Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: HAM
Nestapa masyarakat adat di Ibu Kota Nusantara
Alinea.id Jenis Media: News
Kepala Adat Suku Balik Sepaku Lama, Sibukdin, mengatakan situs bersejarah sukunya lenyap karena pembangunan intake pada 2002. Masyarakat adat sempat melakukan protes dengan mamsang baliho. Namun, dilarang otoritas setempat.
“Saya bilang, apa masalahnya? Itu kan menyampaikan aspirasi kami,” tuturnya, Kamis (30/3).
Ada delapan poin dari hasil musyawarah bersama Suku Balik dari Sepaku Lama dan Pemaluan pada Februari 2023, menyikapi daerahnya yang ditetapkan sebagai bagian dari wilayah IKN, serta pembangunan bendungan dan intake.
Pertama, masyarakat adat Suku Balik yang terdampak pembangunan IKN menolak digusur. Kedua, tak sepakat direlokasi ke daerah lain.
Menurut Atim, masyarakat adat Suku Balik Sepaku enggan direlokasi lantaran tanah adalah bagian dari identitas mereka. “Walaupun pindah kelurahan, otomatis kita dikatakan pendatang,” ujar dia.
Ketiga, menolak penggusuran situs-situs sejarah, makam, atau tempat tertentu yang dipercaya sebagai situs adat Suku Balik. Keempat, menolak dipisahkan dari tanah leluhur.
Kelima, menolak perubahan nama-nama kampung dan sungai di wilayah Kecamatan Sepaku. Keenam, meminta kepada pemerintah segera membuat kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kecamatan Sepaku.
Ketujuh, meminta pemerintah memberi perhatian khusus terhadap Suku Balik yang terdampak pembangunan IKN, baik dampak lingkungan maupun sosial. Kedelapan, menolak dan tak bertanggung jawab jika ada tokoh atau kelompok yang mengatasnamakan Suku Balik melakukan kesepakatan terkait kebijakan IKN, tanpa melibatkan komunitas adat.
Sibukdin menerangkan, Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi sangat berarti bagi masyarakat adat karena dipercaya sebagai tempat yang penuh “keajaiban”. Masyarakat adat pun sudah menyampaikan kepada pemerintah bahwa mereka enggan direlokasi. Namun, diabaikan.
“Sudah jelas, kami tidak dianggap,” ujarnya.
“Identitas kami di situ. Kami bukan orang baru (di lokasi) yang dicanangkan pemerintah (sebagai) IKN.”
Alinea.id sudah menghubungi juru bicara Kementerian PUPR Endra S. Atmawidjaja untuk mengonfirmasi hilangnya situs bersejarah dan makam leluhur Suku Balik Sepaku karena pembangunan dan masyarakat adat yang menolak direlokasi. Akan tetapi, tak ada respons hingga artikel ini ditayangkan.
Sementara itu, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman menilai, selain lenyapnya situs sejarah leluhur, dampak pembangunan IKN bagi masyarakat adat adalah hilangnya akses mengelola lahan.
“Karena wilayah-wilayah tersebut sudah masuk ke dalam wilayah penggunaan IKN, baik di KIPP (kawasan inti pusat pemerintahan) maupun di kawasan strategis (nasional) IKN, dan pengembangan IKN,” kata dia, Rabu (29/3).
Berdasarkan hasil identifikasi wilayah adat yang dilakukan AMAN, komunitas adat Balik Sepaku memiliki wilayah seluas 40.108,3 hektare. Artinya, seluruh wilayah adat Balik Sepaku masuk ke dalam kawasan strategis nasional IKN. Berdasarkan zonasi, pembagiannya 9.711, 21 hektare masuk ke dalam kawasan perluasan IKN, 27.760,04 hektare masuk ke dalam kawasan IKN, dan 2.616,36 hektare masuk ke dalam KIPP.
Tanah dan eksistensi
AMAN pun menemukan, bukan cuma Suku Balik di Sepaku Lama dan Pemaluan yang terdampak. Ada pula 51 komunitas adat di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara yang terimbas. Selain Balik Sepaku, komunitas adat dalam kawasan strategis nasional IKN, antara lain Semoi, Mentawir, Maridan, Pemaluan, Kenyah Lepoq Jalan, Basap, dan Tonyooi.
“Kita tahu persis bahwa UU IKN (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara) maupun peraturan turunannya itu tidak memberikan jaminan hukum, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat di sana,” ujar Arman.
Menurut Arman, berdasarkan diskusi dengan kepala-kepala adat, wilayah-wilayah adat yang ditempati warga dianggap sebagai tanah negara oleh pemerintah. Akibatnya, walau masyarakat adat bisa menunjukkan secara konkret mendiami wilayahnya secara turun temurun berlandas hukum adat, tetapi tak diakui.
Padahal, lanjut Arman, seturut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hukum adat merupakan salah satu sumber hukum agraria nasional. “Artinya, kepemilikan secara hukum adat itu sah secara hukum,” ucapnya.
Namun, ia menyayangkan bentuk kepemilikan tersebut tak dianggap dalam penalaran hukum pada undang-undang yang lebih spesifik. “Dengan demikian, sepanjang tidak ada pengakuan dan tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat adat, itu justru anomali dari konseptualisasi penamaan Ibu Kota Nusantara sendiri,” ujar dia.
Kalaupun pemerintah tetap ingin melakukan pembebasan lahan, kata Arman, sebaiknya merujuk Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yakni ganti kerugian tak hanya dalam bentuk uang.
“Bisa dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, dan bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak,” tuturnya.
“Kami sebenarnya menawarkan ini dan mendorong kepada pemerintah supaya ada wilayah-wilayah khusus bagi masyarakat adat di IKN, tanpa harus direlokasi.”
Arman menuturkan, bagi masyarakat adat, tanah adat mereka itu seperti ibu. Dengan begitu, kehilangan tanah sama saja kehilangan ibu yang menjadi sumber kehidupan. Tanah adat, ujar Arman, juga ibarat kosmologi masyarakat dan tempat bersemayamnya kolektivitas.
“Penanda masyarakat adat ada dua, yaitu sejarah asal-usul mereka dan hubungan mereka dengan wilayah adat, seperti tanah dan air,” ucapnya.
“Dua penanda utama itu diikat berdasarkan hukum adat atau pranata adat, dan satu lembaga adat yang mengatur tata tertib kehidupan sosial mereka.”
Dihubungi terpisah, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung masyarakat di Sepaku dan Pemaluan tak punya jaminan tak digusur. Dalam peta IKN, menurut Dwi, tak ada wilayah yang diperuntukkan bagi masyarakat adat dan transmigran.
“Kalau direlokasi, ke mana? Suku Balik baru satu kali (digusur), tapi kalau transmigran mungkin sudah kedua atau ketiga kali digusur. Padahal kan harusnya soal transmigrasi dijamin, ya,” ucap Dwi, Kamis (30/3).
Menurutnya, dalam perspektif pembangunan di lokasi yang ditempati masyarakat adat, seharusnya tidak digusur. “Pemerintah harus mengakui hak-hak komunitas masyarakat adat,” kata dia.
Hilangnya wilayah adat karena dicaplok megaproyek IKN, kata Dwi, bakal menghilangkan pula identitas masyarakat adat. “Sejarah mereka jelas hilang juga. Belum lagi tradisi yang biasanya terkait dengan ekosistem mereka tinggal,” ucapnya.
Eksistensi masyarakat adat di kawasan IKN yang dikhawatirkan tersingkir, dalam pandangan Dwi, tak ubahnya dengan Suku Betawi di Jakarta, yang terpinggirkan. “Apalagi yang (bakal) datang jumlah orangnya jauh lebih besar dibandingkan jumlah mereka (masyarakat adat),” ujarnya.
“Pasti secara budaya, mereka akan tertekan.”
Sentimen: negatif (80%)