Sentimen
Positif (50%)
24 Mar 2023 : 15.02
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Gunung, Palu

Kasus: Maling, korupsi

Partai Terkait

Gagalnya Reformasi Birokrasi dan Sistem Perpajakan

24 Mar 2023 : 15.02 Views 3

Detik.com Detik.com Jenis Media: News

Gagalnya Reformasi Birokrasi dan Sistem Perpajakan

Jakarta -

"Kemarin ada 69 orang dengan nilai hanya enggak sampai triliunan, (sekitar) ratusan miliar. Hari ini sudah ditemukan lagi kira-kira Rp 300 triliun. Itu harus dilacak, dan saya sudah sampaikan ke Bu Sri Mulyani (Menkeu), PPATK juga sudah menyampaikan."

Pernyataan terbuka yang kini menjadi polemik itu disampaikan Menkopolham Mahfud MD dalam menanggapi temuan transaksi mencurigakan senilai Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan di luar transaksi janggal Rp 500 miliar dari rekening eks pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo dan keluarganya. Transaksi bermasalah para pegawai Dirjen Pajak yang nilainya mencapai fantastis itu merupakan cermin dari rekam jejak soal integritas dan kepatuhan yang selama ini didengungkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai keberhasilannya dalam tata kelola Kementerian Keuangan menjadi zero tolerance fo corruption.

Kepatuhan dalam melaporkan kekayaan secara jujur menjadi salah satu indikator keberhasilan dalam mengukur integritas pejabat publik maupun keberhasilan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi yang digaungkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selama lebih dari 20 tahun silam tampaknya tak berhasil sepenuhnya membangun sistem pengelolaan keuangan negara yang bersih dan akuntabel. Begitu juga berbagai inisiatif reformasi sistem pengelolaan perpajakan setelah terungkapnya kasus mafia pajak Gayus Tambunan satu dekade lebih ternyata tak membuat Kementerian Keuangan menjadi bersih dan berintegritas.

-

-

Terbukti kini terungkap lagi ketidakpatuhan dan adanya transaksi mencurigakan dari ratusan pegawai Kemenkeu yang nilainya sangat fantastis. Tentu transaksi mencurigakan itu dilatarbelakangi oleh adanya permainan patgulipat transaksi pajak yang bermasalah dari mafia pajak.

Situasi Kemenkeu memang tak bersih amat laksana "sarang penyamun". Sedari awal reformasi birokrasi yang dibarengi dengan reformasi sistem perpajakan kurang memperoleh dukungan dari publik lantaran publik menilai Sri Mulyani bukan sosok kuat yang mampu menggerakkan dan tauladan yang patut dicontoh oleh puluhan ribu pegawai Kemenkeu supaya reformasi birokrasi dinilai akan berhasil. Ternyata yang terjadi justru kegagalan.

Lihat saja, pada awal Februari 2020 silam, Pengadilan telah menghukum Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak Angin Prayitno Aji selama 9 tahun penjara dan Kepala Subdirektorat Kerjasama dan Dukungan Pemeriksaan Pajak Dadan Ramdani selama 6 tahun penjara.

Pada kasus pajak itu melibatkan korporasi besar, seperti PT Jhonlin Baratama, PT. Gunung Madu Plantations, dan PT Bank Pan Indonesia (Panin Bank). Jhonlin Baratama merupakan anak perusahaan Jholin Group milik Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam, pengusaha kakap pemilik tambang batu bara di Kalimantan Selatan. Sedang PT Gunung Madu Plantation merupakan perseroan milik Janje Liem yang merupakan perkebunan tebu dan produsen gula terbesar serta Bank Panin merupakan perseroan perbankan milik konglomerat Mukmin Ali Gunawan. Kasus perpajakan itu merugikan negara triliunan rupiah.

Anehnya, menurut kasus posisinya praktik penggelapan pajak itu terjadi berkat adanya kebijakan tax amnesty yang diluncurkan oleh Menteri Keuangan pada 2016. Ada mafia pajak yang bermain yang melibatkan sejumlah pegawai Dirjen Pajak bekerja sama dengan Konsultan Pajak yang merekayasa setoran pajak perseroan. Modus operandinya adalah dengan melakukan manipulasi pengakuan basis pajak baru dari ribuan individu maupun perseroan untuk dijadikan alat negosiasi para pegawai pajak. Pada proses ini muncul celah tawar menawar diskon pajak yang sangat besar dibarengi dengan permintaan suap. Lantas bagaimana modus mafia pajak bermain?

Modus Keluar dari Jeratan Hukum

Kendati hukum perpajakan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu Hakim Pengadilan. Pasal 44 poin B Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan membuka peluang out of court settlement bagi Wajib Pajak dari jeratan hukum.

Ketentuan ini mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan terhadap kasus pajak yang tengah disidik. Dengan demikian kasus dinyatakan berakhir (case closed) apabila wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak berikut sanksi administrative berupa denda.

Peluang out of court settlement dimungkinkan berlaku bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Namun tak hanya berlaku bagi "perlawanan pasif terhadap pajak", yaitu perlawanan yang tak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk melakukan gugatan atau menghalangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan atau SP3 dan penyelesaian di luar Pengadilan juga berlaku bagi "perlawanan aktif terhadap pajak" yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal.

Jadi, modus semacam ini kerapkali dilakukan oleh banyak individu maupun perseroan yang merupakan wajib pajak aktif setiap tahunnya membayarkan kewajiban pajak secara mandiri (self assessment). Pada proses ini keterlibatan Konsultan Pajak dalam memberikan konsultasi, perhitungan, dan negosiasi dalam pelunasan setoran pajak. Modus patgulipat penggelapan pajak diawali dari serangkaian kegiatan mulai dari pengisian, perhitungan hingga pembayaran yang dilakukan mandiri bekerja sama dengan pegawai pajak terutama dalam hal pemberian diskon yang sangat besar atas beban pajak yang mesti dibayarkan.

Sejatinya upaya akhir mencegah wajib pajak menghindari dari tuntutan hukum pidana perpajakan sangat bergantung pada kekuatan pengawasan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini terutama terhadap wajib pajak perseroan besar (konglomerasi).

Menilik modus operandi out of court settlement semacam ini yang kerapkali digunakan oleh mafia pajak dapat pula digunakan oleh penegak hukum utamanya Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna memeriksa harta kekayaan tak wajar ratusan pegawai Kementerian Keuangan dalam memeriksa ada tidaknya tindak pidana pencucian uang (money laundering). Penyidik dapat melakukan pemeriksaan dengan metode pembuktian terbalik dengan mengacu pada pemeriksaan wajib pajak utamanya wajib pajak besar (perseroan) yang terindikasi melakukan kejahatan perpajakan dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari kegiatan tindak pidana pencucian uang.

Sebagaimana lazim berlaku tindak pidana pencucian uang tak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara untuk menghapus jejak dan atau bukti dengan menyamarkan pendapatan berupa uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan. Dalam kasus ratusan transaksi bermasalah yang terjadi pada Kementerian Keuangan sebagaimana telah ditelisik oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kegiatan penggelapan pajak seperti dilakukan Rafael Alun Trisambodo dan sindikat lainnya di Dirjen Pajak.

Rekam jejak profil harta kekayaan yang tidak wajar merupakan bukti permulaan yang cukup guna untuk selanjutnya dapat digunakan menelusuri alur perolehan harta kekayaan secara wajar. Sehingga akan membuat terang ada tidaknya dugaan pencucian uang. Rafael Alun Trisambodo dan ratusan pegawai Kementerian Keuangan dapat ditelisik dengan melakukan tiga tahapan yang bisa pula dianggap sebagai niat jahat (mens rea).

Pertama, penempatan (placement) yang dimulai dengan menyamarkan harta kekayaan dari hasil kejahatan yang ditanam dalam bentuk aneka investasi dan saham perseroan. Kedua, pelapisan (layering) yaitu dengan memindahkan harta kekayaan ke beberapa rekening milik istri, anak, dan saudara atau menempatkan pada lokasi tertentu (safety box) sebagai upaya pelapisan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh secara haram. Ketiga, integrasi (integration) yang dilakukan dengan mengambil keuntungan yang diperoleh dari praktik kedua tahapan tersebut yang diakui sebagai pendapatan sampingan untuk dinikmati selayaknya uang halal (Yunus Husein, 2007).

Harus Berujung di Pengadilan

Hasil temuan PPATK terhadap penelusuran transaksi tak wajar ratusan pegawai Kementerian Keuangan yang jumlahnya mencapai ratusan trilyun rupiah mesti ditindak lanjuti hingga berujung pada penuntutan. Kabarnya, KPK masih membidik sejumlah pejabat Kementerian Keuangan dan Konsultan Pajak yang selama ini patut diduga melakukan rekayasa perpajakan.

Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani terkesan menutupi praktik lacur yang terjadi di Kementerian yang menjadi tanggung jawab dengan berbagai alasan kebijakan, namun tak dipungkiri sedari reformasi birokrasi dan reformasi perpajakan didengungkan masih terus saja muncul kasus-kasus mafia pajak yang menerpa Direktorat Pajak maupun Direktorat Bea Cukai.

Ketika kasus-kasus serupa muncul semestinya menyadarkan Menteri Keuangan bahwa ada masalah dengan pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungannya. Kebijakan penerapan sanksi dan pemberian numerasi dan insentif maupun disinsentif (stick and carrot) tanpa adanya penegakan hukum yang konsisten dan tegas dinilai ibarat wortel terus diberikan sementara penegakan hukum yang tegas hanya lips service belaka; jangan salahkan bila maling akan mencari kesempatan.

Oleh karena itu, temuan PPATK mesti ditindak lanjuti berkoordinasi dengan KPK untuk menuntaskan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan mempelajari latar belakang perolehan pendapatan yang diperolehnya. Kecurigaan mesti dibuktikan di Pengadilan. Akhirnya, hulu dari masalah perpajakan berupa lemahnya ketentuan hukum perpajakan mesti menjadi catatan bagi lembaga legislatif.

Ketentuan yang memberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan jelas tak akan mampu menghadirkan rasa keadilan. Kontraktual warga negara sebagai wajib pajak berangkat dari filosofi pajak yang bertujuan tidak untuk membangkrutkan warga negara, semestinya pula tidak ditafsirkan lewat kebijakan yang tebang pilih terhadap kedudukan warga negara di hadapan hukum.

Andi W. Syahputra praktisi hukum

(mmu/mmu)

Sentimen: positif (50%)