Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Senayan
Tokoh Terkait
Papua Darurat Sipil Berbahaya! Perparah Situasi Kemanusiaan
Akurat.co Jenis Media: News
AKURAT.CO Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan dasar pernyataan Wakil Ketua DPR RI Lodewijk Paulus soal darurat sipil di Papua.
Sebab, hingga kini tidak pernah ada keputusan resmi dari Presiden Jokowi terkait status operasi keamanan di wilayah paling timur Indonesa itu. KontraS menilai pernyataan Lodewijk tersebut berbahaya.
"Kami menilai, pernyataan tersebut sangatlah berbahaya, sebab dapat memicu eskalasi kekerasan dan dapat memperparah situasi kemanusiaan di Papua," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti lewat siaran persnya, Minggu (12/2/2023).
baca juga:KontraS khawatir pernyataan Lodewijk itu dijadikan validitas oleh aparat keamanan untuk melakukan tindakan yang berlebihan dan sewenang-wenang.
"Dikarenakan, melalui kebijakan darurat sipil negara memiliki wewenang yang begitu besar dan berpotensi terjadi adanya pelanggaran hak asasi manusia," jelasnya.
Kekhawatiran ini bukan isapan jempol sebab merujuk Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, pemerintah dapat melarang atau membatasi pengiriman berita hingga percakapan melalui telepon maupun radio, menggeledah tempat-tempat di luar kehendak pemilik, hingga mengontrol semua akses informasi, lewat status darurat sipil.
Fatia mengungkapkan, KontraS pernah bersurat kepada Kemenkopolhukam terkait dengan situasi kemanan di Papua setahun lalu. Namun, kata dia, Kemenkopolhukam tidak merespon surat dari KontraS tersebut.
"Dengan tidak diberikannya informasi tersebut, membuktikan bahwa pengerahan aparat keamanan secara masif ke Papua patut dipertanyakan sebab tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari negara atas pengerahan pasukan keamanan yang selama ini dilakukan," kata Fatia.
Berdasarkan catatan KontraS, sebanyak 8.264 personel gabungan TNI/Polri diterjunkan ke Papua. Dia mengatakan kedatangan pasukan dengan jumlah besar ini memicu terjadinya kontak senjata antara aparat dengan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka.
"Akibatnya sepanjang Desember 2021 – November 2022 diketahui terdapat sekitar 48 peristiwa kekerasan yang terjadi. Banyak korban yang jatuh justru didominasi warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak,” ujar dia.
Berangkat dari hal itu, Fatia menilai pendekatan militerisme seperti darurat sipil tidak akan menyelesaikan pokok persoalan yang terjadi. Malahan berpotensi memicu persoalan baru dan warga sipil yang tidak bertikai dapat menjadi korban.
Terkait dugaan penyanderaan oleh TPNPB-OPM terhadap pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru pada 7 Februari 2023 lalu di Nduga, KontraS mengingatkan agar semua pihak bersikap hati-hati.
"Semua pihak harus menghindari cara-cara kekerasan dan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia," ujar Fatia.
Ia mengingatkan, keselamatan orang yang disandera harus menjadi prioritas. KontraS sekaligus mendorong pihak yang berkonflik mengedepankan pendekatan secara damai atau nonkekerasan dalam menyelesaikan konflik yang selama ini terjadi.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR bidang Politik dan Keamanan Lodewijk Paulus mengatakan perlu ada darurat sipil di Papua menyusul dibakarnya pesawat terbang Susi Air oleh Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBP-OPM).
"Kita harapkan gini ya, harus dipahami bahwa Papua ini sekarang status darurat sipil. Maka yang di depan adalah penguasa darurat sipil, Gubernur, yang di depannya otomatis penegak hukum,” kata Lodewijk di Istora Senayan, Jakarta, Jumat lalu
TPNPB-OPM mengklaim telah menyandera pilot Susi Air yang merupakan warga negara Selandia Baru, Philips Max Marthin dan 15 pekerja bangunan yang sedang mengerjakan pembangunan puskesmas di Paro, Kabupaten Nduga.
Sentimen: positif (79.9%)