Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: PLN, BUMD
Event: Hari Pers Nasional
Institusi: Dewan Pers, IAIN
Kab/Kota: Surabaya, Malang, Magetan, Samarinda, Palembang
Kasus: Tipikor
Tokoh Terkait
Dahlan Iskan dan Tulisannya
Rmol.id Jenis Media: Nasional
Ini menunjukkan tulisan-tulisan Dahlan Iskan telah menarik publik. Dari sana, saya ingin mengetahui bagaimana hal itu terjadi. Bagaimana proses kreatif penulisannya serta serba- serbi yang melingkupinya. Lalu untuk bahan penulisan tersebut, sebagai wartawan, saya menghubungi DI, inisial namanya, dan mengajukan serangkaian pertanyaan.
Melihat jawaban-jawabannya yang menarik, saya akhirnya memutuskan tidak mengubah jawaban tersebut sebagai bahan tulisan saya, tetapi langsung saya tampilkan dalam bentuk tanya jawab, sehingga tidak ada “distorsi” dari saya.
Kendati saya dan DI sama-sama wartawan, kami tidak pernah bekerjasama dalam waktu yang panjang. Kami pernah intens berhubungan manakala membahas draf Kode Etik Jurnalisk (KEJ) yang sekarang sudah menjadi KEJ yang dipakai oleh Dewan Pers dan masyarakat pers. Dalam pembahasan tersebut, Dahlan Iskan termasuk anggota yang sangat aktif.
DI termasuk yang mendukung gagasan saya memasuki unsur “wartawan tidak boleh beritikad buruk” dalam KEJ sebagaimana yang yang terdapat dalam KEJ kiwari (saat ini). Saya pernah beberapa kali menjadi moderator dengan pembicara antara lain Dahlan Iskan. Selebihnya, kami sering berjumpa di berbagai acara, seperti di Hari Pers Nasional (HPN) dan lainnya.
Dahlan Iskan telah mengalami berbagai surut pasang dalam kehidupannya. Dia terlahir dari keluarga sangat sederhana. Busana yang dimilikinya kala kecil hanya beberapa. Bahkan orang tuanya tak ingat kapan dan tanggal berapa Dahlan Iskan dilahirkan. Supaya mudah diingat, lantas Dahlan memutuskan tanggal lahir 17 Agustus, tepat tanggal kemerdekaan Indonesia. Sedangkan tempat dan tahun kelahiran almamater IAIN Sunan Ampel Cabang Samarinda ini tetap sama dengan aslinya di: Magetan, Jawa Timur, tahun 1951.
Karier wartawannya dimulai dari jenjang paling bawah, koresponden majalah Tempo di daerah pendalaman. Karier kewartawanannya berkembang moncer. Dia menjadi CEO sekaligus salah satu pemegang saham Jawa Pos Group. Di bawah kepemimpinannya di berbagai daerah, lahir Graha Pena, gedung yang menjadi markas Jawa Pos. Produk penerbitan koran lokal Jawa Pos Group lebih dari 100 judul, dan sebagian punya percetakan sendiri. Seiring kemajuan teknologi informasi, kerajaaan Jawa Pos Group pun mulai surut.
DI juga pernah menjabat direktur utama PLN, bahkan diangkat menjabat Menteri BUMN. DI pernah menghadapi masalah hukum dan divonis 2 tahun penjara dan denda Rp. 100 juta, subsider 2 bulan kurungan, yang diputus majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya dalam kasus pelepasan aset BUMD Pemerintah Provinsi Jawa Timur, PT Panca Wira Usaha.
Kemudian di tingkat banding, DI divonis bebas karena dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana tersebut. Jaksa mengajukan kasasi yang akhirnya tahun 2019 ditolak oleh Mahkamah Agung.
DI sebenarnya punya visi ke depan. Sebelum mobil listrik trend seperti sekarang, DI sudah lebih dahulu memperkenalkan dan mencoba mobil listrik. Pengemar sepatu kats kala itu telah berkeyakinan tak lama lagi mobil listrik bakal menjadi kenyataan. Untuk itu DI pun merintis produk mobil listrik.
Bukannya penghargaan yang diperolehnya, justru Dahlan Iskan awal tahub 2017 ditetapkan sebagai tersangka karena kasus mobil listrik. Namun, kembali dia lolos dari lobang jarum jerat hukum baik karena memenangkan pra peradilan ataupun lagi-lagi pada peradilan tingkat atas dia dibebaskan.
Dalam masalah kesehatan, hatinya yang bermasalah sudah diganti dengan hati orang lain. Kisah operasi pergantian (transplantasi) hati di RRC sudah dia tulis dalam buku berjudul “Ganti Hati” yang diterbitkan tahun 2008.
DI kini memiliki beberapa usaha, antara pembangkit tenaga listeri dan lain-lain.
Berikut tanya jawab dengan Dahlan Iskan mengenai tulisan-tulisannya:
Setiap hari menulis di WA atau media sosial? Sejak kapan “tradisi” atau kebiasaan itu?
Jawab: Benar. Setiap hari saya menulis untuk diposting di Disway.Id. Sejak 9 Februari 2018. Sudah lima tahun. Itu saya mulai tepat di Hari Pers Nasional tahun itu. Tidak pernah absen. Tulisan itu diposting tiap jam 5 pagi. Mirip terbitnya koran pagi. Kenapa begitu? Karena saya ini orang koran. Ingin romantisme terbit setiap pagi itu tetap menjadi darah saya. Saya ingin mempertahankan bagaimana orang kangen membaca pada jam 5 pagi.
Masih ingatkah apa topik yang Anda tulis pertama kali sampai yang terakhir?
Jawab: saya lupa tentang apa tulisan pertama itu. Rasanya tentang mengapa saya bertekad menulis setiap hari, yakni untuk melatih dan membiasakan diri terikat pada komitmen. Punya komitmen kuat itu harus dibiasakan. Kalau orang tidak komit pada satu masalah biasanya mudah tidak komit pada apa saja.
Topik tulisan aneka ria. Biasanya tergantung pada isu apa yang lagi hangat. Kalau dunia lagi sepi saya isi soal pengalaman hidup. Tentu dikemas dengan hal-hal aktual. Kadang juga soal hasil renungan dan pemikiran. Saya memilih lebih ke jurnalistik untuk mempertahankan darah jurnalis saya.
Kapan, biasanya Anda menulis untuk WA atau media sosial ini? Maksudnya pada jam berapa? Apakah ada waktu-waktu teratur dengan disiplin ketat, atau dapat terjadi pada waktu kapan saja sesuai “panggilan” hasrat menulis?
Jawab: Jam menulis tidak tetap, tergantung kesibukan. Yang paling sering, hehe biasa, menjelang deadline. Saya menetapkan sendiri deadline saya: jam 21.00 setiap malam. Namun kadang siang hati sudah saya selesaikan. Terutama kalau sudah ada jadwal lain di malam hari.
Saya tidak pernah posting atau share tulisan di WA. Saya selalu posting di Disway.ld. Bahwa banyak yang beredar dari WA ke WA itu pembaca yang men-share tulisan saya.
Biasanya, berapa lama Anda menulis suatu tulisan? Apakah umumnya langsung selesai, atau ada juga yang, karena berbagai alasan, tidak langsung selesai, bahkan adakah yang sama lantas tidak jelas alur penulisan sehingg dibatalkan, atau tidak diposting?
Jawab: Yang paling cepat 20 menit. Yang paling lama 1 jam. Tergantung panjang pendek dan topik yang dibahas. Selebihnya di antara dua jangka waktu tersebut. Biasanya selalu sampai selesai. Selama lima tahun ini, mungkin hanya 2 atau 3 kali yang tertunda di tengah tulisan atau ganti topik.
Biasanya topik apa saja yang menarik atau menyentuh Anda sebagai bahan tulisan? Bagaimana “radar” Anda menjangkau topik-topik yang menyentuh itu? Atau mungkin terkadang ada hal yang luar biasa yang menarik perhatian Anda, di luar hal-hal yang biasa tadi? Apakah biasanya atau terkadang Anda sendjri mengganti topik tulisan? Bagaimana Anda memprioritas topik tulisan yang mau ditayangkan?
Jawab: Tentu saya berpegang pada news value. Sebagai wartawan saya terlatih dengan pengukuran news value. Nose of news itu saya jaga. Tentu juga memperhatikan variasi. Biar pun politik lagi panas tidak akan tiga hari berturut tentang politik. Tapi kalau yang lagi 'panas' itu soal human intereat pernah sampai enam hari berturut- turut. Misalnya soal Akidi Tio dengan sumbangan 2T-nya di Palembang itu. Kebetulan selama enam hari itu selalu dapat isyu yang sangat eksklusif.
Apakah Anda melakukan cek dan ricek untuk penulisan itu, terutama jika menyangkut aspek manusia? Apa umumnya respon dari nara sumbet yang Anda hubungi manakala melakukan cek dan ricek untuk keperluan penulisan?
Jawab: Saya mengutamakan cek dan ricek. Sebagai mantan wartawan di lapangan saya tidak canggung melakukan itu. Saya juga diuntungkan oleh back ground saya sebagai pengusaha, Dirut PLN dan Menteri BUMN. Telpon saya kepada sumber berita selalu diterima dengan baik. Mereka juga tahu dan percaya saya tidak akan asal hantam kromo dalam menulis.
Pernah adakah yang keberatan dengan subtansi tulisan Anda, atau keberatan Anda tulis, bahkan yang sampai mengirim somasi segala. Kalau ini terjadi, biasanya bagaimana solusinya?
Jawab: Yang keberatan ada. Misalnya sumber berita soal kerusuhan di Kanjuruhan di stadion sepakbola Malang itu. la keberatan justru karena saya dianggap terlalu menonjolkan kehebatannya. Tapi soal sampai somasi tidak pernah. Tulisan saya bukan tipe yang memberi peluang untuk disomasi.
Sepanjang yang Anda ketahui bagaimana reaksi orang yang membaca tulisan Anda, terutama dampak apa saja yang terjadi atas tulisan- tulisan yang Anda publikasikan/posting. Mungkin dapat diberikan contoh- contoh konkrit?
Jawab: Ada yang bilang biasa saja. Tapi lebih banyak yang menyukai. Tulisan saya dianggap punya warna sendiri. Kalimat pendek, lincah dan berwarna. Sering saya kuwalahan menjawab pertanyaan di mana alamat orang yang saya tulis.
Sudah berapa banyak tulisan semacam ini Anda hasilkan? Apakah bakalan “dibukukan” baik cetak atau mungkin cukup i-book saja?
Jawab: Saya sudah tidak ingat berapa jumlah tulisan saya selama ini. Mungkin mudah, tinggal dikalikan. 5 tahun kali 360 hari.
Pernah terbit satu buku kumpulan sebagian tulisan itu, judul buku, Orang-orang yang Menginspirasi. Tulisan yang khusus membahas prestasi orang-orang dalam kehidupan disatukan dalam satu buku. Sejak itu belum pernah ada lagi. Entah kapan-kapan.
Kalau ada yang mau mengendors (baca: membayar) Anda untuk topik tertentu, jika mungkin dengan arah tulisannya, ternasuk untuk produk-produk tertentu, apakah Anda bersedia ? Banyak yang menilai dalam dunia media sosial hal itu merupakan hal yang biasa. Anda senditi bagaimana menanggapinya?
Jawab: Saya tidak bersedia. Tulisan saya perih dari latar belakang komersial. Saya tidak begitu peduli apakah satu tulisan banyak yang membaca atau tidak. Tapi karena saya berpegang pada news value hampir semua topik banyak yang membaca.
Sebenarnya, apa yang ingin Anda capai dengan banyak menulis setiap hari? Setelah Anda selesai menulis pergelutan “perasaan”, apa yang ada pada Anda? Begitu juga manakala besoknya harus menulis lagi?
Jawab: Berlatih konsisten. Berlatih terikat pada komitmen. Menjaga otak agar tetap hidup.
Style atau gaya tulisan apa yang Anda pakai? Apakah ada penulis dunia atau Indoensia yang sangat mempengaruhi gaya Anda menulis?
Jawab: Pramudya Ananta Tour, Goenawan Mohamad, Mahbub Junaidi, adalah tiga penulis yang mempengaruhi saya. Tapi gaya Tempo lebih dominan. Mungkin karena saya dididik di Tempo dan bekerja lama di majalah itu.
Dahulu seorang penulis dapat banyak honor dari hasil tulisannya. Tapi kini segala karya tersebut dipublikasi dengan gratis. Tanggapan Anda? Dalam kontek tulisan ini apa anjuran Anda kepada para penulis, khususnya penulis muda?
Jawab: Kebetulan saya punya sumber penghasilan dari bisnis. Sama sekali tidak berharap penghasilan dari tulisan. Rasanya kini tidak bisa lagi menulis di media sebagai sumber penghasilan. Dulu begitu banyak mahasiswa yang membiayai hidup dan kuliah dari menulis di media. Tidak mungkin lagi yang seperti itu terulang.
Penulis adalah wartawan senior
Sentimen: positif (99.2%)