Sentimen
Negatif (88%)
25 Feb 2023 : 22.51
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Tiongkok

Partai Terkait

Zelensky Labil atau Tiongkok Dilema?

26 Feb 2023 : 05.51 Views 4

PinterPolitik.com PinterPolitik.com Jenis Media: News

Zelensky Labil atau Tiongkok Dilema?

Baru-baru ini  Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menolak Tiongkok sebagai mediator dengan Rusia. Menariknya, pada Agustus 2022, Zelensky justru ingin berkomunikasi dengan Xi Jinping untuk memintanya mengakhiri perang di Ukraina. Lantas, kenapa sekarang Zelensky menolak tawaran Xi Jinping? Apakah Zelensky sedang labil? Lalu, bagaimana dengan posisi Tiongkok saat ini?

PinterPolitik.com

Pada tanggal 24 Februari 2023 menjadi peringatan satu tahun negara Rusia menginvasi Ukraina. Konflik yang hingga kini rasanya sulit untuk menemukan titik penyelesaian akhir kedua negara berkonflik. Akan tetapi, pembahasan mengenai konflik daerah Eropa timur ini masih menarik untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Perdebatan soal siapa yang salah dan negara mana yang akan memenangkan perang ini selalu digaungkan oleh siapapun itu.

Permasalahan lain seperti dampak yang bukan hanya dari korban jiwa maupun mengungsi, namun dampak ekonomi atau lebih tepatnya adalah ketahanan ekonomi.

Krisis energi dan sumber pangan terutama gandum yang merambah beberapa negara lain di Eropa menambah kompleksitas dari konflik ini. Tidak salah juga banyak pihak menyatakan bahwa ini merupakan perang energi.

Upaya penyelesaian masalah terus dilakukan, banyak negara yang sudah berkunjung ke kedua negara tersebut atau setidaknya salah satunya untuk berdiskusi maupun menawarkan solusi untuk masalah perseteruan ini.

Negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan bahkan Indonesia telah berkunjung ke Ukraina untuk membahas konflik ini. Akan tetapi, lebih pada diskusi atau bantuan perlengkapan pertahanan untuk Ukraina menghadapi Rusia.

Namun, ada satu negara yang memberikan “harapan” untuk bisa menengahi konflik bersenjata diantara kedua negara ini, yaitu Tiongkok.

Pada awalnya memang Tiongkok memberikan pernyataan keprihatinan terhadap perseteruan Rusia dan Ukraina. Terbukti, dalam beberapa forum internasional seperti di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB, Tiongkok sering kali memberikan posisi abstain atau tidak memberikan jawaban pasti mengenai Rusia yang harus meninggalkan Ukraina.

Pada sisi lainnya, sebenarnya Ukraina ingin adanya partisipasi dari Tiongkok untuk membantu menyelesaikan permasalahan terhadap Rusia pada Agustus 2022 yang lalu.

Akan tetapi, baru-baru ini ada pernyataan dari Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang menyatakan kalau ia menginginkan sebuah “formula perdamaian” sendiri alih-alih mempertimbangkan penawaran resolusi dari Tiongkok.

Berarti secara tidak langsung posisi Tiongkok dianggap belum dipercaya oleh Ukraina dalam penanganan konflik berskala besar. Jadi, mengapa Ukraina yang tadinya ingin negara Tirai Bambu tersebut untuk mengupayakan perdamaian, namun bisa berubah pikiran beberapa bulan kemudian?

Ini menjadi menarik ketika tiba-tiba saja merubah pandangannya terhadap penyelesaian masalah ini. Apakah ini menunjukkan Zelensky sedang mengalami fase labil dalam usaha resolusi konflik?

Tiongkok Bermain Belakang?

Seperti yang dikatakan sebelumnya, Tiongkok sebenarnya sudah ingin melakukan inisiatif untuk menjadi penengah antar kedua negara bertikai. Posisinya pun secara formal memang dikatakan sebagai sikap netral.

Namun, apa yang dikhawatirkan Zelensky ketika memutuskan untuk “menjauh” dengan Tiongkok?

Sebelumnya, Tiongkok pada 24 Februari kemarin telah merilis poin-poin rencana yang disebut sebagai “rencana perdamaian”. Tidak eksplisit memang tentang konflik Rusia dan Ukraina, namun dari isinya mengarah ke sana.

Isinya secara umum meminta untuk gencatan senjata, menghargai setiap kedaulatan negara, dan mengisyaratkan pihak Barat untuk segera menghentikan banyaknya sanksi terhadap Rusia.

Inilah yang mungkin membuat Zelensky cukup berhati-hati menanggapi proposal dari Tiongkok. Ditambah lagi sudah mengetahui bahwa Rusia dan Tiongkok punya hubungan yang cukup lama.

Hubungan ini sudah berlangsung sejak era normalisasi hubungan Tiongkok dan Rusia pasca Perang Dingin pada tahun 1991, seperti yang ditulis dalam laporan jurnal berjudul A ‘Soft Allience?’ Russia-China After Ukraine Crisis karya Alexander Gabuef.

Dalam jurnal tersebut Tiongkok sempat melakukan normalisasi hubungan dengan Rusia hingga tahun 2002 khususnya pada saat Vladimir Putin menjabat sebagai Presiden Rusia. Setelahnya hubungan mereka terbangun oleh soft alliance di berbagai bidang.

Meskipun saat krisis Ukraina tahun 2014 Tiongkok mengemukakan prihatin terhadap situasi saat itu dan ditakutkan akan terjadi hal yang sama mengenai Taiwan serta Laut Tiongkok Selatan, namun perjalanan kerja sama Tiongkok dengan Rusia agaknya membuat Ukraina wajar untuk khawatir.

Inilah yang membuat Zelensky tidak bisa menerima sepenuhnya apa yang ditawarkan oleh Tiongkok. Terlebih lagi, Ukraina sendiri sudah meminta Xi Jinping agar sebisa mungkin tidak membiarkan Rusia menduduki wilayahnya. Sebuah permintaan yang membuat negara Tiongkok mengalami dilema.

Namun kembali lagi, apakah sebenarnya Ukraina berada dalam situasi yang benar-benar labil?

Ukraina Masih Butuh Tiongkok

Pada kenyataannya, Ukraina sebenarnya tidak menolak seratus persen juga dari apa yang Tiongkok tawarkan melalui rencana perdamaian tersebut. Terbukti dari pernyataan Zelensky pada 24 Februari 2023. “Tiongkok mulai mencoba membicarakan soal Ukraina, tidak buruk dan terlihat mereka sangat menghargai kedaulatan kami,” ungkapnya.

Ini membuktikkan bahwa Ukraina butuh negara lain untuk bisa mencari cara agar tercipta perdamaian maupun keamanan negaranya termasuk dari Tiongkok. Karena tidak selamanya Ukraina akan terus mengandalkan pasokan pertahanan dari bantuan negara-negara sekutu. Perlu ada penyelesaian secara diplomatis demi menghindari eskalasi yang lebih tinggi lagi.

Hanya saja, dari Menteri Luar Negeri (Menlu) Ukraina Dmytro Kuleba mengatakan bahwa telah dibuat sebuah “formula perdamaian” yang telah didukung oleh banyak negara terutama dari Barat. Hal tersebut kemungkinan menjadi alasan mengapa Zelensky dianggap labil.

Jadi, meskipun Ukraina tidak mungkin selabil itu untuk menolak mentah-mentah proposal perdamaian dari Tiongkok, hanya saja Ukraina melakukan upaya lainnya atau lebih tepatnya membuat sebuah “rencana b” untuk mengantisipasi mandeknya kesepakatan dengan Rusia melalui Tiongkok.

Di sisi lainnya banyak pihak mengganggap bahwa Tiongkok tidak dalam posisi bagus sebagai negara penengah konflik tersebut, karena masih ada kecenderungan kedekatan dengan Rusia.

Walaupun begitu, seperti yang dikatakan oleh direktur program China di thinktank Stimson Center, Yun Sun, Tiongkok akan selalu membantu advokasi kedua negara karena statusnya bukan advokasi Rusia namun sebagai advokasi perdamaian.

Lebih lanjut, Yu Sun menyatakan, jika advokasi dari Tiongkok bisa berhasil maka itu juga akan membahayakan politik dari Putin dan juga mempengaruhi hubungannya dengan Rusia. Hubungan Rusia dan Tiongkok dinilai dapat menjadi renggang. Dilema ini yang sedang dialami oleh Tiongkok.

Perlu ada strategi pas kalau mereka mau statusnya tetap menjadi negara penengah konflik. Sementara itu, Ukraina juga perlu membuka hatinya secara perlahan untuk bisa menyelesaikan perkara ini, alih-alih tetap waspada dengan negara lain. (A88)

Sentimen: negatif (88.9%)