Banyak Pejabat Pamer Harta, Faisal Basri: Rakyat Tetap Taat Pajak, Karena…
Fajar.co.id Jenis Media: Nasional
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Gaya hidup mewah dan pamer kekayaan 'doesn't make sense' para pejabat kini menjadi buruan masyarakat.
Fenomena pamer harta atau flexing memang sudah ada sejak dulu. Namun, kebiasaan memamerkan kekayaan saat ini semakin ramai di sosial media. Di jagad maya, netizen terus menyoroti tingkah laku para pejabat dan keluarganya.
Ada anekdot mengatakan bahwa orang kaya yang baik tidak memamerkan kekayaan mereka, dan orang kaya paling baik adalah mereka yang membelanjakan uangnya sama seperti kebanyakan orang.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan bahwa perilaku pamer harta para pejabat Direktorat Jenderal Pajak bisa memicu civil disobedience atau pembangkangan sipil berupa mogok pembayaran pajak. Tapi, kata Faisal Basri, pembangkangan sipil tersebut kecil kemungkinan muncul di Indonesia sebab rakyat Indonesia pemaaf.
“Itu kita jauh dari sana (pembangkangan sipil). Jadi rakyat Indonesia itu pemaaf sekali dan tadi kesimpulan yang disampaikan hanya menunjukkan hanya 2 persen saja yang punya gagasan untuk membangkang bayar pajak gitu,” ujar dia dalam diskusi virtual yang digelar Indef pada Selasa, (28/3/2023).
Diskusi virtual yang digelar Indef merespons beberapa isu yang terjadi saat ini. Beberapa di antaranya adalah maraknya pejabat pamer harta.
Berdasarkan analisis big data Indef ada 680.000 perbincangan di Twitter yang mengeluh mengenai perilaku pamer harta pejabat Direktorat Jenderal Pajak. Namun, meski para warganet mengkritisi perbuatan para pejabat tersebut, mereka tidak sampai melakukan pembangkangan bayar pajak.
“Warganet Indonesia sangat luar biasa. Mereka kritis tapi tetap melaksanakan kewajiban membayar pajak,” ujar Faisal Basri.
Selain itu, Faisal Basri melanjutkan, pembangkangan sipil untuk membayar pajak di Indonesia juga susah terjadi karena negara memiliki sistem yang bisa memaksa warga membayar pajak. Sehingga sekalipun ada masyarakat ingin tidak bayar pajak, mereka tidak bisa mengelak dari bayar pajak.
“Jadi boleh saya tekad (tidak bayar pajak) tapi tidak bisa mengelak untuk tetap bayar,” ucap Faisal.
Dalam arti luas, perpajakan itu meliputi pajak, cukai, pungutan perdagangan internasional, dan pajak bumi bangunan. “Sekalipun mereka tidak ikhlas (bayar pajak), sekalipun mereka bertekad untuk menghindari dari bayar pajak, tapi mereka tidak akan bisa untuk tidak membayar,” tutur dia.
Faisal pun memberikan contoh, eksportir akan dikenakan pajak secara otomatis melalui bea keluar. Jika tidak, maka barang tidak bisa diekspor. Contoh lainnya, setiap orang yang membeli air minum dalam kemasan, buku, tiket pesawat, tiket kereta api, dan barang apapun akan secara otomatis membayar pajak. Sebab dari harga pembelian tersebut sudah termasuk pajak. Begitu pula dengan pembayaran jasa.
“Masyarakat tidak bisa menghindar dari membayar pajak,” kata Faisal Basri. “Kekuatan negara luar biasa. Negara tahu cara untuk membuat orang mau melakukan hal yang sebenarnya mereka tidak ingin mereka lakukan (membayar pajak), that’s politic.”
Menurut Faisal, politik adalah state of the art untuk memaksa rakyat melakukan sesuatu yang tidak disukai, termasuk untuk membayar pajak. “Alhamdulillah saya sudah bayar pajak. Meski dengan mangkel, sialan ini uang pajak saya nih digunakan buat hura-hura,” ujar Faisal.
Oleh karena itu, Faisal mengajak masyarakat untuk memperjuangkan hak demokrasinya. Masyarakat sudah melaksanakan kewajibannya dengan membayar pajak, maka boleh menuntut haknya. Termasuk hak mengingatkan dan memprotes perilaku pejabat negara dan keluarganya yang pamer harta. “Para pejabat itu digaji dari jerih payah darah dan keringat rakyat,” kata Faisal Basri. (Pram/Fajar)
Sentimen: negatif (97%)