Sentimen
19 Mei 2023 : 10.55
Informasi Tambahan
Kasus: HAM, pembunuhan, kekerasan seksual
Tokoh Terkait
25 Tahun Reformasi, Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Malah Mundur
Medcom.id Jenis Media: News
19 Mei 2023 : 10.55
Jakarta: Gerakan reformasi sudah mau berjalan 25 tahun. Tapi, penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu justru melorot.
"Pandangan kami bisa dibilang (penegakan hukum pelanggaran HAM) cenderung mundur," ujar Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Ahmad Sajali, kepada Medcom.id, Kamis, 18 Mei 2023.
Dia menjelaskan sebetulnya memang ada upaya penegakan hukum lewat pengadilan HAM, seperti peristiwa Paniai. Setelah hasil di tingkat pertama, ada gejala atau kecenderungan bahwa Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara, masih sangat lemah dalam proses penyusunan dakwaan.
Hanya, ada satu terdakwa yang dibawa ke proses pengadilan untuk peristiwa Paniai dan dalam dakwaannya terlihat korban justru tidak diberi akses untuk kesaksian. Kemudian, tidak ada turut serta atau penggabungan upaya penuntutan kompensasi atau restitusi sebagai bentuk pemulihan dalam proses dakwaan dan tuntutan.
Korban, lanjut dia, juga distigmatisasi dalam berbagai dokumen-dokumen hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung. Padahal, Kejaksaan Agung seharusnya membela kepentingan korban sebagai representasi negara untuk mengumpulkan fakta dan sebagainya guna memperkuat proses penuntutan.
"Ya kita sama-sama tahu bahwa hasil akhirnya adalah diputus bebas seorang terdakwa di peristiwa ini," ucap dia.
Dia membeberkan bentuk kemunduran lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, yang berulang kali menyebutkan satu konsep penyelesaian hukum pelanggaran HAM berat yang salah. Bolanya seolah-olah dilempar ke DPR, padahal lewat satu putusan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menyebutkan proses di DPR itu setelah proses penyelidikan oleh Komnas HAM selesai untuk 15-17 kasus pelanggaran HAM.
"Kemudian di penyidikannya yang mandek, tapi ujug-ujug Menko Polhukam Mahfud MD langsung mendorongkan arah bolanya ke DPR. Jadi seolah- olah lari dari tanggung jawab. Padahal, mandeknya di Kejaksaan Agung, seperti itu," beber dia.
Menurut dia, hal ini seharusnya menjadi kewenangan atau evaluasi pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo dan Menko Polhukam Mahfud MD.
"Ini seolah-olah jadi salahnya DPR di ranah legisltaif. Pun ada rekomendasi dari DPR untuk pengadilan HAM peristiwa penghilangan paksa penculikan aktivis 97-98, toh tidak ada Keppres pengadilan ad hoc yang dikeluarkan Presiden Jokowi. Itu sih satu catatan yang kita bilang mundur proses penegakan hukumnya," ucap dia.
Atas dasar itu, dia menilai persidangan kasus Paniai hanya untuk cuci tangan Presiden Jokowi. Sebab, peristiwa Paniai adalah salah satu pelanggaran HAM berat yang terjadi di era Jokowi atau Desember 2014.
"Meskipun ada diskursus mengenai beberapa peristiwa HAM berat atau bukan, seperti peristiwa Kanjuruhan, pembunuhan laskar FPI, dan sebagainya, ada upaya penetapan peristiwa pembunuhan Munir di periode ini. Itu juga jadi tantangan dan catatan tambahan bagaimana kaitannya Presiden Jokowi dan adanya kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat," ujar dia. Negara Tak Niat Menuntaskan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan belum ada upaya nyata yang dilakukan pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa 98. Pemerintah justru terlihat enggan menuntaskannya peristiwa HAM tersebut.
“Kerusuhan, penjarahan, dan kekerasan seksual adalah memori sejarah yang melekat tentang Tragedi Mei 1998. Sayangnya hingga hari ini, belum ada upaya konkret dari negara untuk menuntaskannya,” ujar Usman.
Usman mengatakan tragedi 98 menimbulkan dampak serius terhadap korban dan masyarakat secara luas karena memakan korban lebih dari seribu jiwa. Ditambah dengan kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa.
“Hasil temuan tim gabungan pencari fakta kala itu menunjukkan bahwa peristiwa ini terjadi secara sistematis dan terencana, dan negara juga sudah mengakuinya sebagai pelanggaran HAM yang berat. Namun itu tidak cukup. Harus ada upaya nyata untuk mengusut tuntas tragedi ini,” tutur Usman.
Menurut dia, pemerintah seharusnya memberikan perhatian khusus agar pelaku kekerasan, pemerkosaan, dan pembakaran selama kerusuhan saat itu dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sebab, mereka bukan hanya melanggar hak-hak kebebasan dan integritas fisik, tetapi juga merusak martabat korban secara emosional dan psikologis.
Era reformasi dimulai pada 1998, tepatnya saat kejatuhan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Sebelum Soeharto mundur, ada Tragedi Trisakti yang menjadi sorotan banyak pihak pada 12 Mei 1998.
Peristiwa ini menyebabkan empat mahasiswa tertembak mati dan kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya.
Selain itu, terjadi tindak penculikan kepada sejumlah aktivis, pemuda, dan mahasiswa. Merujuk laporan KontraS pada 2017, sembilan korban penculikan berhasil ditemukan. Namun, 13 korban lainnya masih dinyatakan hilang.
Pada 1 Oktober 2005, Komnas HAM membuat tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut. Hasilnya, Komnas HAM menemukan ada dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
"Pandangan kami bisa dibilang (penegakan hukum pelanggaran HAM) cenderung mundur," ujar Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Ahmad Sajali, kepada Medcom.id, Kamis, 18 Mei 2023.
Dia menjelaskan sebetulnya memang ada upaya penegakan hukum lewat pengadilan HAM, seperti peristiwa Paniai. Setelah hasil di tingkat pertama, ada gejala atau kecenderungan bahwa Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara, masih sangat lemah dalam proses penyusunan dakwaan.
-?
- - - -Hanya, ada satu terdakwa yang dibawa ke proses pengadilan untuk peristiwa Paniai dan dalam dakwaannya terlihat korban justru tidak diberi akses untuk kesaksian. Kemudian, tidak ada turut serta atau penggabungan upaya penuntutan kompensasi atau restitusi sebagai bentuk pemulihan dalam proses dakwaan dan tuntutan.
Korban, lanjut dia, juga distigmatisasi dalam berbagai dokumen-dokumen hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung. Padahal, Kejaksaan Agung seharusnya membela kepentingan korban sebagai representasi negara untuk mengumpulkan fakta dan sebagainya guna memperkuat proses penuntutan.
"Ya kita sama-sama tahu bahwa hasil akhirnya adalah diputus bebas seorang terdakwa di peristiwa ini," ucap dia.
Dia membeberkan bentuk kemunduran lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, yang berulang kali menyebutkan satu konsep penyelesaian hukum pelanggaran HAM berat yang salah. Bolanya seolah-olah dilempar ke DPR, padahal lewat satu putusan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menyebutkan proses di DPR itu setelah proses penyelidikan oleh Komnas HAM selesai untuk 15-17 kasus pelanggaran HAM.
"Kemudian di penyidikannya yang mandek, tapi ujug-ujug Menko Polhukam Mahfud MD langsung mendorongkan arah bolanya ke DPR. Jadi seolah- olah lari dari tanggung jawab. Padahal, mandeknya di Kejaksaan Agung, seperti itu," beber dia.
Menurut dia, hal ini seharusnya menjadi kewenangan atau evaluasi pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo dan Menko Polhukam Mahfud MD.
"Ini seolah-olah jadi salahnya DPR di ranah legisltaif. Pun ada rekomendasi dari DPR untuk pengadilan HAM peristiwa penghilangan paksa penculikan aktivis 97-98, toh tidak ada Keppres pengadilan ad hoc yang dikeluarkan Presiden Jokowi. Itu sih satu catatan yang kita bilang mundur proses penegakan hukumnya," ucap dia.
Atas dasar itu, dia menilai persidangan kasus Paniai hanya untuk cuci tangan Presiden Jokowi. Sebab, peristiwa Paniai adalah salah satu pelanggaran HAM berat yang terjadi di era Jokowi atau Desember 2014.
"Meskipun ada diskursus mengenai beberapa peristiwa HAM berat atau bukan, seperti peristiwa Kanjuruhan, pembunuhan laskar FPI, dan sebagainya, ada upaya penetapan peristiwa pembunuhan Munir di periode ini. Itu juga jadi tantangan dan catatan tambahan bagaimana kaitannya Presiden Jokowi dan adanya kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat," ujar dia. Negara Tak Niat Menuntaskan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan belum ada upaya nyata yang dilakukan pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa 98. Pemerintah justru terlihat enggan menuntaskannya peristiwa HAM tersebut.
“Kerusuhan, penjarahan, dan kekerasan seksual adalah memori sejarah yang melekat tentang Tragedi Mei 1998. Sayangnya hingga hari ini, belum ada upaya konkret dari negara untuk menuntaskannya,” ujar Usman.
Usman mengatakan tragedi 98 menimbulkan dampak serius terhadap korban dan masyarakat secara luas karena memakan korban lebih dari seribu jiwa. Ditambah dengan kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa.
“Hasil temuan tim gabungan pencari fakta kala itu menunjukkan bahwa peristiwa ini terjadi secara sistematis dan terencana, dan negara juga sudah mengakuinya sebagai pelanggaran HAM yang berat. Namun itu tidak cukup. Harus ada upaya nyata untuk mengusut tuntas tragedi ini,” tutur Usman.
Menurut dia, pemerintah seharusnya memberikan perhatian khusus agar pelaku kekerasan, pemerkosaan, dan pembakaran selama kerusuhan saat itu dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sebab, mereka bukan hanya melanggar hak-hak kebebasan dan integritas fisik, tetapi juga merusak martabat korban secara emosional dan psikologis.
Era reformasi dimulai pada 1998, tepatnya saat kejatuhan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Sebelum Soeharto mundur, ada Tragedi Trisakti yang menjadi sorotan banyak pihak pada 12 Mei 1998.
Peristiwa ini menyebabkan empat mahasiswa tertembak mati dan kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya.
Selain itu, terjadi tindak penculikan kepada sejumlah aktivis, pemuda, dan mahasiswa. Merujuk laporan KontraS pada 2017, sembilan korban penculikan berhasil ditemukan. Namun, 13 korban lainnya masih dinyatakan hilang.
Pada 1 Oktober 2005, Komnas HAM membuat tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut. Hasilnya, Komnas HAM menemukan ada dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
(AZF)
Sentimen: negatif (100%)