Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: BTN
Kab/Kota: Tangerang, Bogor, Bintaro
Kasus: Kemacetan
Tokoh Terkait
Penolakan Jalan Berbayar di Jakarta Terus Meluas
Republika.co.id Jenis Media: Nasional
JAKARTA — Rencana penerapan jalan berbayar di 25 ruas jalan di DKI Jakarta terus menuai penolakan dari masyarakat. Para pengemudi ojek online (ojol) melakukan aksi demo penolakan terhadap rencana kebijakan electronic road pricing (ERP) alias jalan berbayar, di depan Balai Kota DKI, Jakarta.
Pada Rabu (8/2) siang, terdapat banyak ojol yang menuju ke depan gedung Balai Kota DKI Jakarta. Salah satu pengemudi ojol bernama Agus (49 Tahun) menyatakan penolakannya terhadap ERP. Keberadaan ERP hanya akan menyulitkannya sebagai pengemudi daring karena akan membuatnya semakin sulit untuk mengambil untung jika melewati banyak jalan di DKI Jakarta.
“Ya itu (ERP) kan 25 titik di jalan DKI Jakarta. Terus bayar gitu setiap kita lewat? Untung buat kita nanti gimana? Yang ada nombok. Kesejahteraan masyarakat di DKI saja belum ada,” katanya kepada Republika, Rabu (8/2).
Agus berharap gubernur DKI Jakarta tidak menerapkan ERP di ibu kota. Sebab, ia setiap hari mencari nafkah dengan melewati jalanan di Jakarta. “Kita menolak keras adanya ERP. Kemacetan tidak akan terselesaikan dengan ERP. Masih banyak pembangunan jalan yang tidak memadai,” kata dia.
Penolakan juga sebelumnya disuarakan masyarakat dari berbagai wilayah penyangga ibu kota. Harapan untuk mengurangi kemacetan ibu kota dinilai tidak bisa dilakukan dalam satu langkah kebijakan. Masyarakat meminta pemerintah membuat langkah komprehensif dan terintegrasi untuk membereskan kemacetan yang sudah akut.
Warga Kecamatan Semplak, Kabupaten Bogor, Dita (24), yang bekerja sebagai fotografer persalinan di Jakarta menilai kebijakan ERP ini tak bisa menyelesaikan kemacetan. Kebijakan ini sama halnya seperti penerapan ganjil-genap kendaraan bermotor.
“Menurut aku sih ini enggak akan efektif. Orang yang memang urgensinya tinggi untuk melalui jalan itu, ya, akan tetap lewat situ. Pun peraturan jalan berbayar, orang tetap akan lewat dan bayar,” ujar dia.
Dita berpendapat, jika tujuannya untuk mengurangi kemacetan dan membiasakan masyarakat menggunakan transportasi umum, butuh waktu lama untuk membentuk budaya tersebut. Hal tersebut tidak bisa diubah sekejap dengan peraturan yang hanya akan memberatkan pengguna jalan.
Warga lain dari Cibinong, Bogor, Sandy (27), menilai jalan berbayar untuk kendaraan pribadi ini kurang solutif. Sebab, jalanan merupakan fasilitas masyarakat yang dibayar melalui pajak setiap tahunnya. Belum lagi, kata dia, jika ada rumah sakit, klinik, atau sekolah di ruas jalan yang akan berbayar nanti, masyarakat harus membayar berkali-kali untuk melewati jalan tersebut.
“Kadang solusi pakai bayar-bayar gitu bukan sesuatu yang solutif. Toh, jalan tol saja kadang lebih macet ketimbang jalan biasa,” ujarnya.
Sejumlah warga Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang bekerja di Jakarta pun tidak setuju dengan rencana kebijakan tersebut karena berkaitan dengan belum memadainya transportasi publik. Mereka juga menganggap kebijakan itu hanya akan menggeser titik kemacetan.
“Soal ERP ini tentu aku tidak setuju sebagai warga kota satelit. Hal ini karena, pertama, adanya ERP tentu akan mempersulit kita mengakses Jakarta, sebab belum ada moda transportasi yang efisien waktu dan biaya serta terintegrasi untuk menghubungkan Jakarta dan kota satelit,” kata Eti Setyarini (31), warga Bintaro, Tangsel, kepada Republika.
Eti mengatakan, transportasi publik yang ada saat ini memakan waktu banyak dan mahal karena harus melanjutkan perjalanan dengan menggunakan transportasi ojek daring. Sementara itu, jika menggunakan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor, cenderung lebih cepat dan lebih murah.
Kadang solusi pakai bayar-bayar gitu bukan sesuatu yang solutif. Toh, jalan tol saja kadang lebih macet ketimbang jalan biasa.
Menurut Eti, ERP bertentangan dengan konsep bahwa jalan merupakan barang publik. Karena itu, seharusnya peruntukannya adalah untuk masyarakat secara umum tanpa adanya pengecualian. “Menurutku, karena jalan raya itu dibangun dari APBN/APBD, ya, seharusnya penggunaannya untuk masyarakat luas, bukan dibatasi bagi yang mampu bayar saja. Karena kalau dibatasi gitu, jadinya excludable (dikecualikan, Red) kayak private good,” ujar dia.
Ketika disinggung mengenai tujuan pemberlakuan ERP adalah untuk mengurangi tingkat kemacetan, Eti menyampaikan pandangan yang empiris mengenai hal itu. Dia menyebut langkah mengurangi kemacetan bukan kebijakan parsial, melainkan kebijakan yang harus komprehensif dan merupakan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
Di lain sisi, dia menilai, hingga saat ini belum terlihat niatan dari pemerintah pusat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Di antaranya, adanya insentif pembelian kendaraan listrik dan mendorong penjualan mobil pada masa pandemi dengan memberi diskon PPnBM (pajak penjualan barang mewah).
Karena jalan raya itu dibangun dari APBN/APBD, ya, seharusnya penggunaannya untuk masyarakat luas, bukan dibatasi bagi yang mampu bayar saja.
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, penerapan kebijakan jalan berbayar hingga kini masih dalam tahap kajian. Maka dari itu, ia membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan aspirasi mengenai wacana kebijakan dalam mengatur kepadatan lalu lintas di Jakarta. “Rencana implementasinya masih butuh waktu panjang, aturannya pun masih dalam proses kajian,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menyatakan, pihaknya masih mengkaji penerapan ERP ini, khususnya untuk melihat kesiapan fasilitas transportasi publik di Jakarta. Tentunya juga dengan mempertimbangkan masukan dan aspirasi dari komunitas transportasi dan masyarakat.
“Kajian penerapan ERP yang sedang dilakukan bertujuan untuk mengurai titik-titik kemacetan di Jakarta dengan cara memindahkan pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke transportasi publik. Oleh karena itu, kami memastikan kesiapan layanan dan infrastruktur transportasi publik di Jakarta,” kata dia.
").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://platform.twitter.com/widgets.js' }).prependTo("head"); if ($(".instagram-media").length > 0) $("").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://www.tiktok.com/embed.js' }).prependTo("head"); $(document).on("click", ".ajaxContent", function(t) { var e; t.preventDefault(); Pace.restart(); var a = $(this).attr("href"); var b = $(this).attr("data-id"); $(".btn-selengkapnya-news").show(); $(".othersImage").addClass("hide"); $(this).hide(); $("." + b).removeClass("hide"); return e ? (Pace.stop(), document.getElementById("confirm_link").setAttribute("href", a), $("#modal_confirm").modal()) : ($("*").modal("hide"), void $.get(a, function(t) { $("#" + b).html(t.html); console.log("#" + b); }).done(function() { $(".collapse").fadeOut(); $("#" + b).fadeIn(); }).fail(function() { $("#modal_alert .modal-body").html(fail_alert), $("#modal_alert").appendTo("body").modal() })) }); $(".body-video").on('loadedmetadata', function() { if (this.videoWidth < this.videoHeight) this.height = 640; this.muted = true; //console.log(this.videoHeight); } ); window.onload = function() { var videos = document.getElementsByTagName("video"), fraction = 0.8; function checkScroll() { if (videos.length > 0) { for (var i = 0; i < videos.length; i++) { var video = videos[i]; var x = video.offsetLeft, y = video.offsetTop, w = video.offsetWidth, h = video.offsetHeight, r = x + w, b = y + h, visibleX, visibleY, visible; visibleX = Math.max(0, Math.min(w, window.pageXOffset + window.innerWidth - x, r - window.pageXOffset)); visibleY = Math.max(0, Math.min(h, window.pageYOffset + window.innerHeight - y, b - window.pageYOffset)); visible = visibleX * visibleY / (w * h); if (visible > fraction) { video.play(); } else { video.pause(); } } } } window.addEventListener('scroll', checkScroll, false); window.addEventListener('resize', checkScroll, false); }; // window.fbAsyncInit = function() { // FB.init({ // appId: '700754587648257', // xfbml: true, // version: 'v14.0' // }); // }; // (function(d, s, id) { // var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0]; // if (d.getElementById(id)) { // return; // } // js = d.createElement(s); // js.id = id; // js.src = "https://connect.facebook.net/en_US/sdk.js"; // fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs); // } // (document, 'script', 'facebook-jssdk')); // $(".share_it a,.share-open-fix li").on("click", function() { // url = window.location.href; // s = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.blog-post-actions").children("div.pull-left").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); // c = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.quote-text").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); // content = c + " - " + s; // if ($(this).children().hasClass("fa-facebook")) { // img = document.querySelector("meta[property='og:image']").getAttribute("content"); // FB.ui({ // method: 'share_open_graph', // action_type: 'og.shares', // action_properties: JSON.stringify({ // object: { // 'og:url': url, // 'og:title': "", // 'og:description': c, // 'og:og:image:width': '610', // 'og:image:height': '409', // 'og:image': img // } // }) // }); // console.log(img); // } else if ($(this).children().hasClass("fa-twitter")) { // window.open("https://twitter.com/intent/tweet?text=" + content + " " + url); // } else if ($(this).children().hasClass("fa-whatsapp")) { // window.open("https://api.whatsapp.com/send?utm_source=whatsapp&text=" + content + " " + url + "?utm_source=whatsapp"); // } // return false; // }); });Sentimen: negatif (88.9%)