Sentimen
Tokoh Terkait
Tiba-Tiba Jokowi Rapat Soal Gas, Mau Kurangi Impor LPG-BBM?
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan beberapa anggota Kabinet melakukan rapat terbatas (ratas) kemarin, Rabu, 9 November 2022, di Bali.
Rapat terbatas ini disebutkan khusus membahas soal ekosistem energi gas dan kebijakan harga gas untuk industri di dalam negeri.
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui unggahan akun resmi Instagramnya, Rabu (09/11/2022). Dalam unggahannya ini terlihat sejumlah menteri yang ikut rapat bersama Presiden, antara lain Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, hingga Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto.
"Pagi ini - di Bali - di sela persiapan KTT G20, Presiden @jokowi mengadakan rapat terbatas mengenai ekosistem energi gas dan kebijakan harga gas untuk industri dalam negeri," ungkap Sri Mulyani melalui akun Instagramnya, Rabu (09/11/2022).
Sri Mulyani mengatakan, rapat terbatas dadakan ini dilakukan mengingat dunia kini tengah menghadapi ancaman krisis energi terutama dengan adanya eskalasi perang Rusia-Ukraina, hingga ancaman perubahan iklim yang tak kalah mengerikan dampaknya.
"Dunia sedang menghadapi ancaman krisis energi dengan eskalasi perang di Ukraina dan ketegangan geopolitik yang makin tinggi. Sementara itu ancaman perubahan iklim juga harus dihindari termasuk dengan menggunakan energi yang makin bersih emisi CO2," tuturnya.
Oleh karena itu, dengan besarnya potensi sumber daya alam negeri ini, khususnya gas, menurutnya Indonesia seharusnya mampu membuat kebijakan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan energi nasional dan juga meningkatkan daya saing industrinya.
"Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam, harus mampu menyusun kebijakan yang tepat untuk meningkatkan ketahanan energi nasional dan meningkatkan daya saing ekonomi dan industri nasional," jelasnya.
"Gas merupakan salah satu sumber energi penting bagi perekonomian Indonesia sekarang dan yang akan datang," pungkasnya.
Perlu diketahui, Indonesia memang menyimpan "harta karun" gas bumi yang cukup besar.
Berdasarkan data terbaru Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), status per 31 Desember 2021, Indonesia memiliki cadangan terbukti (proven reserves) gas alam sebesar 34,64 triliun kaki kubik (TCF).
Bila digabungkan dengan data cadangan potensial (potential reserves), berdasarkan data Kementerian ESDM status 1 Januari 2021, total cadangan gas RI mencapai 60,61 TCF.
Namun sayangnya, "harta karun" gas ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan dalam negeri. Sebaliknya, Indonesia malah masih bergantung pada impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan juga minyak maupun Bahan Bakar Minyak (BBM).
Impor LPG terus meningkat tiap tahunnya dan porsi impor yang semakin besar, bahkan telah mencapai di atas 70%.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG RI dalam satu dekade telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat hingga mencapai 6,34 juta ton pada 2021. Adapun porsi impor LPG pada 2021 telah mencapai 74% dari total kebutuhan. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan porsi impor LPG pada 2011 yang "hanya" sebesar 46%.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor LPG RI pada 2021 mencapai US$ 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat US$ 2,58 miliar.
Begitu juga dengan impor minyak. Menteri ESDM Arifin Tasrif sempat menyebut bahwa separuh dari pasokan BBM dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Dia memaparkan, produksi minyak dalam negeri saat ini "hanya" sebesar 650 ribu barel per hari (bph), separuh dari kebutuhan minyak dalam negeri yang mencapai 1,3 juta bph.
Seperti diketahui, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif baru saja mengeluarkan kebijakan baru yakni Peraturan Menteri ESDM No. 12 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden No.41 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan atau Darurat Energi.
Peraturan ini ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 17 Oktober 2022 dan berlaku sejak diundangkan pada 18 Oktober 2022 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly.
Lantas, kenapa tiba-tiba pemerintah mengeluarkan peraturan ini? Apakah tandanya RI harus bersiap akan terkena krisis energi seperti yang tengah dialami berbagai negara di penjuru dunia? Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berkali-kali menegaskan Indonesia harus hati-hati terhadap ancaman krisis di tengah ketidakpastian geopolitik dunia, mulai dari krisis pangan hingga krisis energi.
Mengutip peraturan ini, disebutkan bahwa peraturan ini dikeluarkan dengan menimbang, "bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (3), Pasal 7, dan Pasal 17 Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi."
Pada Peraturan Menteri ESDM No.12 tahun 2022 ini disebutkan bahwa penetapan dan penanggulangan krisis energi dan atau darurat energi dilakukan terhadap jenis energi yang digunakan untuk kepentingan publik sebagai pengguna akhir secara nasional. Adapun jenis energinya meliputi Bahan Bakar Minyak (BBM), tenaga listrik, Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan gas bumi.
Lantas, apa yang dimaksud dengan krisis energi dan atau darurat energi?
Di dalam aturan ini dijelaskan bahwa yang dimaksud krisis energi adalah kondisi kekurangan energi. Sementara darurat energi adalah kondisi terganggunya pasokan energi akibat terputusnya sarana dan prasarana energi.
Pada Pasal 5 Permen ESDM No.12/2022 ini disebutkan bahwa krisis energi dan atau darurat energi ditetapkan berdasarkan:
a. Kondisi teknis operasional.
b. Kondisi nasional.
Adapun peraturan ini juga menentukan batas minimum cadangan energi dan bila kurang dari batas minimum tersebut, maka Presiden bisa menetapkan status krisis energi.
[-]
-
Harga LPG 12 Kg Makin Mahal, Ramai Orang Pindah ke Gas Melon!(wia)
Sentimen: positif (99.2%)