Sentimen
Negatif (100%)
20 Mar 2023 : 22.12
Informasi Tambahan

Club Olahraga: Persebaya, Arema FC

Institusi: Universitas Trisakti, Imparsial

Kab/Kota: Surabaya, Malang

Partai Terkait
Tokoh Terkait
Abdul Haris

Abdul Haris

AKP Bambang Sidik Achmadi

AKP Bambang Sidik Achmadi

Kompol Wahyu Setyo Pranoto

Kompol Wahyu Setyo Pranoto

HEADLINE: Vonis Ringan dan Bebas Terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Penuhi Keadilan 135 Korban Tewas?

21 Mar 2023 : 05.12 Views 1

Liputan6.com Liputan6.com Jenis Media: News

HEADLINE: Vonis Ringan dan Bebas Terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Penuhi Keadilan 135 Korban Tewas?

Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis ringan hingga bebas terhadap lima terdakwa di Tragedi Kanjuruhan yang telah menewaskan 135 orang. Putusan jadi kontroversi karena dinilai mengabaikan perspektif korban.

Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya menjatuhkan vonis bebas terhadap dua anggota Polres Malang. Mereka adalah mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.

Hakim menilai keduanya tidak bersalah dan memerintahkan kedua terdakwa dibebaskan dari tahanan.

Sebelumnya, Majelis Hakim juga terlebih dahulu memberikan vonis ringan terhadap tiga terdakwa lainnya. Mereka adalah Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan dengan pidana 1,5 tahun penjara dari tuntutan jaksa selama 3 tahun penjara.

Selain itu Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris dan Security Officer saat pertandingan Arema FC vs Persebaya Suko Sutrisno yang masing-masing hanya divonis 1,5 tahun dan 1 tahun penjara. Padahal dalam tuntutannya jaksa telah meminta majelis hakim untuk menjatuhi hukuman pidana selama 6 tahun penjara terhadap keduanya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai proses hukum atas Tragedi Kanjuruhan gagal memenuhi rasa keadilan para korban.

"Vonis itu mengabaikan rasa dan perspektif korban serta masyarakat yang peduli kepada Tragedi Kanjuruhan dan menanti realisasi janji pemerintah. Apalagi pihak berwenang sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat. Vonis itu menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia terutama ketika orang kecil menjadi korban," kata Usman kepada Liputan6.com, Senin (20/3/2023).

Amnesty International mendesak pemerintah serta otoritas berwenang lainnya seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian untuk memastikan akuntabilitas seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan.

"Termasuk mereka yang berada di tataran komando, guna memberikan keadilan bagi korban dan memutus rantai impunitas. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan independen."

Usman menjelaskan, kasus ini sekali lagi menunjukkan pola kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakar kuat dan luas oleh aparat keamanan di Indonesia.

"Kasus tragis ini harus menjadi momen untuk memperbaiki kesalahan dan mengubah haluan, bukan mengulangi kesalahan yang sama. Kurangnya akuntabilitas juga mengirimkan pesan berbahaya kepada aparat keamanan bahwa mereka dapat bertindak dengan bebas dan tanpa konsekuensi hukum," sambungnya.

Hal senada dikatakan Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Ia menilai putusan tidak adil dan benar-benar mengabaikan perspektif korban.

"Sama sekali tidak mempertimbangkan kerugian dan kematian para korban karena melepaskan dan menghukum ringan para pihak yang bertanggung jawab. Kurang menangkap rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat in casu korban atau dalam kasus ini," kata Fickar kepada Liputan6.com, Senin (20/3/2023).

Fickar menilai, kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum bisa semakin berkurang dengan adanya vonis ini. Ia juga mendorong Komisi Yudisial untuk memeriksa para hakim.

"Menurunkan kredibilitas peradilan dan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap peradilan. KY secara normatif perlu untuk mengkritisi dan meneliti putusan ini apakah ada faktor ekonomi mempengaruhinya," tambah dia.

Rasa Keadilan Masyarakat Terkoyak

Anggota Komis III DPR, Didik Mukrianto, mengaku heran dengan putusan Pengadilan Negeri Surabaya. Ia menegaskan seharusnya polisi bertanggung jawab atas jatuhnya ratusan korban jiwa.

“Ada yang aneh dengan penegakan hukum kita. Ada yang tidak adil jika dalam tragedi Kanjuruhan yang telah memakan banyak korban jiwa, tidak ditemukan siapa yang bersalah. Harus ada yang bertanggung jawab,” kata Didik kepada Liputan6.com, Jumat (17/3/2023).

Politikus Demokrat itu menyebut wajar bila rasa keadilan masyarakat terkoyak. Sebab, menurutnya harus ada orang yang bersalah dan bertanggung jawab atas tragedi tersebut.

“Kalau tidak ada yang bertanggung jawab, tentu akan mengoyak rasa keadilan publik,” kata dia.

Didik mengingatkan faktanya banyak korban baik jiwa maupun yang dirawat di rumah sakit. Ia meyakini pasti ada kesalahan dan pihak yang harus bertanggung jawab atas korban ratusan jiwa di tragedi tersebut.

“Putusan bebas ini justru membuat tanda tanya kita semua, apakah penyidiknya yang kurang cermat dalam melakukan penyidikan. Apakah jaksa penuntut yang juga tidak tepat dalam membuat dakwaan dan pembuktian? Dan apakah hakim memang kurang memperhatikan dan mempertimbangkan substansi dan keadilan dalam putusannya?,” ungkapnya.

Didik lantas meminta jaksa mengajukan banding atas putusan tersebut. “Lebih bijak bagi jaksa kecuali mengajukan banding atas putusan hakim tersebut. Dan ada baiknya Komisi Yudisial bisa memberikan atensi terhadap putusan tersebut,” pungkasnya.

Sidang pembacaan putusan terhadap anggota Kepolisian terkait kasus tragedi Kanjuruhan digelar Kamis (16/3) kemarin. Vonis 1,5 tahun penjara dibacakan Hakim Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Abu Ahmad Sidqi.

Sentimen: negatif (100%)