Sentimen
Positif (88%)
28 Feb 2023 : 21.23
Informasi Tambahan

Event: Pemilu 2019, Pemilu 2014

Institusi: Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro

Kab/Kota: Senayan

Tokoh Terkait

Sistem `reserved seats` jamin kuota perempuan di parlemen terpenuhi

28 Feb 2023 : 21.23 Views 2

Elshinta.com Elshinta.com Jenis Media: Politik

Sistem `reserved seats` jamin kuota perempuan di parlemen terpenuhi

Sumber foto: Antara/elshinta.com.

Elshinta.com - Di tengah Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD NRI Tahun 1945, muncul wacana bahwa sistem pemilu proporsional tertutup lebih berpeluang bagi kaum hawa menjadi anggota legislatif.

Apa betul gegara sistem proporsional terbuka keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari total anggota DPR RI sejak Pemilihan Umum 2004 hingga Pemilu 2019 tidak pernah tercapai?

Padahal, dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu mensyaratkan partai politik peserta pemilu harus menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.

Begitu pula terkait dengan daftar bakal calon. Lima belas partai politik yang berlaga pada Pemilu Anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada tahun 2019 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dari total bakal calon anggota dewan legislatif dalam daftar tersebut.

Namun, hasil Pemilu 2019 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR RI masih di bawah 30 persen, atau 20,8 persen (120 perempuan) dari 575 anggota DPR RI. Walau demikian, jika dibandingkan pada pemilu sebelumnya, persentase itu mengalami penaikan.

Pemilu Anggota DPR RI 2014, kaum hawa yang menjadi wakil rakyat sebanyak 97 orang atau 17,32 persen dari 560 kursi DPR RI yang diperebutkan 12 parpol peserta Pemilu 2014 di 77 daerah pemilihan (dapil).

Persentase keterwakilan perempuan pada Pemilu 2009 mengalami penurunan. Pada pemilu yang juga menggunakan sistem proporsional terbuka mencapai 18,3 persen (103 kursi). Sebelumnya, pada Pemilu 2004 sebanyak 12 persen.

Apakah ada jaminan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup menjamin kemudahan perempuan melenggang ke Senayan (Gedung MPR/DPR/DPD RI)?

Analis politik dari Universitas Diponegoro Dr. Teguh Yuwono menyatakan penerapan sistem proporsional tertutup pada pemilu belum menjamin capaian keterwakilan perempuan sedikitnya 30 persen dari total anggota DPR RI.

Semua itu bergantung pada mekanisme partai politik apakah menominasikan perempuan menjadi caleg atau tidak. Hal ini mengingat sistem proporsional tertutup itu tidak berdampak pada capaian kuota 30 persen di parlemen.

Kendati demikian, parpol peserta pemilu terikat dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam Pasal 245 menyebutkan bahwa daftar bakal calon anggota legislatif memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Caleg Nomor Urut 1

Berdasarkan hasil Pemilu 2019 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen perempuan yang terpilih di parlemen adalah mereka yang berada nomor urut 1.

Oleh karena itu, pegiat pemilu Titi Anggraini memandang penting partai politik peserta pemilihan umum menempatkan lebih banyak perempuan pada nomor urut 1 di paling sedikit 50 persen total dapil DPR serta DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Pada Pemilu Anggota DPR RI pada tahun 2024, misalnya, jumlah dapil di Indonesia setelah pemekaran di wilayah Papua, bertambah dari 80 menjadi 84 dapil. Begitu pula jumlah kursi DPR bertambah dari 575 menjadi 580 kursi.

Berarti, kata Titi Anggraini, kalau ingin lebih banyak perempuan terpilih di parlemen, partai politik harus menempatkan lebih banyak perempuan pada nomor urut 1 daftar calon anggota DPR RI sedikitnya di 42 dapil.

Kalau partai politik sungguh-sungguh mendukung keterwakilan perempuan, apalagi jumlah pemilih perempuan lebih banyak daripada laki-laki, menurut dia, parpol mestinya jangan ragu untuk menempatkan caleg perempuan pada nomor urut 1 di paling sedikit 50 persen total dapil.

Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan Ketiga (DPTHP-3) Dalam dan Luar Negeri Pemilu Tahun 2019 berdasarkan Berita Acara Nomor 136/PL.02.1-BA/01/KPU/V/2019 tanggal 21 Mei 2019 menyebutkan total pemilih dalam negeri sebanyak 190.779.466 orang dengan perincian 95.365.946 laki-laki (49,99 persen) dan perempuan sebanyak 95.413.520 orang.

Sementara itu, berdasarkan DPTHP-3 luar negeri tercatat 865.700 laki-laki (43,48 persen) dan pemilih dari kaum hawa sebanyak 1.125.445 orang atau 56,52 persen dari total 1.991.145 pemilih.

Di lain pihak, Titi mengemukakan bahwa terkait dengan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan ini, dalam praktik pemilu global, terdapat mekanisme khusus yang digunakan oleh sejumlah negara untuk memastikan jaminan keterpilihan perempuan dalam jumlah tertentu di parlemen. Lazimnya berupa paling sedikit 30 persen perempuan terpilih di parlemen. Mekanisme tersebut adalah reserved seats atau blocked seats.

Titi yang juga pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia berpendapat bahwa skema reserved seats dalam sistem proporsional tertutup sekalipun harus berkorelasi pula dengan metode pencalonan, penempatan dalam nomor urut, dan distribusi kursi pada calon menduduki kursi.

Reserved seats merupakan persentase tertentu dari kursi di parlemen, badan pemerintah, lembaga pendidikan, atau organisasi publik lainnya disediakan khusus untuk perempuan.

Pemberlakuan sistem ini untuk mengatasi marginalisasi historis perempuan dan untuk mempromosikan kesetaraan gender dengan memastikan bahwa perempuan memiliki keterwakilan dan kesempatan yang sama pada bidang-bidang tersebut.

Menurut dia, persentase kursi yang direservasi untuk perempuan dapat bervariasi tergantung pada negara dan organisasi tertentu. Dalam beberapa kasus, persentase tetap kursi disediakan khusus untuk perempuan, sementara dalam kasus lain, sejumlah kursi dialokasikan untuk perempuan calon berdasarkan kinerja mereka dalam pemilihan atau proses seleksi lainnya.

Kursi yang direservasi pada kuota perempuan masih merupakan hal kontroversial. Masalahnya, beberapa pihak berpendapat bahwa hal itu mempromosikan diskriminasi positif dan bertentangan dengan prinsip meritokrasi.

Sementara itu, yang lain berpendapat bahwa hal itu perlu untuk mempromosikan kesetaraan gender dan mengatasi kelemahan dan hambatan historis yang dihadapi perempuan.

Implikasi teknisnya tidaklah sederhana. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi akan banyak keterbatasan dalam berhadapan dengan dampak aspek teknis dan manajemen kepemiluannya.

Sentimen: positif (88.3%)