Sentimen
Positif (100%)
23 Mar 2023 : 07.45

Asa Dewantara ungkap faktor ketidaktepatan sasaran beasiswa

23 Mar 2023 : 07.45 Views 2

Alinea.id Alinea.id Jenis Media: News

Asa Dewantara ungkap faktor ketidaktepatan sasaran beasiswa

Nyimas juga menilai, program beasiswa belum diarahkan untuk mengatasi persoalan akses pendidikan anak usia dini yang dinilai urgen dan berdampak besar pada fase kehidupan. Pemerintah hanya mengalokasikan 2% dari total APBN Pendidikan yang ada bagi program PAUD. 

Angka tersebut masih sangat jauh dari apa yang dibutuhkan Indonesia dan rekomendasi UNESCO yang menyarankan alokasi 10% dari total anggaran pendidikan bagi program PAUD. Sehingga, alokasi beasiswa pun minim untuk mengatasi rendahnya angka partisipasi anak di pendidikan usia dini (PAUD). 

Data Susenas (2021) menunjukkan 59,83% atau 11,35 juta dari jumlah anak berusia 3-6 tahun tidak terdaftar di PAUD dan 57,5% di antaranya tinggal di pedesaan. Persoalan Ini ternyata belum mendapatkan perhatian dan prioritas pengelola beasiswa. 

Terkait hal ini, ekonom sekaligus peneliti kemiskinan Vivi Alatas menilai, pemberian beasiswa juga belum memperhatikan masa kritis siswa saat putus sekolah. Menurutnya, kasus putus sekolah banyak terjadi di masa transisi sekolah, di mana ijazah sudah ada di tangan siswa. 

Pada saat itu, ada godaan besar untuk ikut bekerja, membantu orang tua, menikah, bahkan terjun ke jalanan. Apalagi kondisi ekonomi dan keuangan keluarga tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah.

“Meski ada program beasiswa, drop out tak terhindarkan karena penyaluran beasiswanya terlambat, butuh waktu lama atau baru didapatkan jika mereka diterima di sekolah lanjutan atau perguruan tinggi. Mereka sudah berguguran sebelum beasiswa sampai di tangan,” katanya. 

Untuk meningkatkan aksesibilitas beasiswa, Vivi menyarankan perbaikan terhadap dua hal, yakni pengumpulan data dan metode seleksinya. Di kedua aspek ini anak-anak miskin harus dipastikan terdata untuk kemudian dipilih dari kelompok kaya dan dipilih guna mendapatkan beasiswa yang menjadi haknya. 

“Dari berbagai studi menunjukkan bahwa komunitas perlu dilibatkan dalam proses pengumpulan data dan seleksi karena komunitas lebih tahu data keluarga yang miskin. Komunitas lebih cenderung berperan dalam mengatasi exclusion error dibandingkan inclusion error,’ ujarnya. 

Vivi juga merekomendasikan agar beasiswa juga diarahkan tidak semata-mata untuk mengatasi ketimpangan akses, tetapi juga kualitas pendidikan. Karena, studi OECD/The Organization for Economic Co-operation and Development (2018) menunjukkan, bahwa upaya mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan ini dampaknya sembilan kali lebih besar dibanding memperbaiki akses. 

Berkaitan dengan berbagai tantangan yang dihadapi, Rina Fatimah, GM Pendidikan Dompet Dhuafa menambahkan, kapasitas ekonomi keluarga juga menjadi salah satu penghambat efektivitas beasiswa untuk kelompok miskin. 

Mengacu pada pengalaman pengelolaan beberapa program Beasiswa Dompet Dhuafa, seringkali beasiswa tidak bisa mencukupi biaya pendidikan, bahkan habis untuk menutupi biaya hidup keluarga. Karena itu, pengelola beasiswa harus memastikan jumlah beasiswa yang diberikan tidak hanya menanggung biaya pendidikan, tetapi juga hidden cost yang terkait keberlanjutan pendidikan penerimanya. 

“Beasiswa Etos yang dikelola Dompet Dhuafa. Misalnya, tidak hanya memberikan dukungan untuk UKT (Uang Kuliah Tunggal), tetapi juga dukungan pendanaan untuk pengembangan kapasitas, peningkatan keterampilan bahasa asing, pemetaan minat dan bakat, pengembangan social project, sampai persiapan karir pascakampus,” katanya menjelaskan.

Sentimen: positif (100%)