Sentimen
Negatif (100%)
2 Feb 2023 : 21.09
Informasi Tambahan

BUMN: BTN

Institusi: UGM

Kasus: Tipikor, korupsi

Titik Terendah Indeks Persepsi Korupsi Indonesia

3 Feb 2023 : 04.09 Views 2

Republika.co.id Republika.co.id Jenis Media: Nasional

Titik Terendah Indeks Persepsi Korupsi Indonesia

JAKARTA – Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 merosot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021. IPK ini menjadi titik terendah sejak 2015. Perolehan ini juga membuat posisi Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei atau melorot 14 tangga dari tahun 2021 yang mencapai ranking 96.

Transparency International Indonesia (TII) merilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori. Adapun skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

“CPI (corruption perception index) Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995,” kata Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (31/1).

Dengan hasil tersebut, Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak dua poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012. Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 83), diikuti Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42), Thailand (36), Indonesia (34), Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24), dan Myanmar (23).

Sementara di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, diikuti Finlandia dan Selandia Baru (87), Norwegia (84), Singapura dan Swedia (83), serta Swiss (82). Sementara posisi terendah ada Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan (13), serta Venezuela (14).

“Dalam indeks kami tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70 dibandingkan negara yang cenderung otoriter, tingkat korupsinya rata-rata 26,” ujar Wawan.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pun mengaku terpukul dengan hasil tersebut. Padahal, Mahfud mengatakan, skor IPK Indonesia biasanya mengalami peningkatan secara perlahan setiap tahunnya. Bahkan, nilainya pernah mencapai angka 39. “Terus kemarin tiba-tiba (skor IPK Indonesia 2022) turun menjadi 34. Ya terpukul,” ujarnya.

Meski demikian, Mahfud mengeklaim sudah memprediksi hal ini. Sebab, menurutnya, operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pelaku tindak pidana korupsi pun cukup banyak dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2022.

“Kan OTT itu banyak sekali kemarin, korupsi di mana-mana terjadi. Saya sudah menduga ini akan naik, apa namanya, kemarahan publik naik, persepsinya juga akan jelek,” ujar dia.

“Ini kan soal persepsi saja. Bukan soal mungkin korupsinya makin banyak atau enggak, melainkan persepsi itu semakin buruk,” katanya menjelaskan.

Peneliti Pusat Kajian Anti-korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai kemelorotan IPK Indonesia pada 2022 adalah ketidakbecusan semua pihak, dari eksekutif, legislatif, hingga penegak hukum. “Poin kita memang sedang buruk, saya kira itu disebabkan karena ketidakbecusan negara secara keseluruhan, kita bicara soal pemerintah, DPR, Mahkamah Agung, dan lembaga-lemabaga negara, termasuk KPK,” kata Zainal.

Menurut Zainal, penurunan CPI Indonesia ada di hampir semua bidang. Seperti ekonomi, demokrasi, aturan hukum dan penegakannya. “Artinya, di bagian-bagian itu semisal ekonomi, demokrasi, rule of law, perbaikan penegakan hukum itu buruknya semuanya menurun hanya ada beberapa yang naik dan itu beberapa poin saja,” ujar dia.

Zainal mengatakan, tidak ada langkah pragmatis untuk membasmi tingkat korupsi di Indonesia yang menjadi negara ke 110 dari 180 CPI dunia. “Semua harus ditekan secara baik dari demokrasi harus diperbaiki, penegakan hukum harus dikuatkan, perbaikan aparat penegak hukum, pelayanan publik semua harus dikerjakan, karena di semua angka itu kan kita berantakan. Perlu kerja bersama juga khususnya KPK,” ujar dia.

Eks pegawai KPK yang tergabung dalam Indonesia Memanggil (IM)57+ Institute mengkhawatirkan IPK Indonesia. Skor yang baru saja diterbitkan TII itu menunjukkan semakin suramnya kinerja pemberantasan korupsi di Tanah Air. IM57+ Institute menuding skor IPK Indonesia terpuruk karena Presiden Joko Widodo melakukan kerja pelemahan pemberantasan korupsi.

“Ini mencerminkan terpuruknya performa kinerja pemberantasan korupsi hampir di semua aspek, termasuk competitiveness yang selalu digadang-gadang dalam sektor investasi,” kata Ketua IM57+ Institute, Praswad Nugraha.

IM57+ Institute mengamati Presiden Jokowi terus mengeluarkan paket kebijakan yang memukul mundur kinerja pemberantasan korupsi. Di antaranya pemberlakuan revisi UU KPK, tidak terungkapnya pelaku intelektual penyerangan Novel Baswedan, serta pemberhentian pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

 

Poin kita memang sedang buruk, saya kira itu disebabkan karena ketidakbecusan negara secara keseluruhan.

“Ini disusul semakin menurunnya kualitas kasus yang ditangani KPK adalah contoh nyata proses pelemahan tersebut. Diperburuk lagi, tontonan drama klasik dinasti politik semakin membabi buta telah bisa dilihat oleh publik secara kasat mata tanpa malu-malu lagi,” ujar Praswad.

KPK merespons IPK di Tanah Air yang anjlok signifikan. KPK mendorong penguatan komitmen dan terobosan dalam pemberantasan korupsi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

“Hasil ini menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dicarikan solusi jika tidak ingin keadaannya semakin buruk. Kita harus melakukan terobosan antarseluruh pemangku kepentingan baik di pusat maupun daerah,” kata Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan.

").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://platform.twitter.com/widgets.js' }).prependTo("head"); if ($(".instagram-media").length > 0) $("").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://www.tiktok.com/embed.js' }).prependTo("head"); $(document).on("click", ".ajaxContent", function(t) { var e; t.preventDefault(); Pace.restart(); var a = $(this).attr("href"); var b = $(this).attr("data-id"); $(".btn-selengkapnya-news").show(); $(".othersImage").addClass("hide"); $(this).hide(); $("." + b).removeClass("hide"); return e ? (Pace.stop(), document.getElementById("confirm_link").setAttribute("href", a), $("#modal_confirm").modal()) : ($("*").modal("hide"), void $.get(a, function(t) { $("#" + b).html(t.html); console.log("#" + b); }).done(function() { $(".collapse").fadeOut(); $("#" + b).fadeIn(); }).fail(function() { $("#modal_alert .modal-body").html(fail_alert), $("#modal_alert").appendTo("body").modal() })) }); $(".body-video").on('loadedmetadata', function() { if (this.videoWidth < this.videoHeight) this.height = 640; this.muted = true; //console.log(this.videoHeight); } ); window.onload = function() { var videos = document.getElementsByTagName("video"), fraction = 0.8; function checkScroll() { if (videos.length > 0) { for (var i = 0; i < videos.length; i++) { var video = videos[i]; var x = video.offsetLeft, y = video.offsetTop, w = video.offsetWidth, h = video.offsetHeight, r = x + w, b = y + h, visibleX, visibleY, visible; visibleX = Math.max(0, Math.min(w, window.pageXOffset + window.innerWidth - x, r - window.pageXOffset)); visibleY = Math.max(0, Math.min(h, window.pageYOffset + window.innerHeight - y, b - window.pageYOffset)); visible = visibleX * visibleY / (w * h); if (visible > fraction) { video.play(); } else { video.pause(); } } } } window.addEventListener('scroll', checkScroll, false); window.addEventListener('resize', checkScroll, false); }; // window.fbAsyncInit = function() { // FB.init({ // appId: '700754587648257', // xfbml: true, // version: 'v14.0' // }); // }; // (function(d, s, id) { // var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0]; // if (d.getElementById(id)) { // return; // } // js = d.createElement(s); // js.id = id; // js.src = "https://connect.facebook.net/en_US/sdk.js"; // fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs); // } // (document, 'script', 'facebook-jssdk')); // $(".share_it a,.share-open-fix li").on("click", function() { // url = window.location.href; // s = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.blog-post-actions").children("div.pull-left").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); // c = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.quote-text").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); // content = c + " - " + s; // if ($(this).children().hasClass("fa-facebook")) { // img = document.querySelector("meta[property='og:image']").getAttribute("content"); // FB.ui({ // method: 'share_open_graph', // action_type: 'og.shares', // action_properties: JSON.stringify({ // object: { // 'og:url': url, // 'og:title': "", // 'og:description': c, // 'og:og:image:width': '610', // 'og:image:height': '409', // 'og:image': img // } // }) // }); // console.log(img); // } else if ($(this).children().hasClass("fa-twitter")) { // window.open("https://twitter.com/intent/tweet?text=" + content + " " + url); // } else if ($(this).children().hasClass("fa-whatsapp")) { // window.open("https://api.whatsapp.com/send?utm_source=whatsapp&text=" + content + " " + url + "?utm_source=whatsapp"); // } // return false; // }); });

Sentimen: negatif (100%)