Sentimen
Negatif (100%)
13 Mei 2023 : 22.20
Informasi Tambahan

Kab/Kota: bandung

Tokoh Terkait
Imran Pambudi

Imran Pambudi

Ditemukan 20 Ribu Kasus Sifilis Sepanjang Tahun 2022, 46 Persen Menyerang Perempuan

13 Mei 2023 : 22.20 Views 2

Prfmnews.id Prfmnews.id Jenis Media: Nasional

Ditemukan 20 Ribu Kasus Sifilis Sepanjang Tahun 2022, 46 Persen Menyerang Perempuan

PRFMNEWS - Penyakit menular seksual seperti HIV dan sifilis (raja singa) telah meningkat tajam di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat peningkatan hingga 70% dalam lima tahun.

Sebanyak 20.783 orang terkonfirmasi positif penyakit sifilis. Jumlah tersebut ditemukan selama tahun 2022 dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Sifilis atau raja singa adalah penyakit yang menimbulkan ruam akibat kontak seksual. Apabila terkena sifilis, penderita mungkin saja tidak merasakan gejala. Namun, pada jangka panjang, sifilis dapat menyebabkan kerusakan otak, saraf, mata, hingga jantung.

Baca Juga: Bahaya Penyakit Menular Kelamin Gonore dan Sifilis, Kenali Gejala dan Penyebabnya

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Imran Pambudi mengatakan, sebanyak 46 persen dari jumlah tersebut merupakan perempuan, dan sisanya laki-laki. 

“Kita berfokus pada penemuan kasus dengan melakukan skrining dini sifilis pada level populasi, terutama populasi rentan dan risiko tinggi dengan menggunakan rapid test (tes cepat) yang sudah terstandar dan hasilnya cepat, sehingga bila ditemukan hasil positif dapat segera ditangani,” katanya, melansir Antara, Sabtu, 13 Mei 2023.

Sementara itu, pada kelompok usia diketahui bahwa tiga persen anak berusia di bawah empat tahun terkena sifilis, diikuti dengan usia 5-14 tahun 0,24 persen, 15-19 tahun enam persen, 20-24 tahun 23 persen, sedangkan bagi usia di bawah 50 tahun ada lima persen.

Baca Juga: Kasus Penularan HIV dari Ibu ke Anak di Kota Bandung Masih Tinggi, Pemkot Siapkan Strategi Pencegahan

Kasus paling tinggi ditemukan pada kelompok usia 25-49 tahun mencapai 63 persen.

Imran melanjutkan terkait dengan kelompok populasinya, penderita sifilis paling banyak ditemukan pada laki-laki yang melakukan seks dengan laki-laki (LSL) sebesar 28 persen.

Kemudian di urutan kedua ada ibu hamil 27 persen, pasangan berisiko tinggi (risti) sembilan persen, Wanita Pekerja Seks (WPS) sembilan persen, Pelanggan Pekerja Seks (PPS) empat persen, Injection Drug Users (IDUs) 0,15 persen, waria tiga persen, dan lain-lain 20 persen.

Sementara itu, pada kelompok usia diketahui bahwa tiga persen anak berusia di bawah empat tahun terkena sifilis, diikuti dengan usia 5-14 tahun 0,24 persen, 15-19 tahun enam persen, 20-24 tahun 23 persen, sedangkan bagi usia di bawah 50 tahun ada lima persen.

Baca Juga: Pemkot Bandung Berdayakan Influencer Cantik untuk Edukasi Penanggulangan HIV AIDS

Kasus paling tinggi ditemukan pada kelompok usia 25-49 tahun mencapai 63 persen.

Imran melanjutkan terkait dengan kelompok populasinya, penderita sifilis paling banyak ditemukan pada laki-laki yang melakukan seks dengan laki-laki (LSL) sebesar 28 persen.

Kemudian di urutan kedua ada ibu hamil 27 persen, pasangan berisiko tinggi (risti) sembilan persen, Wanita Pekerja Seks (WPS) sembilan persen, Pelanggan Pekerja Seks (PPS) empat persen, Injection Drug Users (IDUs) 0,15 persen, waria tiga persen, dan lain-lain 20 persen.

Hal yang ditekankan Imran adalah kondisi di Indonesia memprihatinkan karena pada 2022, sebanyak 5.590 ibu hamil positif terkena sifilis, sedangkan yang sudah mendapatkan pengobatan berkisar 2.227 ibu.

Menurutnya, setiap pihak harus berhenti berprasangka buruk pada penderita sifilis sehingga penderita bisa segera diobati dan dicegah keparahannya.

Hal itu dikarenakan sifilis berpotensi ditularkan dari ibu hamil ke anak yang dikandung dan membuka potensi bayi lahir cacat atau mengidap sifilis bawaan (sifilis kongenital).

 

Langkah yang dilakukan Kemenkes

Guna mengatasi sifilis, Kemenkes mengaku berfokus pada penemuan kasus pada populasi rentan dan berisiko tinggi.

Sembari menggencarkan tes cepat antigen, Kemenkes juga mengambil langkah pencegahan melalui sosialisasi edukasi seksual kepada kelompok risiko tinggi dan juga informasi IMS pada kelompok masyarakat umum, sebagai upaya intervensi perubahan stigma dan diskriminasi (IPSD) yang pada hakikatnya memperkuat pelayanan kesehatan di fasyankes dan penemuan kasus.

“Dengan demikian kami pastikan akses layanan IMS jadi berkualitas tinggi untuk semua populasi. Penularan IMS juga akan terus diupayakan berkurang dengan menyasar pada populasi kunci, pasangan dan pelanggannya, sambil memastikan data berkualitas untuk memandu respons menghadapi penyakit (sifilis),” ujarnya.**

 

Sentimen: negatif (100%)