Sentimen
Negatif (100%)
29 Apr 2023 : 04.20
Informasi Tambahan

Hewan: Babi

Kasus: pencurian

Nasional Nasib Orang Rimba, Dulu Berburu Kini Memulung Pusat Pemberitaan

29 Apr 2023 : 04.20 Views 2

RRi.co.id RRi.co.id Jenis Media: Nasional

Nasional
 Nasib Orang Rimba, Dulu Berburu Kini Memulung

Pusat Pemberitaan

KBRN, Jambi: Hidup masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi dilanda paceklik. Miris, ekonomi turun drastis.

Di isu lainnya, diduga ada banyak diskriminasi terhadap SAD. Kontrol kesehatan, keseimbangan hukum, dan perlakuan pendidikan disebut sangat rentan dan tidak bersahabat dengan SAD. 

Menyambung isu tersebut, rri.co.id mencoba mencari informasi di Desa Sukajadi, Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun. Penulis janjian berbincang dengan Mustafa, seorang pendamping SAD di Sarolangun. 

Mustafa, pendamping SAD di Sarolangun saat berbincang dengan rri.co.id (Foto: rri.co.id/Cecep Jambak)

Mustafa tau betul apa yang dirasakan warga SAD, umumnya di Jambi, terkhusus di Kecamatan Bathin VIII Sarolangun. Maklum, sudah lebih dari setengah abad ia berbaur dengan orang rimba, sebutan lain SAD.

"Kalau untuk kesehatan, khusus di Kecamatan Bathin VIII, Alhamdulillah, tidak ada yang tidak tertangani. Memang ada satu kasus sakit mag yang belum sembuh, sudah dua kali operasi," kata Mustafa, yang disebut orang dusun sebagai jenang SAD.

Pun untuk pendidikan, Mustafa menyebut, anak SAD bersekolah, mulai dari SD, hingga ada yang di SMK. Yang menjadi persoalan saat ini adalah kehidupan perekonomian yang turun drastis.

Perubahan kondisi hutan membuat mata pencarian utama berburu kini sudah tidak lagi menghasilkan. Babi sebagai target buruan sudah sangat kurang, membuat SAD harus mencari alternatif lain bertahan hidup.

"Dari yang biasa di hutan, SAD kemudian mendekat ke desa. Mereka mencari rongsokan, mencari makan lah di situ, paling sekali sebulan baru kembali ke hutan," kata Mustafa. 

Kondisi itu, sebut Mustafa, membuat resah masyarakat. SAD kini meresahkan warga karena mengambil rongsokan yang kemudian jatuh pada aksi pencurian.

"Kini itu yang menjadi beban buat saya. Para anak-anak mencari barang-barang, ada yang sampai mengambil yang masih diperlukan, saya tanya, menurut mereka, selagi tidak ketahuan ya tidak apa-apa," ujarnya. 

Sebab, kata Mustafa, bukan tidak ada bantuan pemerintah. Namun menurutnya, belum memecahkan persoalan yang ada di tengah SAD. 

Bagaimana pemerintah sudah memberikan bantuan seperti lahan, dan alat bercocok tanam, namun tidak untuk keahliannya. Di mana SAD tidak memahami keahlian selain berburu.

"Mungkin dengan tajak (cangkul) saja mereka tidak tau, diberi bibit pun begitu. Kedua mereka juga berpindah, melangun bahasanya, jadi pola kehidupan itu yang membuat mata pencarian lain belum menjadi solusi," ujar Mustafa.  

Mustafa mengatakan, di Kecamatan Bathin VIII ada empat kelompok SDA bermukim. Antara lain di Desa Sukajadi, Tanjung, Pulau Lintang, dan Limbur Tembesi. "Di Tanjung memang belum ada pemukiman tetapnya. Masih pakai pondok," ucapnya.

Khofifah Indar Parawansa (kanan) saat menjabat Menteri Sosial berbincang dengan warga Suku Anak Dalam di permukiman Desa Pulau Lintang, Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sorolangun, Jambi (Foto: ANTARA FOTO/HO/Trisnadi)

Mau Berobat, Bukan untuk Bersalin

Mustafa menyebut, SAD khusus di Bathin VIII yang berjumlah 93 Kepala Keluarga (KK) sudah memiliki kartu sehat untuk berobat. Namun persoalan lain datang, SAD tidak maun melakukan persalinan di fasilitas kesehatan ataupun bidan.

"Mereka cukup dengan alat tradisional, menggunakan ramuan-ramuan, mereka tidak mau disuntik ataupun dioperasi. Sesudah itu baru mereka mau, untuk melihat kondisi anak mereka ke bidan mendapatkan sirup atau obat-obat," kata Mustafa.

Asal Usul SAD

Memang hingga saat ini belum ada bukti tertulis dari mana asal muasal SAD. Ceritanya hanya diperoleh dari tradisi lisan dan cerita yang ada di masyarakat.

Ada yang menyebut, nenek moyang SAD berasal dari Maalau Sesat. Mereka melakukan pelarian ke hutan rimba di Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas yang kemudian disebut sebagai Moyang Segayo.

Namun ada juga yang berpendapat orang SAD berasal dari Pagaruyung yang mengungsi ke Jambi. "Pusatnya di Bukit Duabelas, yang merantau dari Padang, Pagaruyuang," ujar Mustafa.

Memang, pendapat ini diperkuat dengan beberapa kesamaan bahasa dan tradisi antara SAD dengan Minangkabau. Satu di antaranya sistem kekerabatan matrilineal yang juga digunakan oleh SAD.

Persoalan terkini orang SAD tentu harus segera menjadi perhatian semua pihak untuk menghadirkan solusi. Bagaimana mengembalikan dunia SAD, sehingga keresahan akibat berubahnya perilaku SAD tidak terjadi lagi.

Sentimen: negatif (100%)