Sentimen
Negatif (100%)
24 Mar 2023 : 21.00
Informasi Tambahan

Kasus: Tipikor, korupsi

Tokoh Terkait
Petrus Bala Pattyona

Petrus Bala Pattyona

Rijatono Lakka

Rijatono Lakka

Kami Bukan Lembaga Penjamin Sehatnya Pasien

25 Mar 2023 : 04.00 Views 2

Mediaindonesia.com Mediaindonesia.com Jenis Media: Nasional

Kami Bukan Lembaga Penjamin Sehatnya Pasien

WAKIL Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron bingung dengan kelakukan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe yang terus menerus mengeluhkan kesehatannya. Terbaru, Lukas disebut menolak meminum obat di Rumah Tahanan (Rutan) KPK. 

KPK, kata Ghufron merupakan penegak hukum yang mengurus kasus dugaan suap dan gratifikasi yang saat ini menjeratnya. "KPK bukan lembaga penjamin sehatnya pasien, termasuk dalam hal ini saudara LE (Lukas Enembe) yang sedang ditahan KPK," ucap Ghufron.

Sebelumnya, kuasa hukum Lukas, Petrus Bala Pattyona, mengatakan kliennya menolak minum obat. Kliennya meminta berobat di Singapura. Kubu Lukas juga mengeklaim sudah memberikan surat ke KPK atas keluhannya itu.

Baca juga: Buntut Laporan IPW, Kapolri Didorong Fokus Berantas Kriminalisasi

Ghufron menyebut pihaknya belum menerima surat permintaan dari Lukas. Jika sudah sampai, pimpinan Lembaga Antirasuah bakal mempertimbangkannya.

"Kami belum menerima surat tersebut, nanti akan kami bahas setelah kami menerima surat dimaksud," kata Ghufron.

Baca juga: Mensos Risma Tegaskan Korupsi Bansos Beras Terjadi Sebelum Dia Menjabat

Pelayanan kesehatan untuk Lukas dikoordinasikan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Organisasi itu masih menilai pengobatan ke Singapura untuk Gubernur nonaktif Papua belum diperlukan.

"Dan sejauh ini memandang sakitnya saudara LE masih dapat ditangani di dalam negeri," ujar Ghufron.

Meski begitu, KPK bakal mencoba berkoordinasi dengan IDI untuk membahas kesehatan Lukas. "Mungkin lebih lanjut akan kami bahas bersama IDI berkaitan dengan perkembangan kesehatan yang bersangkutan untuk kami tindak lanjuti," kata Ghufron.

Lukas terjerat kasus dugaan suap dan gratifikasi. Kasus yang menjerat Lukas itu bermula ketika Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mengikutsertakan perusahaannya dalam beberapa proyek pengadaan infrastruktur di Papua pada 2019-2021. Padahal, korporasi itu bergerak di bidang farmasi.
 
KPK menduga Rijatono bisa mendapatkan proyek karena melobi beberapa pejabat dan Lukas Enembe sebelum proses pelelangan dimulai. Komunikasi itu diyakini dibarengi pemberian suap.
 
Kesepakatan dalam kongkalikong Rijatono, Lukas, dan pejabat di Papua lainnya yakni pemberian fee 14 persen dari nilai kontrak. Fee harus bersih dari pengurangan pajak.
 
Ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono atas pemufakatan jahat itu. Pertama, peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar.

Kedua, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Ketiga, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.
 
Lukas Enembe diduga mengantongi Rp1 miliar dari Rijatono. KPK juga menduga Lukas menerima duit haram dari pihak lain.
 
Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Sedangkan, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Z-3)

Sentimen: negatif (100%)