Sentimen
Positif (97%)
7 Mei 2023 : 12.29
Informasi Tambahan

Agama: Islam, Kristen

Kab/Kota: Sukoharjo, Solo

Kelahiranku Menyatukan 2 Keluarga Berbeda Agama

7 Mei 2023 : 12.29 Views 3

Solopos.com Solopos.com Jenis Media: News

Kelahiranku Menyatukan 2 Keluarga Berbeda Agama

SOLOPOS.COM - Chesaria Anita Theresia. (Istimewa)

Solopos.com, SUKOHARJO — Chesaria Anita Theresia itulah namaku. Aku terlahir dari dua keluarga yang berbeda keyakinan. Keluarga dari mamaku beragama Islam dan dari Suku Jawa. Sementara keluarga Papaku beragama Kristen dan masih memiliki keturunan Tionghoa.

Sebelum Papa dan Mama menikah, keluarga papaku tidak setuju dengan hubungan mereka karena faktor agama dan suku yang berbeda. Hingga akhirnya mama dan papa tetap melangsungkan pernikahan pada 14 Februari 1996 tanpa restu Emak, sapaan akrab kami untuk nenek dari Papa. Ini karena Papa harus berpindah masuk Islam untuk mengikuti agama Mama.

PromosiKisah Aditya: Bisnis Merosot saat Pandemi, Bangkit Berkat Mitra Tokopedia

Di awal pernikahan, Mama dan Papa pun memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah kecil. Hubungan Mama dan Papa dengan Emak buruk saat itu. Mereka seperti bermusuhan dan tanpa saling tegur sapa. Pertengkaran hebat pun sering pecah selama 2 tahun sejak Mama dan Papa berpacaran sampai Mama mengandungku di usia kehamilan sembilan bulan.

Di awal pernikahan Mama dan Papa, rumah tangga mereka di uji dengan berbagai persoalan yang membuat keluarga ini agak tidak harmonis. Ekonomi mereka pas-pasan, hanya bisa untuk makan sehari hari. Hingga pada suatu saat Papa nekat memutuskan merantau ke luar kota untuk memperbaiki nasib. Ia meninggalkan Mama sendiri di Solo dalam keadaan hamil muda di sebuah kontrakan kecil.

Selang 8 bulan Mama mengandung akhirnya Papa pulang dari tanah rantau untuk mempersiapkan segala kebutuhan persalinan. Papa dan Mama datang ke rumah Emak untuk meminta restu agar dilancarkan persalinan. Rupanya hubungan mereka belum membaik. Mama dan Papa sama sekali tidak disambut oleh Emak yang justru pergi ke rumah saudara. Mereka berdua hanya ditemui Engkong, panggilan kami untuk kakek, dan Tante Setia, adik Papah.

“Pa, mama [Emak] di mana, kok cuma di rumah sendiri?” tanya papa ke Engkong.

Engkong menjawab, “Tadi pergi ke rumah Cik Leny.”

Tante Setia menanyakan berapa usia kandungan Mama yang dijawab delapan bulan menuju sembilan bulan. “Hati–hati ya Cik kalau mau ke mana-mana, suruh nganter koh Yan [Papa], jangan naik motor sendiri ya Cik,” sambung Tante.

Papa lantas menyampaikan maksud kedatangannya yakni meminta restu dari Engkong dan Emak agar persalinan Mama lancar, begitu pula bayi yang dilahirkan sehat dan normal.

“Ya Yan, tak doa ke dan tak restui kabeh isa berjalan dengan lancar tanpa ada halangan. Aku pesen siji, tolong besok kalau keluar [lahir] cewek harus ada nama Theresia, kalau cowok harus ada nama Kenzo,” pinta Engkok.

Papa pun mengiyakan keinginan Engkong. Saat pamit pulang, Papa diberi uang oleh Engkong. Kataya untuk beli baju baru cucunya yang akan lahir. Dengan senang hati Papa menerimanya sambil menitipkan salam buat Emak dan berharap bisa menemani Mama menjalani proses persalinan.

Adu Mulut Engkong dan Emak

Lucunya, dari rumah saudara Emak melihat kami pulang dari rumah Engkong. Setelah itu barulah Emak pulang tanpa menemui kami. Emak lalu ditanya sama Engkong, “Seko ngendi koe? Anakmu rene barang ora mbok temoni.”

“Aku seko omahe Leny njikuk pesenanku kue ranjang,” ujar Emak.

Engkong menyampaikan bahwa Mama segera melahirkan dan meminta doa restu. Engkong juga menyarankan Emak untuk menghubungi Papa dan Mama. “Koe mbok telepon anakmu ro mantu mu , apa ya ra kangen ro anak mantumu?“ tanya Engkong.

“Ora, lha ngapa ndadak kangen karo anak sek ra gelem gugu wong tuwane,” timpal Emak.

“Kowe dadi wong tuwa mbok ra egois, kuwi wes dadi pilihane anakmu. Kuwi wes dadi jodo karo rejekine anakmu. Awake dewe wes saya tuwa. Sok nek wes ra isa ngapa-ngapa apa kowe arep urep dewe? Apa ora arep ngrusuhi anak anakmu!” balas Engkong.

Emak bilang dia bisa ikut tinggal dengan anaknya yang lain yang mau mengurusinya. Engkong kembali menasihati Emak untuk tidak terus bersikap demikian, karena bagaimana pun Papa adalah darah daging Emak. Sudah selayaknya orang tua mendukung anaknya, kata Engkong. Percakapan itu berujung pada adu mulut antara Engkong dan Emak.

Saking hebohnya adu mulut tersebut, sampai-sampai Tante Setia datang ke rumah papa untuk menceritakan peristiwa itu. “Koh Yan, aku kesel krungu papa karo mama padu bahas kowe. Mama ki ijek durung trima nek kowe pindah agama, karo nikah Cik Ani.” kata Tante Setia.

“Ya wes, aku titip pesen dinggo mama, sepurane nek aku wes dadi anak sek ra gugu karo wong tuwa, iki pilihanku. Aku ora isa nek kon ninggalke Cik Ani kat ndisik mergo aku sayang tenan karo cik Ani,” kata Papa.

Pada 13 Juli 1997 tepatnya pukul 00.30 WIB, Mama merasakan kontraksi hebat hingga Papa meminta bantuan ke Pakde Wardi untuk mengantar ke rumah sakit. Setelah menunggu satu jam akhirnya Pakde Wardi pun datang dan langsung membawa Mama ke rumah sakit di Solo.

Setelah sampai di rumah sakit, ketuban pun sudah pecah duluan. Mama harus segera dilakukan tindakan berupa operasi caesar, karena sudah tidak ada lagi cara lain untuk menyelamatkan aku yang masih di kandungan. Padahal pada waktu itu proses persalinan caesar biayanya mahal.

Momen Perubahan Datang

Sebelum Mama dioperasi, suster meminta Papa menyelesaikan proses administrasi. Di sana bagian administrasi Papa harus menandatangai surat persetujuan tindakan operasi cesar pada mama. Papa juga diberi tahu biaya persalinan secara caesar mencapai Rp4 juta.

Papa agak kaget saat itu juga karena uang yang ia bawa tak cukup. Saat itu Papa yang hanya bawa uang Rp2 juta bertanya apakah kekurangannya bisa dilunasi setelah proses persalinan selesai. Untungnya pihak rumah sakit membolehkan.

Setelah itu papa langsung pergi ke rumah kakek untuk mengabarkan bahwa Mama sudah masuk rumah sakit sekaligus meminjam uang untuk membayar kekurangan biaya persalinan. Di sana ia ketemu Emak.

“Lha kurang pira?” kata Emak dengan nada gelisah.

”Biayane Rp4 juta lha aku lagi nduwe Rp2 juta, ijek kurang Rp2 juta ma,” kata Papa dengan napas tersengal-sengal karena terburu-buru.

”Wah, lha pie Yan. Aku ya gur nduwe Rp500.000 ki. Iki gawanen sek karo tak golek golek ke,” sambung Engkong.

“Wes ngene wae, aku tak salin, aku melu neng rumah sakit, mengko mampir neng toko mas Nogo sek, ngedol gelang ku iki dinggo nambah lahirane Ani,” kata Emak memberi solusi.

Jawaban Emak itu membuat Papa dan Engkong terkejut. Rupanya, saat itu Emak juga mengharapkan kelahiran cucunya yaitu aku. “Terima kasih ya ma sudah bantu saya dan Ani,” kata Papa sambil menangis.

”Wes gek ayo, selak Ani dewe an,” lanjut Emak meminta papa bergegas.

Setelah sampai di rumah sakit, aku pun sudah lahir dan sudah keluar dari ruang operasi untuk di bawa ke kamar anak. Melihat aku lahir, Emak begitu bahagia.

“Putuku wes lahir, Puji Tuhan. Wedok ayu nyempluk,” ujar Emak sambil memeluk Papa.

Setelah menunggu tiga jam, Mama pun keluar dari ruang operasi dan dibawa ke ruang bangsal. Di sana, Mama dan Papa berunding soal nama yang diberikan untukku. Sesuai pesan Engkong, mereka memberi nama Theresia. Sementara Emak juga ingin ikut memberi nama yakni Anita yang artinya wanita yang memberikan kebaikan di dalam keluarga.

Sementara dari pihak keluarga Mama ingin ada nama Chesaria sebagai pengingat bahwa aku dilahirkan secara caesar. Setelah semuanya dirangkai, jadilah namaku Chesaria Anita Theresia yang artinya anak yang terlahir caesar yang memberikan kebaikan dan perdamaian untuk keluarga.

Selang tiga hari di rumah sakit, Mama akhirnya pun boleh pulang. Emak yang belum pernah ke rumah kontrakan pun mau datang untuk membantu Mama merawat aku.

Dari mulai aku lahir di dunia ini, akhirnya Emak dan Papa sudah bisa berdamai dan memaafkan satu sama lain. Kini kami bisa hidup layaknya keluarga besar normal yang rukun, berdampingan tanpa dendam dan amarah.

Memang benar dan nyata, bagi Mama dan Papa kehadiranku adalah anugerah dari Tuhan untuk keluarga kecilnya. Karena kelahiranku dapat menyatukan dua pikiran yangn berbeda, dua ego, dan dua keluarga menjadi satu keluarga besar yang harmonis.

Sentimen: positif (97%)