Sentimen
Negatif (100%)
6 Feb 2023 : 10.00
Informasi Tambahan

BUMN: BTN

Grup Musik: IZ*ONE

Institusi: UGM

Kab/Kota: Yogyakarta

Kasus: kasus suap, korupsi

Kebingungan Saat Indeks Korupsi Anjlok

6 Feb 2023 : 10.00 Views 7

Republika.co.id Republika.co.id Jenis Media: Nasional

Kebingungan Saat Indeks Korupsi Anjlok

OLEH FAUZIAH MURSID, FLORI SIDEBANG

Angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilansir Transparency International (TII) pekan lalu menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Skor rendah pada angka 38 poin, anjlok lagi empat angka menjadi 34 poin. Ini nilai terendah sejak Presiden Joko Widodo naik tampuk. Ini bahkan skor terendah sejak dua dekade belakangan.

Para pejabat garuk-garuk kepala, tak ada yang bisa memberikan jawaban pasti mengapa demikian keadaannya. "Kita akan melakukan pembahasan penurunan di sisi mana jadi kita bertekad untuk meminimalkan korupsi bagaimana," kata Wapres Ma'ruf dalam keterangan persnya di Istana Kepresidenan Yogyakarta, Jakarta, Sabtu (4/2).

Ma'ruf mengatakan, dalam pemberantasan korupsi setidaknya ada tiga pendekatan, yakni pendidikan, pencegahan, dan penindakan. Menurut dia, jika ketiganya dilakukan, korupsi akan menurun secara simultan.

Karena itu, dia menilai perlu dilihat kembali faktor yang menyebabkan penurunan indeks persepsi korupsi tersebut. "Kita akan kita teliti ya, memang biasa itu kadang turun naik, tapi yang jelas pemerintah berkomitmen untuk memberantas korupsi," ujarnya.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengaku terpukul dengan hasil tersebut. "Saya agak terpukul," kata Mahfud saat menghadiri Rapat Pimpinan Lemhannas 2023, Rabu (1/2).

Mahfud mengatakan, skor IPK Indonesia biasanya mengalami peningkatan secara perlahan setiap tahunnya. Bahkan, nilainya pernah mencapai angka 39. "Terus kemarin tiba-tiba (skor IPK Indonesia 2022) turun menjadi 34. Ya terpukul," ujarnya.

Mahfud mengeklaim sudah memprediksi hal ini. "Tapi memang kita sudah menduga. Kan OTT (Operasi Tangkap Tangan) itu banyak sekali kemarin, korupsi di mana-mana terjadi. Saya sudah menduga ini akan naik, apa namanya, kemarahan publik naik, persepsinya juga akan jelek," kata dia.

"Ini kan soal persepsi saja. Bukan soal mungkin korupsinya makin banyak atau enggak, tetapi persepsi itu semakin buruk," ujarnya menambahkan. Persoalannya, hitung-hitungan Menko Polhukam ini tak sejalan dengan data belakangan.

Sepanjang 2022, KPK melakukan sedikitnya sembilan kali OTT. Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2020 sebanyak delapan kali OTT, dan enam kali pada 2021. OTT sepanjang masa kepemimpinan Ketua KPK Firli Bahuri yang dimulai pada Desember 2019 itu sedianya jauh lebih kecil dari angka sebelumnya.

Sepanjang 2019 saja, KPK melakukan 21 kali OTT. Sementara pada 2018, ada 30 OTT dilakukan KPK, lebih banyak dari OTT sepanjang tiga tahun kepemimpinan Firli. Sementara IPK Indonesia justru pada angka yang jauh lebih baik saat OTT-OTT tersebut marak. Pada 2018, IPK berada di angka 38, sementara pada 2019 di angka 40.

Presiden Joko Widodo pun menegaskan, menurunnya angka IPK Indonesia ini akan menjadi koreksi dan evaluasi bersama. "Ya itu akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama," kata Jokowi saat memberikan keterangan pers di Pasar Baturiti, Tabanan, Bali, Kamis (2/2).

Apa yang sebenarnya membuat IPK Indonesia anjlok? Selain poin totalnya yang turun, perolehan ini juga membuat posisi Tanah Air berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei atau melorot 14 tangga dari tahun 2021 yang mencapai ranking 96.

Adapun skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. Transparency International Indonesia (TII) merilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori.

Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan, dengan hasil tersebut, Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak dua poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012.

"Dalam indeks kami tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70 dibandingkan negara yang cenderung otoriter maka tingkat korupsinya rata-rata 26," kata Wawan. Artinya, ada persoalan persepsi soal demokrasi yang tergerus pada masa-masa belakangan ini.

Wawan menyebut, ada tiga data yang mendorong penurunan skor IPK Indonesia tersebut. Yang pertama, yaitu Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide. Data ini terkait korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis. Angkanya turun menjadi 35 dari 48 pada 2021.

Kasus terkait hal ini pada 2022 memang mencengangkan. Di tengah melonjaknya harga minyak goreng, terungkap ada kongkalikong soal pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO), yang tak sesuai ketentuan di Kementerian Perdagangan.

Lima tersangka ditangkap dalam kasus ini termasuk Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana. Negara diperkirakan rugi senilai total Rp 20 triliun dalam kasus suap ini.

Faktor selanjutnya yang memengaruhi IPK adalah IMD World Competitiveness Yearbook, yang merupakan suap dan korupsi dalam sistem politik. Faktor ini turun lima poin dari 44 menjadi 39. Selain itu, ada juga indeks Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide turun menjadi 29 dari 32.

Sementara tiga indeks yang stagnan adalah Global Insight Country Risk Ratings (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) pada angka 47.

Bertelsmann Foundation Transformation Index (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) pada skor 33 dan Economist Intelligence Unit Country Ratings (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap pada skor 37.

Selanjutnya, ada dua indeks yang naik, yaitu World Justice Project – Rule of Law Index (pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer menggunakan kewenangan untuk keuntungan pribadi) skornya naik satu menjadi 24 dari 23, dan Varieties of Democracy (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang memengaruhi kebijakan publik) naik dua poin menjadi 24 dari 22.

"Sayangnya, indeks yang naik satu atau dua poin berpengaruh tidak besar bandingkan dengan Political Risk Service yang turun 13 poin, sehingga turut menyumbang penurunan CPI dari 38 ke 34," kata Wawan.

"Saat ini jadi PR besar untuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, bagaimana menjaga PRS ini pada angka yang maksimal, sedangkan perubahan pada angka World Justice Project dan Varieties of Democracy juga tidak sedemikian rupa sehingga harus melakukan perubahan mendasar," kata Wawan.

Ia menyebut berdasarkan analisis TII, indikator ekonomi mengalami tantangan besar antara profesionalitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi.

"Negara berkembang mau pilih investor dari negara yang seperti apa? Apakah dari negara dengan standar antikorupsi tinggi atau yang penting pertumbuhan ekonomi jalan?" ujar Wawan.

Analisis lain adalah dari sisi indikator politik, tidak terjadi perubahan signifikan. Sebab, korupsi politik masih marak ditemukan.

"Jenis korupsi suap, gratifikasi hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik, dan pelaku usaha masih lazim terjadi. Pelaku usaha yang datang ke Indonesia bukan hanya memiliki risiko berbentuk untung rugi, tetapi juga risiko politik," kata Wawan.

Selanjutnya indikator penegakan hukum menunjukkan kebijakan antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi. "Masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum karena pada 2022, kita dipertontonkan begitu banyak korupsi di lembaga penegakan hukum," ujarnya.

Yang mengemuka tentunya kasus suap yang menjerat hakim agung di Mahkamah Agung, lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Sehubungan kasus yang terungkap pada pertengahan 2022 itu, KPK telah menetapkan 10 tersangka.

Pada akhirnya, penurunan IPK tersebut sedianya tak terlalu mengejutkan. "Sebenarnya itu tamparan yang harus dijawab dengan baik oleh kita semua," kata Peneliti Pusat Kajian Anti-korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar.

"Semua harus ditekan secara baik dari demkokrasi harus diperbaiki, penegakan hukum harus dikuatkan, perbaikan aparat penegak hukum pelayanan publik semua harus dikerjakan, karena di semua angka itu kan kita berantakan."

").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://platform.twitter.com/widgets.js' }).prependTo("head"); if ($(".instagram-media").length > 0) $("").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://www.tiktok.com/embed.js' }).prependTo("head"); $(document).on("click", ".ajaxContent", function(t) { var e; t.preventDefault(); Pace.restart(); var a = $(this).attr("href"); var b = $(this).attr("data-id"); $(".btn-selengkapnya-news").show(); $(".othersImage").addClass("hide"); $(this).hide(); $("." + b).removeClass("hide"); return e ? (Pace.stop(), document.getElementById("confirm_link").setAttribute("href", a), $("#modal_confirm").modal()) : ($("*").modal("hide"), void $.get(a, function(t) { $("#" + b).html(t.html); console.log("#" + b); }).done(function() { $(".collapse").fadeOut(); $("#" + b).fadeIn(); }).fail(function() { $("#modal_alert .modal-body").html(fail_alert), $("#modal_alert").appendTo("body").modal() })) }); $(".body-video").on('loadedmetadata', function() { if (this.videoWidth < this.videoHeight) this.height = 640; this.muted = true; //console.log(this.videoHeight); } ); window.onload = function() { var videos = document.getElementsByTagName("video"), fraction = 0.8; function checkScroll() { if (videos.length > 0) { for (var i = 0; i < videos.length; i++) { var video = videos[i]; var x = video.offsetLeft, y = video.offsetTop, w = video.offsetWidth, h = video.offsetHeight, r = x + w, b = y + h, visibleX, visibleY, visible; visibleX = Math.max(0, Math.min(w, window.pageXOffset + window.innerWidth - x, r - window.pageXOffset)); visibleY = Math.max(0, Math.min(h, window.pageYOffset + window.innerHeight - y, b - window.pageYOffset)); visible = visibleX * visibleY / (w * h); if (visible > fraction) { video.play(); } else { video.pause(); } } } } window.addEventListener('scroll', checkScroll, false); window.addEventListener('resize', checkScroll, false); }; // window.fbAsyncInit = function() { // FB.init({ // appId: '700754587648257', // xfbml: true, // version: 'v14.0' // }); // }; // (function(d, s, id) { // var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0]; // if (d.getElementById(id)) { // return; // } // js = d.createElement(s); // js.id = id; // js.src = "https://connect.facebook.net/en_US/sdk.js"; // fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs); // } // (document, 'script', 'facebook-jssdk')); // $(".share_it a,.share-open-fix li").on("click", function() { // url = window.location.href; // s = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.blog-post-actions").children("div.pull-left").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); // c = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.quote-text").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); // content = c + " - " + s; // if ($(this).children().hasClass("fa-facebook")) { // img = document.querySelector("meta[property='og:image']").getAttribute("content"); // FB.ui({ // method: 'share_open_graph', // action_type: 'og.shares', // action_properties: JSON.stringify({ // object: { // 'og:url': url, // 'og:title': "", // 'og:description': c, // 'og:og:image:width': '610', // 'og:image:height': '409', // 'og:image': img // } // }) // }); // console.log(img); // } else if ($(this).children().hasClass("fa-twitter")) { // window.open("https://twitter.com/intent/tweet?text=" + content + " " + url); // } else if ($(this).children().hasClass("fa-whatsapp")) { // window.open("https://api.whatsapp.com/send?utm_source=whatsapp&text=" + content + " " + url + "?utm_source=whatsapp"); // } // return false; // }); });

Sentimen: negatif (100%)