yang menjadi penopang pemulihan ekonomi.

Melihat kebijakan makroprudensial terbaru ini, perbankan bisa melakukan global benchmarking untuk menyusun roadmap ESG. Salah satu penerapannya dilakukan dengan perumusan komitmen ESG dalam keseluruhan bisnis bank, meliputi strategi bisnis, tata telola, manajemen resiko dan budaya kerja. Pada struktur organisasi, beberapa bank seperti BRI dan Mandiri membentuk tim khusus penerapan ESG untuk menumbuhkan proyek industri hijau dari debitur yang didanai. Aspek operasional bank juga tidak luput dari penerapan green finance. Dalam hal ini, dilakukan pengukuran dampak lingkungan dari emisi kegiatan operasional. Dengan target mengurangi dampak operasional terhadap lingkungan, semakin banyak bank menggunakan teknologi yang memangkas kertas dan mengurangi keharusan datang ke kantor. Selain untuk keperluan internal, penggunaan teknologi juga semakin digencarkan untuk hubungan eksternal perusahaan.

Perkembangan pesat digital banking mendorong transisi bank menuju ekosistem digital. Menurut survei McKinsey pada 2021, sebanyak 78% penduduk Indonesia menggunakan mobile banking, meningkat signifikan dari 57% pada 2017. Inisiatif digital seperti aplikasi digital banking, branchless banking, dan sistem digital untuk pengajuan kredit dapat mengurangi emisi. Nasabah dapat menikmati layanan perbankan tanpa harus berpergian, juga tanpa sampah kertas untuk dokumen yang saat ini sudah terdigitalisasi. Selain itu, perbankan juga mendorong kesadaran publik terhadap perubahan iklim dengan melakukan pelatihan dan edukasi kepada nasabah (debitur) agar bisnisnya semakin ramah lingkungan.

Inisiatif terpenting dalam komitmen perbankan untuk keberlanjutan adalah mobilisasi dana nasabah untuk investasi hijau, baik dalam bentuk produk kredit, sustainability bond, saham hijau dan sukuk hijau. Produk-produk tersebut umumnya dialokasikan untuk proyek hijau dan proyek sosial. Tak pelak, produk keuangan hijau akan terus dikembangkan, sesuai dengan mandat inovasi produk pada Roadmap Keuangan Berkelanjutan 2021-2025.
Penerapan ESG dapat meningkatkan daya saing perusahaan, terutama dalam menghadapi generasi millennial yang menilai penting reputasi suatu perusahaan. Penerapan ESG yang kuat dapat menjadi competitive advantage bagi perusahaan. Terlebih lagi, dengan meningkatnya kaum millenial sebagai investor, konsumen, serta tenaga kerja produktif. Mereka akan cenderung memilih perusahaan yang baik.

Tantangan selain edukasi terkait green finance adalah kurang menariknya insentif bagi perbankan. Biaya pungutan untuk green bond, misalnya, hanya sebatas 5%, dan secara perhitungan bank tidaklah signifikan. Kemudian, sertfikasi green yang tidak mudah, dimana biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan fasilitas yang didapatkan. Secara umum, untuk mengatasi beberapa tantangan dalam keuangan berkelanjutan dibutuhkan perangkat kebijakan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait.

Selain peningkatan kesadaran publik terkait keuangan hijau, kebijakan yang disusun diharapkan disertai insentif atau disinsentif kepada perbankan agar dapat meningkatkan porsi pembiayaan yang mendukung keuangan berkelanjutan menuju net-zero emission. Penerapan green finance di Indonesia memang masih di tahap awal, tetapi perkembangannya menunjukkan potensi yang besar. Baik konsumen maupun perbankan memiliki komitmen untuk mendukung tujuan green finance. (Tomi Sujatmiko, Wartawan Krjogja.com)

Sentimen: positif (100%)