Sentimen
Negatif (100%)
3 Feb 2023 : 10.37
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Solo

Kasus: korupsi

Indonesia Bisa Belajar dari Singapura, Punya Budaya Menghukum Berat Koruptor

3 Feb 2023 : 10.37 Views 3

Solopos.com Solopos.com Jenis Media: News

Indonesia Bisa Belajar dari Singapura, Punya Budaya Menghukum Berat Koruptor

SOLOPOS.COM - Ilustrasi korupsi (Solopos-Whisnupaksa Kridhangkara)

Solopos.com, JAKARTA—Singapura menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia yang masuk daftar 10 besar skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions Index (CPI) pada 2022. Negeri Singa mampu menorehkan skor IPK 83/100 sehingga berada di urutan empat.

Dalam lingkup Asia Tenggara (ASEAN), skor IPK Singapura tercatat paling tinggi. Perinciannya yakni Singapura (skor 83), Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42), Thailand (36), Indonesia (34), Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24), dan Myanmar (23).

PromosiPromo Menarik, Nginep di Loa Living Solo Baru Bisa Nonton Netflix Sepuasmu!

Dilansir dari laman resmi Biro Investigasi Praktik Korupsi (The Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB) Singapura, praktik korupsi berhasil ditekan secara konsisten selama bertahun-tahun.

Hal itu tidak mengherankan mengingat CPIB adalah lembaga antikorupsi tertua di dunia yang didirikan pada 1952 oleh pemerintah kolonial Inggris.

Pemerintah Singapura mengklaim determinasi politik, hukuman berat untuk pelanggaran korupsi, dan budaya tanpa toleransi terhadap korupsi adalah tiga faktor terpenting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Bagi pemerintah Singapura, korupsi adalah pelanggaran yang serius. Koruptor di Singapura akan didenda maksimal 100.000 dolar SGD dan/atau penjara maksimal lima tahun untuk setiap kasusnya.

Sementara, jika korupsi dilakukan dalam kaitannya dengan kontrak atau proyek pemerintah hukumannya adalah denda minimal 100.000 dolar SGD dan/atau penjara maksimal tujuh tahun untuk setiap kasusnya.

 

IPK Indonesia 2022

Pada sisi lain, Indonesia memiliki skor IPK 34/100 atau turun empat poin dari tahun sebelumnya yang saat itu tercatat 38/100. Posisi Indonesia pada 2022 bercokol di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei oleh Transparency International.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan anjloknya IPK Indonesia pada 2022 perlu menjadi perhatian bersama. “Iya, itu akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama,” katanya dikutip melalui Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (2/2/2023).

Transparency International Indonesia (TII) mencatat ada tiga indikator sumber data yang memicu penurunan skor tersebut. Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Suyatmiko mengatakan terdapat tiga indikator sumber data yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, tiga sumber mengalami stagnasi, dan dua sumber data mengalami kenaikan.

“Dari delapan indeks, ada tiga sumber data indikator yang mengalami penurunan, tiga sumber data stagnasi, dan dua sumber data yang mengalami kenaikan,” jelasnya pada peluncuran IPK/CPI 2022 di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa.

Secara rinci, tiga indikator sumber data yang mengalami penurunan yakni Political Risk Service (PRS) sebesar 13 poin. Indikator tersebut menyoroti korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran ekstra/suap untuk izin ekspor maupun impor.

Kemudian, IMD World Competitiveness Yearbook turun lima poin. Indikator komposit itu menyoroti ada dan tidaknya korupsi dalam sebuah sistem politik.

Lalu Political dan Economic Risk Consultancy (PERC) turun tiga poin, yang menyoroti soal seberapa parah korupsi di negara tempat beroperasi. “PR besar pemerintah, lembaga politik, jurnalis, pelaku usaha, bagaimana menjaga Political Risks Service [PRS] di angka maksimal sedangkan World Justice Project di-maintain sedemikian rupa untuk perubahan besar,” terang Wawan.

Selanjutnya, tiga sumber data yang mengalami stagnan yakni Global Insight Country Risk Ratings (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) pada angka 47, Bertelsmann Foundation Transformation Index (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) pada skor 33, dan Economist Intelligence Unit Country Ratings (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap pada skor 37.

Selanjutnya ada dua sumber data yang naik, yaitu World Justice Project–Rule of Law Index (pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi) skornya naik satu menjadi 24 dari 23 dan Varieties of Democracy (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang memengaruhi kebijakan publik) naik dua poin menjadi 24 dari 22.

“Sayangnya indeks yang naik 1-2 poin berpengaruh tidak besar, bandingkan dengan Political Risk Service yang turun 13 poin sehingga turut menyumbang penurunan CPI dari 38 ke 34. Saat ini jadi PR besar untuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, bagaimana menjaga PRS ini pada angka yang maksimal, sedangkan perubahan pada angka World Justice Project dan Varieties of Democracy juga tidak sedemikian rupa sehingga harus melakukan perubahan mendasar,” tambah Wawan.

 

Korupsi Lazim Terjadi

Ia menyebut berdasarkan analisis TII, indikator ekonomi mengalami tantangan besar antara profesionalitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi.

“Negara berkembang mau pilih investor dari negara yang seperti apa? Apakah dari negara dengan standar antikorupsi tinggi atau yang penting pertumbuhan ekonomi jalan?” ungkap Wawan.

Analisis lain adalah dari sisi indikator politik, tidak terjadi perubahan signifikan karena korupsi politik masih marak ditemukan.

“Jenis korupsi suap, gratifikasi, hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik, dan pelaku usaha masih lazim terjadi. Pelaku usaha yang datang ke Indonesia bukan hanya memiliki risiko berbentuk untung rugi, tapi juga risiko politik,” tambah Wawan.

Selanjutnya indikator penegakan hukum menunjukkan kebijakan antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi.

“Masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum karena pada 2022 kita dipertontonkan begitu banyak korupsi di lembaga penegakan hukum,” imbuh Wawan.

Berdasarkan catatan Bisnis.com, tren CPI Indonesia mengalami naik-turun setidaknya selama periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Pada 2021, skor CPI sebesar 38/100 atau naik tipis dari 2020 yakni 37/100. Sementara, pada 2019 tren CPI sempat naik menjadi 40/100.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada periode pimpinan Agus Rahardjo, bahkan sempat menargetkan bisa menaikkan skor indeks ke 50/100.

Menanggapi hasil CPI 2022, KPK mengatakan skor indeks itu mentok di angka 40 dan tidak pernah naik. Hal itu terus terjadi selama KPK berdiri.

Menurut Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, terobosan diperlukan untuk bisa meningkatkan skor CPI Indonesia.

“Kalau buat saya, apa yang harus dikomentari yang kita bilang ini adalah buah dari kita yang nyaman dengan kondisi sekarang tanpa terobosan,” ucapnya di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Selasa.

Secara global, lima negara dengan Indeks Persepsi Korupsi tertinggi yakni Denmark (90), Finlandia (87), Norwegia (84), Singapura (83), dan Swiss (82). Sementara itu, lima negara dengan Indeks Persepsi Korupsi terendah yakni Somalia (12), Syria dan Sudan Selatan (13), Venezuela (14), dan Yaman (16).

Baca Juga

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Skor Indeks Persepsinya Tembus 83, Begini Cara Singapura Berantas Korupsi

Sentimen: negatif (100%)