Sentimen
Negatif (98%)
17 Apr 2023 : 16.10
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Indonesia, UGM

Sukarnya anak-anak keluarga miskin mengakses pendidikan

17 Apr 2023 : 16.10 Views 3

Alinea.id Alinea.id Jenis Media: News

Sukarnya anak-anak keluarga miskin mengakses pendidikan

Hasil survei sosial ekonomi nasional (susenas) 2021 menunjukkan, 76% keluarga yang anaknya putus sekolah disebabkan faktor ekonomi.

Anak-anak dari keluarga ekonomi rendah pun kesulitan menggapai pendidikan hingga perguruan tinggi. Bahkan, disebutkan dalam laporan BPS, pada jenjang pendidikan SMA atau sederajat dan perguruan tinggi persentasenya makin banyak sejalan dengan makin baiknya status ekonomi. Sebaliknya, persentase penduduk tamatan SD atau sederajat ke bawah terlihat semakin besar pada kuintil 1.

“Penduduk pada status ekonomi tertinggi (kuintil 5) didominasi oleh tamatan SMA atau sederajat ke atas, sedangkan pada kuintil 1 didominasi penduduk yang tamat SD atau sederajat ke bawah,” tulis BPS.

Kuintil adalah status ekonomi rumah tangga, yang diukur dengan pendekatan pengeluaran per kapita sebulan. Kuintil 1 dan 2 untuk status ekonomi terendah, kuintil 3 dan 4 status ekonomi menengah, dan kuintil 5 status ekonomi tertinggi.

“Yang usia 15 tahun ke atas di perguruan tinggi dari kelompok miskin cuma 3.02%. Padahal ada beasiswa bidikmisi. Kok masih enggak sekolah?” kata Direktur Eksekutif Asa Dewantara—sebuah lembaga independen nirlaba untuk meningkatkan kualitas pendidikan—Abdul Malik Gismar dalam pemaparan riset secara virtual bertajuk “Menyingkap Perjalanan Pendidikan Anak Keluarga Miskin di Indonesia”, Kamis (26/1).

Malik menyampaikan, jika ada anak dari kalangan tak mampu meraih gelar S3, hal itu perlu diapresiasi. Sebab, jumlahnya sangat sedikit. “Kalau statistiknya, anak-anak dari keluarga miskin tidak akan sampai S3,” ucap dia.

Persoalan pendidikan anak-anak di Indonesia, terutama yang berasal dari keluarga miskin, bisa dilihat sejak usia dini, 0-6 tahun. Di fase tersebut, berhubungan erat dengan persalinan yang aman untuk ibu dan anak, kesehatan anak-anak, mula perkembangan kognitif dan emosional anak-anak, serta partisipasi dalam program layanan pendidikan anak usia dini (PAUD).

Persoalan anak usia 0-6 tahun, antara lain bayi lahir dengan berat badan rendah, malanutrisi, serta kurangnya ketersediaan PAUD di lingkungan tempat tinggal. Malik mengatakan, pada 2021, 12 dari 100 anak Indonesia lahir dengan berat badan rendah. Tiga dari 100 anak di bawah lima tahun atau setara 70.759 anak menderita kekurangan asupan protein dan energi. Hal ini adalah penanda gizi buruk.

“Sekitar 78,81% tinggal di daerah perdesaan,” ujarnya.

Riset Asa Dewantara pun menemukan, 14,94% atau 12.560 desa di Indonesia tak punya akses ke PAUD. Jarak rata-rata PAUD terdekat di perdesaan 18,77 kilometer. Sedangkan di perkotaan 3,15 kilometer. Pada 2021, partisipasi dalam program PAUD hanya 40,17% atau 7,5 juta anak dari total anak berusia 3-6 tahun.

Selanjutnya, anak usia sekolah 7-18 tahun. Pada jenjang SD (7-12 tahun), Asa Dewantara menemukan angka partisipasi belum 100%. Sebesar 8,16% atau 2,1 juta anak tak sekolah.

“Sekitar 92 per 1.000 anak usia 7-12 tahun aktif bekerja (pekerja anak),” ucap Malik.

Ketimpangan jumlah sekolah, sehingga anak harus menempuh jarak yang jauh ke sekolah pun terjadi. Di Maluku dan Papua misalnya, rata-rata SD terdekat berjarak 6,37 kilometer. Berdasarkan karakteristik wilayah, rata-rata jarak terdekat ke SD di perdesaan 4,98 kilometer dan di perkotan 1,19 kilometer.

Lalu, anak usia 13-15 tahun yang seharusnya sudah masuk SMP, kenyataannya 62 dari 1.000 anak masih SD. Dari partisipasinya, riset Asa Dewantara menunjukkan, 24,4% atau 3,3 juta anak usia 13-15 tahun tak terdaftar di SMP.

“Sekitar 6,94% (953.521) anak usia 13-15 tahun tidak sekolah, 60,78% tinggal di perdesaan,” ucap Malik.

Jarak ke sekolah jenjang SMP di perdesaan rata-rata 5,93 kilometer. Sementara di perkotaan hanya 1,98 kilometer. Hal ini berkolerasi dengan ketersediaan sekolah yang timpang, sehingga berpengaruh pula dengan ongkos transportasi.

“8,9% mengatakan biaya untuk sekolah ke SMP lebih dari Rp500.000 (di perdesaan). Perdesaan lebih tinggi daripada di kota yang cuma 3,3% yang mengatakan seperti itu (lebih dari Rp500,000),” kata Malik.

“Padahal, kita tahu ketimpangan income (antara desa dan kota) terjadi.”

Sementara itu, pada jenjang SMA, Asa Dewantara menemukan 5,65% anak usia 16-18 tahun masih duduk di bangku SD dan 13,87% SMP. Sebesar 31,32% atau 4,17 juta anak usia tersebut tak sekolah di SMA, di mana 54,19% tinggal di perdesaan.

“22,52% (3,02 juta) anak usia 16-18 tahun tidak bersekolah lagi, 59,54% tinggal di perdesaan,” katanya.

Soal jarak sekolah pun jadi masalah. Rata-rata jarak ke SMA terdekat di Maluku dan Papua misalnya, harus ditempuh sejauh 20,84 kilometer. Terdekat di Jawa, 4,39 kilometer. Di perdesaan rata-rata jarak terdekat ke SMA adalah 11,07 kilometer dan perkotaan 2,99 kilometer.

Riset Asa Dewantara itu berkorelasi dengan akses pendidikan bagi keluarga miskin. Malik mengatakan, persoalan pendidikan keluarga tak mampu, bukan cuma cukup dituntaskan dengan motivasi dan kecerdasan semata. Perlu juga memperhatikan aspek lain.

“Di keluarga mana seorang dilahirkan masih menjadi penentu ketimpangan di Indonesia,” kata Malik.

“Anak-anak yang lahir di keluarga miskin memiliki risiko untuk menjadi tidak terdidik dan tidak memiliki keterampilan, dengan segala konsekuensi sosial-ekonominya.”

Solusi pendidikan untuk si miskin

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan keluarga miskin sulit menggapai jenjang pendidikan yang tinggi, yakni access barrier dan process barrier. Access barrier, jelas Rissalwan, terkait tingkat gizi di keluarga miskin.

“Kekurangan gizi bisa menghambat anak dari keluarga miskin untuk bersaing dengan anak-anak yang memperoleh gizi lebih baik,” kata Rissalwan saat dihubungi Alinea.id, Rabu (12/4).

Sementara process barrier terjadi ketika anak dari keluarga miskin sudah masuk ke sekolah, tetapi mengalami hambatan dalam biaya untuk ongkos aktivitas sosial.

“Misalnya, dia harus ikut kegiatan kerja kelompok, kemudian dia tidak mampu. Anak-anak orang miskin ini relatif gampang menjadi korban bully dari teman-temannya. Ini membuat dia drop out,” ucapnya.

Rissalwan menjelaskan, sebenarnya keluarga miskin tetap menempatkan pendidikan anak sebagai prioritas. Hanya saja, berlangsung hingga titik saat realita pada hambatan-hambatan sudah tak bisa lagi dilewati.

“Kalau ketemu anak kecil di jalanan yang ngamen, ditanya kenapa ngamen. Pasti jawabannya untuk (biaya) sekolah,” tuturnya.

“Artinya, back mind orang-orang miskin menempatkan sekolah sebagai cara mereka untuk keluar dari kemiskinan.”

Menariknya, Rissalwan mengatakan, persentase drop out mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi yang berasal dari keluarga kurang mampu tergolong tinggi. “Bidikmisi semakin ke sini persyaratannya makin berat,” ujarnya.

“Kalau dulu, miskin saja cukup. Sekarang, harus aktif organisasi, IPK tidak boleh kurang dari sekian poin.”

Bagi Rissalwan, harus ada pemberian prioritas kepada kalangan tak mampu, demi mengatasi persoalan pendidikan pada keluarga miskin. Sebab, kondisi sosial anak-anak dari kalangan miskin tidak punya kemudahan layaknya kelompok kaya.

Contohnya, siswa SMA yang lulus dan masuk perguruan tinggi, tak sedikit yang ikut bimbingan belajar dengan biaya tak sedikit. Tentu saja hal itu tak bisa dilakukan anak dari keluarga miskin lantaran lazimnya mereka tak punya biaya dan ada pula yang harus membantu orang tua mencari penghasilan tambahan.

“Jadi, semakin tinggi (jenjang pendidikan) dia akan semakin drop karena semakin usianya naik, dia semakin punya tanggung jawab besar untuk membantu keluarganya menambah penghasilan,” ucapnya.

“Memang akarnya adalah kemiskinan itu sendiri. Kalau mau angka data (rendahnya partisipasi pendidikan keluarga miskin) itu berubah, ya kemiskinannya harus dikikis.”

Sementara itu, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Andreas Budi Widyanta—yang akrab disapa Abe—menuturkan, pemerintah memang sudah mendorong wajib belajar 12 tahun dan menjalankan program afirmatif, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan beasiswa bidikmisi. Namun, pendidikan untuk keluarga miskin bukan cuma soal biaya.

“Latar belakang keluarga murid itu sendiri menjadi bagian persoalan yang tidak diendus pemerintah secara holistik,” ujar Abe, Rabu (12/4).

Meski sudah ada bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), menurut Abe, itu hanya bersifat parsial. Soalnya, problem keluarga miskin perlu dikalkulasi menyeluruh. Sebab, walau sekolah sudah gratis, tetapi keluarga tak mampu tetap menanggung biaya hidup lain.

Oleh karenanya, ia menyarankan, selain memberi akses untuk sekolah, kemiskinan juga harus diselesaikan. Belum lagi masalah ketimpangan ekonomi.

“Jauh lebih besar kue pembangunannya dinikmati oleh kelas menengah ke atas ketimbang mereka yang miskin,” ujar dia.

“Kalau (keluarga) miskin mungkin hanya diberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai), yang bersifat karitatif.”

Ia melanjutkan, penting untuk memberikan peluang keluarga miskin mengakses ekonomi produktif di lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu, perlu pula diberlakukan kebijakan afirmatif yang memprioritaskan keluarga miskin mengakses sumber-sumber ekonomi produktif.

“Kalau mereka hanya diberi tunjangan yang sangat terbatas dan kecil, apakah itu BLT atau PKH, pasti tidak akan pernah mengalami transformasi ekonomi keluarga yang signifikan,” tuturnya.

“Paling hanya bisa bertahan hidup saja.”

Jika jalan mengentaskan kemiskinan masih seperti itu, Abe yakin pendidikan hanya jadi priorits kesekian bagi keluarga miskin. Cepat atau lambat, anak usia sekolah akan diminta membantu orang tua mencari nafkah.

“Sehingga tingkat pendidikannya paling tinggi hanya SMP atau SMA,” katanya.

Sentimen: negatif (98.5%)