Sentimen
Negatif (96%)
20 Mei 2023 : 06.21
Informasi Tambahan

Event: peristiwa G30S/PKI

Hewan: buaya

Kab/Kota: Malang, Menteng, Gondangdia, Lubang Buaya, Kwitang

Kasus: pembunuhan, penembakan

Tokoh Terkait

Kesaksian Jenderal Nasution dan Pangdam Jaya Brigjen Umar Peristiwa Kelam 30 September 1965

20 Mei 2023 : 06.21 Views 2

Pojoksatu.id Pojoksatu.id Jenis Media: Nasional

Kesaksian Jenderal Nasution dan Pangdam Jaya Brigjen Umar Peristiwa Kelam 30 September 1965

POJOKSATU.id, JAKARTA — Dalam peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI, Jenderal Abdul Haris Nasution menjadi target utama dalam operasi kudeta tersebut.

Pasukan Cakrabirawa diminta membawa Jenderal Nasution dan enam Jenderal TNI AD lainnya ke kawasan Lubang Buaya dalam keadaan hidup atau mati.

Menurut Agus Salim dalam bukunya berjudul Tragedi Fajar: Perseteruan Tentara-PKI dan Peristiwa G 30S, hampir dua pleton yang dibawa untuk menculik Nasution ke Lubang Buaya.

Jumlah pasukan ini lebih banyak daripada jumlah pasukan penjemput jenderal-jenderal lainnya.


Agus Salim menyebut, Nasution sebenarnya merupakan target utama. Hal itu berkaitan dengan posisinya di TNI yang disinyalir cukup berpengaruh sebagai seorang jenderal senior.

-

Kesaksian Soeharto Saat Malam G30S/PKI Sedang Jaga Anak di RSPAD

Kesaksian Nasution di Malam 30 September

Malam hari pada 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, diceritakan bahwa udara malam pada saat itu sangat panas.

Hal itulah yang membuat Jenderal AH Nasution tak dapat memejamkan matanya untuk tertidur lelap karena terlalu banyak nyamuk.

Namun, hal tersebut justru menjadi salah satu alasan dirinya berhasil lolos.

Disebutkan bahwa pada dini hari 1 Oktober, Nasution dan istrinya, Yohana Sunarti serta putri bungsu mereka Ade Irma Suryani mendadak dikejutkan oleh suara desingan senjata.

Pasukan Cakrabirawa dengan beringas memberondong siapa pun yang ditemuinya di rumah Nasution yang terletak di Jalan Teuku Umar, Gondangdia, Menteng, Kota Jakarta Pusat.

Mereka datang dan ditugaskan untuk menyeret Nasution ke kawasan Lubang Buaya dalam kondisi hidup atau mati.

Karena belum tertidur dan menyadari kedatangan pasukan itu, sang istri yakni Yohana Sunarti dengan sigap langsung menggendong Ade Irma yang masih berusia 5 tahun dan meminta Pak Nas sapaan akrab Nasution untuk melarikan diri.

Nasution pun akhirnya berhasil kabur dengan melompat tembok rumahnya dari belakang.

Sementara pasukan Cakrabirawa terus mencari keberadaan Nasution di setiap sudut rumahnya.

Mereka memberondong rumah Nasution dengan tembakan. Saat inilah, anak bungsu Nasution bernama Ade Irma Suryani tertembak di dekapan sang ibu.

Pasukan penjemput Nasution yang diketahui dipimpin Djahurup akhirnya hanya mendapati orang yang posturnya mirip dengan Nasution.

Ia adalah ajudan Nasution, Pierre Andreas Tendean yang berpangkat Letnan Satu Zeni.

Pierre kemudian dibawa oleh para penyerang yang berpacu dengan waktu menuju ke Lubang Buaya. Ia dibunuh dan jasadnya dimasukan ke dalam sumur tua.

Saat melarikan diri Nasution pergi ke rumah Duta Besar Irak. Victor M Fic dalam bukunya, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi menyebut, Nasution kembali ke rumah setelah 2 jam bersembunyi.

Ia kemudian bersembunyi di rumah tetangga hingga pukul 06.00 WIB pada 1 Oktober 1965. Sembari tertatih-tatih, dia kembali ke rumahnya melompat melalui pagar.

Dia kemudian meminta ajudan dan iparnya untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan.

Komandan Staf Markas Besar AD (Kostrad), Letkol Hidajat Wirasondjaja, Mayor Sumargono, dan iparnya, Bob Sunarjo Gondokusumo kemudian mengantarnya menggunakan mobil.

Pada hari yang sama, Nasution, mengirimkan kabar kepada Pangkostrad Mayjen Soeharto mengenai keadaannya.

Jenderal Abdul Haris Nasution kemudian dibawa ke Makostrad untuk mengatur siasat penumpasan pemberontak G30S/PKI.

Kesaksian Pangdam Jaya Brigjen Umar

Pangdam V Jaya, Brigjen TNI Umar Wirahadikusumah memberi kesaksian apa yang terjadi pada 1 Oktober 1965.

Saat itu Umar bergegas menerima telepon usai dipanggil salah satu ART-nya.

Lawan bicaranya Subuh itu adalah Komisaris Polisi (Kompol) Hamdan, salah seorang ajudan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution.

Melalui telepon, Hamdan melaporkan telah terjadi penembakan dan perlucutan senjata petugas oleh pasukan tak dikenal di kediaman Jenderal Nasution.

Ajudan lainnya, Letnan Satu Pierre Tendean juga hilang dari kediaman KSAB.

Umar terkejut. Pikirannya melambung ketika berpangkat Kapten. Umar juga pernah menjadi ajudan Kolonel AH Nasution, Panglima Divisi III Siliwangi, pada Januari hingga Juni 1947.

“Schat, saya harus pergi ke Pak Nas,” kata Umar kepada istrinya. Schat merupakan pangilan bermakna sayang dalam bahasa Belanda.

“Ke Pak Nas?” jawab Karlinah, istrinya dengan penuh tanya.

“Ya, ada sejumlah pasukan tidak dikenal melucuti pasukan jaga dan masuk ke rumah mencari Pak Nas,” ujar Umar menjelaskan.

Dalam kondisi seperti itu, sebagai Pangdam di wilayah Ibu Kota Negara, Umar dalam situasi siaga satu. Dia membuka lemari pakaian dan mengambil pakaian dinas lapangan.

Ia mencoba mengangkat telepon untuk menghubungi sejumlah orang. Tak dinyana, ternyata hubungan telepon sudah terputus.

Sebagai Panglima, ia tidak bisa menghubungi siapa pun. Padahal dalam situasi genting, ia membutuhkan informasi dari sejumlah pihak.

Umar berpikir ada situasi yang sangat tidak biasa di wilayah tanggung jawabnya. Ia bergegas mengambil wudhu untuk menunaikan sholat Subuh. Sekaligus memohon perlindungan kepada Allah, Sang Pencipta.

Usai sholat Subuh dan sarapan secukupnya, Umar segera menyambar tongkat komando dan pistolnya.

Tak lama datang Kapten Sulasdi, perwira piket Garnizun Ibu Kota dengan kendaraan jip. Sang kapten membawa serta Panser Farret.

Ia melaporkan situasi di kediaman KSAB. Panser digunakan untuk mengawal Pangdam Jaya menuju kediaman Jenderal AH Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40. Termasuk beberapa mobil pengawal lengkap dengan pasukan bersenjata.

Di Bundaran Jalan Teuku Umar, rombongan Umar melihat segerombolan pemuda bersenjata Sten Gun.

Mereka mengawasi kediaman Jenderal AH Nasution dari kejauhan. Siapa sekelompok tentara menggunakan Sten Gun tersebut?

Umar belum mendapatkan jawaban. Situasi mencekam. Pengawalnya siap tempur menghadapi segala kemungkinan terburuk.

Begitu Umar tiba di kediaman Jenderal AH Nasution, pada saat bersamaan, datang pula panser dari Markas KKO TNI AL (kini Marinir) dari Jalan Kwitang, Jakarta Pusat.

Rombongan KKO melapor kepada Pangdam Jaya bahwa mereka dihubungi Nyonya Johanna, istri Jenderal AH Nasution untuk mengamankan kediaman KSAB.

Umar kemudian mendapatkan laporan lengkap dari Kompol Hamdan tentang penculikan terhadap Lettu Pierre Tendean. Serta penembakan terhadap Ade Irma Suryani Nasution (5), anak Jenderal Nasution.

Termasuk upaya pembunuhan terhadap KSAB dimana Nasution berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan tidak dikenal. Melompati pagar belakang rumah.

Peristiwa-peristiwa itu terangkum dalam beberapa buku, antara lain Umar Wirahadikusumah, Menegakkan Kebenaran dalam Diam ditulis Herry Gendut Jananto, Penerbit Pustaka Kayutangan, Malang pada 2006.

Begitu juga dalam buku Karlinah Umar Wirahadikusumah, Bukan Sekadar Istri Prajurit karya Herry Gendut Jananto, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2000. (ikror/pojoksatu)

Sentimen: negatif (96.6%)