Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: pembunuhan
Tokoh Terkait
Brigadir Yosua Hutabarat
Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat
Nofriansyah Yosua Hutabarat
Bukan karena KUHP Baru, Sambo Berpotensi Lepas dari Putusan Mati
Jawapos.com Jenis Media: Nasional
JawaPos.com–Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusan hukuman mati kepada Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Lantas, apakah benar Sambo bisa lolos karena aturan hukum KUHP baru?
Pidana mati diatur dalam UU 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Aturan itu disorot setelah Sambo dijatuhi hukuman pidana mati. Pasal yang menjadi sorotan tepatnya pasal 100.
KUHP yang disahkan pada 6 Desember 2022 itu, pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat. Kemudian, KUHP juga memberikan masa percobaan 10 tahun bagi terpidana untuk berbuat baik di penjara. Jika selama 10 tahun tersebut, terpidana berbuat baik, hukumannya bisa diubah menjadi penjara seumur hidup.
Di pasal berikutnya, pasal 101, UU juga membahas khusus terpidana mengajukan grasi. Disampaikan, di pasal itu, jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden (Keppres).
Praktisi hukum I Wayan Titib Sulaksana mengatakan, aturan KUHP yang baru itu tidak bisa diterapkan di kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Mengapa demikian?
”Karena KUHP baru itu hanya bisa diterapkan di kasus-kasus yang berjalan atau berlangsung pada 2025 ke atas. Bukan kasus Sambo ini. Kalau kasus Sambo pakai UU yang sebelum diubah,” papar Wayan.
Namun, lanjut Wayan, ada potensi Sambo lolos dari jeratan putusan mati oleh hakim PN Jakarta Selatan. Hukuman mati bisa dieksekusi setelah ada putusan hukum yang tetap.
”Sambo masih ada banding, kasasi, hingga permohonan grasi presiden. Bisa saja nanti hakim di Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung tidak sama frekuensi pemikirannya dengan hakim di PN Jakarta Selatan,” tutur Wayan.
Ketika menempuh kasasi dan banding, lanjut Wayan, tidak ada proses persidangan. Hakim di Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung hanya memeriksa berkas perkara dari pemohon banding atau kasasi.
Editor : Latu Ratri Mubyarsah
Reporter : Dimas Nur Aprianto
Sentimen: negatif (100%)