Sentimen
Netral (66%)
3 Mar 2023 : 00.22
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Diponegoro

Yusril: Hakim Keliru, PN Jakpus Tak Punya Wewenang Menunda Pemilu 2024

3 Mar 2023 : 07.22 Views 2

Solopos.com Solopos.com Jenis Media: News

Yusril: Hakim Keliru, PN Jakpus Tak Punya Wewenang Menunda Pemilu 2024

SOLOPOS.COM - Yusril Ihza Mahendra (Dok/JIBI/Solopos)

Solopos.com, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menunda Pemilu 2024 merupakan hal yang keliru.

Yusril menjelaskan gugatan Partai Prima yang tidak lolos sebagai peserta Pemilu adalah gugatan perdata.

PromosiKonsisten Jaga Kualitas, Blesscon Raih Top Brand Award 3 Tahun Berturut-turut

Gugatan ini terkait dengan perbuatan melawan hukum biasa dan bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Dalam gugatan perdata, kata Yusril, yang bersengketa adalah penggugat (Prima) dengan tergugat (KPU) dan tidak menyangkut pihak lain.

Putusan dalam sengketa perdata hanya mengikat penggugat dan tergugat saja.

“Tidak dapat mengikat pihak lain. Putusannya tidak berlaku umum dan mengikat siapa saja atau erga omnes. Saya berpendapat majelis hakim keliru membuat putusan dalam perkara ini,” kata Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Kamis (2/3/2023), seperti dikutip Solopos.com dari Antara.

Yusril menekankan putusan PN Jakpus berbeda dengan putusan di bidang hukum tata negara dan administrasi negara seperti pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atau peraturan lainnya oleh Mahkamah Agung (MA).

Sifat putusannya berlaku bagi semua orang (erga omnes).

Dalam kasus gugatan perbuatan melawan hukum oleh Partai Prima, lanjut dia, jika gugatan ingin dikabulkan majelis hakim, putusan itu hanya mengikat Partai Prima sebagai penggugat dan KPU sebagai tergugat, tidak mengikat partai-partai lain, baik calon maupun sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu.

Jika majelis hakim berpendapat gugatan Prima beralasan hukum, menurut Yusril, KPU harus dihukum untuk melakukan verifikasi ulang terhadap Prima tanpa harus mengganggu partai-partai lain dan mengganggu tahapan pemilu.

Gugatan itu, lanjut dia, sebenarnya lebih pada sengketa administrasi pemilu, bukan perbuatan melawan hukum.

Penyelesaian sengketa administrasi seharusnya di Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara.

“Majelis harusnya menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan no atau gugatan tidak dapat diterima karena pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara tersebut,” jelas Yusril.

Senada, analis politik dari Universitas Diponegoro Dr. Teguh Yuwono menilai keputusan PN Jakpus melampaui kewenangan lembaga peradilan.

“Kalau sampai PN memutuskan pemilu ditunda melebihi kewenangan dan itu tidak bisa dieksekusi. Bisa menunda pemilu atau tidak adalah perintah Presiden dan DPR, baru diatur dalam konstitusi negara,” katanya, Kamis.

Ia menjelaskan pemilu merupakan ranah konstitusi negara dan KPU hanya penyelenggara pemilu yang diamanatkan oleh konstitusi sehingga jika kemudian ada partai politik yang menggugat itu sebetulnya PN tidak berwenang memutuskan.

“Jadi pemilu ada atau tidak itu bukan persoalan tugas KPU, tapi itu tugas negara. Ranahnya konstitusi dan ranah politik,” ujar alumnus Flinders University Australia ini.

Menurut dia, pemilu menjadi urusan kenegaraan maka yang bisa menyatakan pemilu berjalan atau tidak itu bukan KPU namun konstitusi.

“Konstitusi itu ada di aturan KPU, aturan pemilu itu ada di konstitusi. Pemilu diselenggarakan lima tahun sekali, jadi bukan penyelenggaranya yang digugat, tapi aturan pelaksanaan pemilu, mestinya yang digugat itu ada di konstitusi,” katanya.

Peneliti The Indonesian Institute (TII), Galang Taufani, juga menilai hakim salah menerapkan hukum dalam putusan menunda sisa tahapan Pemilu 2024.

“Jika melihat putusan tersebut, harusnya hakim menolak gugatan yang berisi petitum dan posita yang tidak sinkron karena sudah jelas bertentangan dengan sistem pemilu yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan,” kata Galang dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

Sentimen: netral (66.6%)