Sentimen
Negatif (98%)
2 Mar 2023 : 20.51
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Indonesia

Partai Terkait

Putuskan Pemilu 2024 Ditunda, PN Jakpus Dinilai Langgar UUD 1945

2 Mar 2023 : 20.51 Views 1

Solopos.com Solopos.com Jenis Media: News

Putuskan Pemilu 2024 Ditunda, PN Jakpus Dinilai Langgar UUD 1945

SOLOPOS.COM - Pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini. (ANTARA/Dokumentasi Pribadi)

Solopos.com, JAKARTA — Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU menunda Pemilu 2024 panen protes.

PN Jakpus dianggap melampaui kewenangannya dan bertentangan dengan UUD 1945.

PromosiKonsisten Jaga Kualitas, Blesscon Raih Top Brand Award 3 Tahun Berturut-turut

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai putusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

Titi Anggraini menyampaikan, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan setiap lima tahun sekali.

Menurut Titi, putusan PN Jakpus yang dapat diartikan sebagai penundaan Pemilu 2024 itu merupakan pelanggaran terbuka terhadap amanat konstitusi.

“Dalam sistem penegakan hukum pemilu tidak dikenal mekanisme perdata melalui pengadilan negeri untuk menyelesaikan keberatan dalam pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu. Saluran yang bisa tempuh partai politik hanyalah melalui sengketa di Bawaslu, dan selanjutnya upaya hukum untuk pertama dan terakhir kali di pengadilan tata usaha negara (PTUN),” kata Titi kepada wartawan di Jakarta, Kamis (2/3/2023).

Hal itu, lanjut dia, diatur dalam Pasal 470 dan 471 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

“Jadi, bukan kompetensi PN Jakpus untuk mengurusi masalah ini, apalagi sampai memerintahkan penundaan pemilu hingga 2025,” kata Titi yang juga pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, seperti dikutip Solopos.com dari Antara.

Senada, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan majelis hakim PN Jakpus melampaui kewenangannya.

Ia menyayangkan majelis hakim PN Jakpus tidak memahami aturan hukum yang berkaitan dengan pemilu.

Menurutnya, persoalan terkait pelaksanaan ataupun penundaan pemilu merupakan ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kalau pun kita mau menunda pemilu, ya atau yang dipersoalkan itu undang-undangnya. Nah kalau mau mempersoalkan undang-undang itu ranahnya MK, bukan ranah PN,” ujarnya.

Menurut dia, secara konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah mengatur pemilu dilakukan lima tahun sekali.

“Partai Prima mengajukan gugatan terhadap keputusan KPU. Kenapa keputusan KPU yang digugat? Putusan akhirnya tiba-tiba penundaan pemilu yang mau membatalkan undang-undang. Nah, itu yang saya sebut bahwa dia mengambil keputusan melampaui kewenangannya,” tutur dia.

Untuk itu, dia mengatakan putusan yang dikeluarkan PN Jakarta Pusat tersebut menjadi tidak mengikat.

Selama Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang menjadi payung hukum dari pelaksanaan pemilu belum berubah maka tahapan yang telah dimulai tetap berjalan sebagaimana mestinya.

“Sekarang kita semua sedang melakukan persiapan untuk itu. Tahapan sudah jalan ya, kan? Semua elemen dalam pemilu sudah bekerja, jadi jalan saja,” katanya.

Doli mengatakan Komisi II DPR berencana memanggil KPU yang akan melakukan banding atas putusan PN Jakarta Pusat.

“Kami akan panggil KPU karena mereka mau banding, cuma bandingnya harus tepat. Nanti, makanya kami akan memanggil KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk memastikan persiapan jalan terus,” katanya.

Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera, mengatakan kewenangan memutuskan pemilu berjalan atau ditunda berada di Mahkamah Konstitusi (MK) dan bukan pengadilan negeri.

“Bukan wilayah PN (pengadilan negeri),” ujar politikus PKS itu seperti dikutip Solopos.com dari Antara.

Mardani mengatakan putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU untuk menunda pemilu karena memenangkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) tidak menghalangi pelaksanaan Pemilu 2024.

Ia menyebut gugatan yang diajukan Partai Prima adalah perbuatan melawan hukum.

Oleh karena itu, menurutnya, putusan tersebut tidak menghalangi KPU melaksanakan tugasnya melanjutkan tahapan pemilu hingga diselenggarakan pada 14 Februari 2024.

“Yang menyatakan Partai Prima dirugikan secara perdata, namun tidak demikian dengan partai lain,” ujarnya.

Mardani juga menyebut surat keputusan terhadap KPU seharusnya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan bukan pengadilan negeri.

Untuk itu, Mardani mengatakan tahapan Pemilu 2024 yang saat ini sudah berjalan tidak bisa diinterupsi hanya karena persoalan satu partai.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan akan mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan agar Pemilu 2024 ditunda hingga Juli 2025.

Hakim PN Jakpus memerintahkan agar KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan memulai dari awal.

“KPU akan upaya hukum banding,” kata Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (2/3/2023).

Sebelumnya diberitakan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih dua tahun empat bulan tujuh hari.

“Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari,” ucap majelis hakim yang diketuai Oyong, dikutip dari Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, diakses dari Jakarta, Kamis.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim memerintahkan KPU untuk tidak melanjutkan sisa tahapan Pemilu 2024 guna memulihkan dan menciptakan keadaan yang adil serta melindungi agar sedini mungkin tidak terjadi lagi kejadian-kejadian lain akibat kesalahan, ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidakprofesionalan, dan ketidakadilan yang dilakukan pihak tergugat, dalam hal ini KPU.

Selain itu, majelis hakim menyatakan fakta-fakta hukum telah membuktikan terjadi kondisi error pada Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang disebabkan faktor kualitas alat yang digunakan atau faktor di luar prasarana.

Hal tersebut terjadi saat Partai Prima mengalami kesulitan dalam menyampaikan perbaikan data peserta partai politik ke dalam Sipol yang mengalami error pada sistem.

Tanpa adanya toleransi atas apa yang terjadi tersebut, akhirnya KPU menetapkan status Partai Prima tidak memenuhi syarat (TMS).

Sentimen: negatif (98.8%)