Sentimen
Positif (99%)
24 Feb 2023 : 19.07
Informasi Tambahan

Brand/Merek: Honda

Event: Perang Dunia II, Ramadhan

Kab/Kota: Labuan Bajo

Kasus: Narkoba, penganiayaan

Tokoh Terkait
Rafael Alun Trisambodo

Rafael Alun Trisambodo

Agnes Gracia Haryanto

Agnes Gracia Haryanto

Kenapa Mario Berani Pukuli David?

25 Feb 2023 : 02.07 Views 2

PinterPolitik.com PinterPolitik.com Jenis Media: News

Kenapa Mario Berani Pukuli David?

Publik dihebohkan dengan berita penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satrio pada David. Hal ini menambah banyak tumpukan permasalahan kekerasan yang dilakukan oleh kaum elit di Indonesia. Mengapa hal seperti ini kerap terjadi?

PinterPolitik.com

Belakangan ini publik dihebohkan dengan berita penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satrio, anak dari seseorang yang punya jabatan cukup tinggi di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu), yakni Kabag Umum Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo.

Dalam sebuah video viral yang sempat diunggah di fitur story Instagram akun pacar Mario yang bernama Agnes Gracia Haryanto, publik dipertontonkan sebuah adegan yang cukup sadis. Seorang laki-laki muda, yakni David, dipukuli dan ditendang habis-habisan oleh Mario hingga akhirnya dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan koma.

Tentu respons yang dirasakan publik pertama adalah kaget, bagaimana bisa seseorang yang baru berumur 20 tahun bisa punya pemikiran untuk menyakiti orang lain sampai separah itu. Terlebih lagi, alasan dilakukannya pemukulan tersebut diketahui hanya persoalan hubungan romantis.

Di sisi lain, cerita Mario ini hanya menambah tumpukan kasus kekerasan dan perilaku tidak seronok dari kalangan elit yang cukup sering disoroti media dan publik. Belum lama sebelum ini kita juga dihebohkan oleh berita pengendara mobil Fortuner bernama Giorgio Ramadhan yang merusaki mobil Honda Brio dengan senjata tajam hanya karena dikedipkan lampu sorot.

Kalau mau ditarik lebih jauh lagi, pada tahun 2017 publik pun sempat dibuat ramai oleh kelakuan seorang anggota TNI berinisial AG yang menampar petugas Bandara Internasional Soekarno-Hatta akibat petugas perlu melakukan body search karena AG menyalakan lampu indikator WTMD saat melewatinya.

Contoh lainnya yang juga tidak kalah menarik, adalah dugaan pemukulan yang dilakukan anggota DPR RI, yakni Benny K Harman pada seorang karyawan restoran Mai Chenggo Labuan Bajo, di Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 2022 silam.

- - -

Yap, kalau mau disebutkan satu per satu, mungkin contoh kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang elit Indonesia tidak ada habisnya.

Fenomena ini tentu memancing sebuah pertanyaan menggelitik, yaitu kenapa seseorang yang berkaitan dengan kelompok orang kaya atau pejabat di Indonesia sering sekali membuat kasus kekerasan yang terkadang terlihat sangat tidak pantas?

Sejak Dulu Elit Terlalu Diagungkan?

Persoalan kaum elit yang kerap mendapat privilese dan berlaku cenderung seenaknya sudah cukup lama jadi perbincangan di Indonesia. Persoalan voorijder atau iring-iringan pengawal polisi saja sempat direspons oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2013 silam, Jokowi mengatakan bahwa sekarang sudah bukan zamannya kebiasaan iring-iringan seperti itu. Kalau dilakukan hanya untuk berkendara keliling kota, hal itu menurutnya hanya menunjukkan arogansi dari pejabat ataupun kaum elite.

Dan bukan tidak mungkin bila privilese-privilese seperti itu akhirnya menjadi bibit kekerasan ketika berhadapan dengan orang biasa yang merasa diperlakukan tidak adil, atau hanya karena nasibnya saja yang membuat ulah dengan orang elite berprivilese tadi.

Fenomena seperti ini salah satunya bisa dijawab dengan sesuatu yang disebut social dominance theory atau teori dominasi sosial. Jim Sidanius dan kawan-kawan dalam tulisan mereka A Comparison of Symbolic Racism Theory and Social Dominance Theory as Explanations for Racial Policy Attitudes, menjelaskan bahwa teori dominasi sosial adalah sebuah teori psikologi sosial tentang hubungan antarkelompok yang memiliki fitur seperti “kasta” dalam setiap interaksi, atau lebih kasarnya, hierarki sosialnya.

Menurut teori ini, ketidaksetaraan antar kelompok sosial dalam suatu masyarakat bisa dipertahankan melalui tiga mekanisme utama: diskriminasi kelembagaan, diskriminasi individual, dan tatanan perilaku yang bersifat asimetris. Dalam masyarakat yang seperti ini, privilese yang mungkin sebenarnya berlebihan bisa dianggap normal.

Tentu, dalam menakar bagaimana suatu fenomena bisa berkaitan dengan teori dominasi sosial kita juga perlu melihat sejarah yang membuatnya terbentuk seperti itu. Terkhusus Indonesia, kita memang punya sejarah di mana kelompok-kelompok elit kerap dilihat sebagai kelompok sosial yang dicitrakan lebih berkuasa, dan bahkan lebih mulia.

- - -

Seperti yang pernah dibahas dalam artikel PinterPolitik berjudul Kenapa Selalu ada Capres Purnawirawan, kalangan TNI, khususnya Angkatan Darat (AD), memiliki citra yang khusus di mata orang Indonesia. Hal tersebut karena AD memiliki peran yang begitu besar dalam proses kemerdekaan Indonesia, mereka juga punya andil besar dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia yang seumur jagung di tengah ancaman cengkeraman Belanda setelah Perang Dunia II.

Akibatnya, meski momentum kemerdekaan sudah lewat puluhan tahun yang lalu, masyarakat Indonesia kerap mempersepsikan aparat bersenjata sebagai sekelompok pahlawan yang wajar bila diberikan sejumlah privilese.

Dominasi sosial berlandaskan pandangan itu sepertinya kemudian melalui proses evolusinya tersendiri. Yusar, sosiolog Universitas Padjajaran dalam wawancaranya dengan Vice menyebutkan bahwa petugas  kepolisian dan pegawai pemerintah kerap menempati posisi politik yang penting selama bertahun-tahun, dan bersama-sama mereka semua menikmati tingkat hak yang jauh melebihi rata-rata orang Indonesia.

Selain diskriminasi dari level institusional, hal ini juga kemudian berlangsung di tataran individual melalui pewarisan nilai sosial yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bahkan, saat ini privilese seperti itu tidak lagi hanya berlaku untuk kelompok aparat, tetapi juga jabatan-jabatan lain yang kerap dilihat penting bagi masyarakat, seperti dokter dan anggota DPR.

Dari pandangan seperti ini, kita sepertinya bisa mewajarkan bila akhirnya anak-anak keturunan pejabat kerap memandang dirinya di atas hukum karena mereka merasa memiliki privilese sosial yang lebih tinggi dari masyarakat biasa. Kalau kekuatan politik saat ini memang bisa “dibeli” oleh uang, hal itu tentu semakin nyata.

Lantas, apakah pandangan yang diskriminatif seperti ini bisa dihilangkan?

Sudah Terlalu Mengakar?

Kalau dalam proses rehabilitasi pecandu narkoba, segala prosedur yang dilakukan harus melewati beberapa tahap kompleks yang berlangsung lama. Logika seperti itu juga mungkin berlaku untuk kebiasaan masyarakat suatu negara.

Namun, terkhusus persoalan diskriminasi kaum elite di Indonesia, sepertinya hal ini memiliki permasalahan yang terlalu “mengakar” dalam kehidupan kita sehari-hari.

Wijayanto dalam tulisannya NEW STATE, OLD SOCIETY: The Practice of Corruption in Indonesian Politics In Historical Comparative Perspective, menyebutkan bahwa alasan kenapa Indonesia masih memiliki sejumlah permasalahan besar dalam aspek politik dan sosialnya adalah karena sistem berkehidupan kita masih merepresentasikan kehidupan ala feodalisme sejak zaman kerajaan ribuan tahun lalu.

Mengutip pada studi dari Bennedict Anderson, sesuai dengan kebiasaan kehidupan kerajaan, khususnya dari Budaya Jawa, kekuasaan kelompok elite dipandang sebagai sesuatu yang konkret, homogen, konstan, dan legitimasinya tidak perlu dipertanyakan.

Poin terakhir tadi, tentang legitimasi, mungkin memiliki korelasi yang sangat menarik dengan persoalan diskriminasi elite Indonesia. Anderson menjelaskan bahwa sejak ratusan tahun lalu, seorang pemimpin kerajaan di Indonesia kerap dipandang sebagai sosok yang terlepas dari nilai positif maupun negatif, sebagai contoh, kebijakan seorang raja tetap saja bisa diikuti rakyatnya karena tidak ada yang berani mempertanyakan. Pandangan seperti itu tentu tidak hanya diakui rakyat, tapi juga kaum elite.

Nah, kalau memang kaum elite Indonesia masih merasa dipandang demikian oleh masyarakat Indonesia, maka pantas bila mereka akhirnya merasa tidak perlu mempertanggung jawabkan hal apapun yang dilakukannya di publik, entah itu hal yang terpuji, ataupun hal yang begitu keji seperti pemukulan yang dilakukan oleh Mario terhadap David.

Akhir kata, ini semua tentu hanya interpretasi belaka. Terlepas dari benar atau tidaknya, sekat-sekat sosial ataupun politik yang bisa membuat kita semakin terpecah tidak bisa dibenarkan. Kalau masyarakat Indonesia tidak bisa merasa bertanggung jawab satu sama lain, bagaimana kita bisa bersanding dengan negara maju? (D74)

Sentimen: positif (99.8%)