Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam, Katolik, Hindu
Grup Musik: APRIL
Institusi: MUI
Tokoh Terkait
50 Rumah Ibadah Diganggu Sepanjang Tahun 2022 Jawa Timur Paling Intoleran
Tagar.id Jenis Media: Nasional
TAGAR.id, Jakarta – Sedikitnya 50 rumah ibadah diganggu sepanjang tahun 2022, demikian petikan temuan Setara Institute for Peace and Democracy dalam laporan yang dirilis hari Selasa, 31 Januari 2023. Fathiyah Wardah melaporkannya untuk VOA.
Setara Institute for Democracy and Peace pada Selasa, 31 Januari 2023, meluncurkan laporan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada 2022. Laporan itu menunjukkan empat tren pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi sepanjang tahun 2022.
Peneliti Setara Institute, Syera Anggreini Buntara mengatakan tren pertama adalah terus naiknya kasus gangguan terhadap tempat ibadah. Ini sangat signifikan, dari 16 kasus di tahun 2017 menjadi 50 kasus di tahun 2022. “Artinya ada 50 tempat ibadah di tahun 2022 yang mengalami gangguan,” ujar Syera.
Setara Institute mendefinisikan gangguan terhadap rumah ibadah sebagai tindakan menolak pendirian rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, pembongkaran rumah ibadah, dan perusakan fasilitas di rumah ibadah.
Dari 50 rumah ibadah yang mengalami gangguan tahun lalu, paling banyak adalah gereja Protestan dan Katolik (21 unit), masjid (16), wihara (6), musala (4), pura (2), dan rumah ibadah penghayat (1).
Tren kedua adalah jumlah kasus penolakan ceramah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Tahun-tahun sebelumnya hanya satu peristiwa sedangkan pada 2022 terjadi 14 peristiwa. Dari 14 kasus, delapan peristiwa terjadi di Jawa Timur.
Tren ketiga yakni jumlah kasus penodaan agama juga naik dari 10 kasus pada 2021 menjadi 19 kasus tahun lalu.
Tren keempat adalah mengenai provinsi yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan paling banyak, yaitu Jawa Timur (34 peristiwa), Jawa Barat (25), DKI Jakarta (24), Banten (11), Jawa Tengah (10), Sumatera Utara (10), Aceh (7), Kalimantan barat (7), Nusa Tenggara Barat (6), dan Riau (5).
Ilustrasi - Seseorang memegang bunga di Gereja Katedral saat perayaan Paskah di Makassar, Sulawesi Selatan, 4 April 2021. (Foto: voaindonesia.com/Antara/Abriawan Abhe via Reuters).
Siapa Pelaku Pelanggaran Kebebasan Beragama?
Menurut Syera, sepanjang tahun lalu secara keseluruhan terdapat 175 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dengan 333 tindakan. Angka ini berbeda tipis dengan temuan peristiwa pada 2021, yakni 171 peristiwa KBB dengan 318 tindakan.
Dari 333 tindakan pelanggaran tersebut, 168 dilakukan oleh aktor negara, paling banyak diperbuat oleh pemerintah daerah (47 tindakan), kepolisian (23 tindakan), Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol-PP (17 tindakan), institusi pendidikan negeri (14 tindakan), dan Forkopimda (7 tindakan).
Sedangkan 165 pelanggaran lainnya dilakoni oleh aktor non-negara, paling banyak dilakukan oleh warga (94 tindakan), individu (30 tindakan), ormas keagamaan (16 tindakan), Majelis Ulama Indonesia (16 tindakan), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (10 tindakan).
Bentuk Tindakan Pelanggaran
Syera menambahkan lima pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terbanyak yang dilakukan oleh aktor negara, yakni tindakan diskriminasi (40 tindakan), kebijakan diskriminatif (25 tindakan), pelarangan usaha (18 tindakan), penolakan tempat ibadah (13 tindakan), dan menjadikan tersangka penodaan agama (10 tindakan).
Sedangkan pelanggaran paling banyak dilakukan oleh aktor non-negara adalah penolakan pendirian tempat ibadah (38 tindakan), intoleransi (37 tindakan), pelaporan penodaan agama (17 tindakan), larangan ibadah (15 tindakan), penolakan ceramah (14 tindakan), dan perusakan tempat ibadah (7 tindakan).
Siapa Korbannya?
Korban terbanyak dari pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah individu (41 peristiwa), warga (34 peristiwa), penganut Protestan (30 peristiwa), pengusaha (19 peristiw), umat islam (14 peristiwa), pelajar (13 peristia), umat Buddha (7 peristiwa), Jamaah Ahmadiyah (6 peristiwa), penganut aliran penghayat (6 peristiwa), Syiah (3 peristiwa), Hindu (3 peristiwa), dan pemeluk Katolik (3 peristiwa).
Ilustrasi - Seorang pria mengendarai motor di luar sebuah gereja di Jakarta, 5 April 2020. (Foto: voaindonesia.com/Willy Kurniawan/Reuters)
Jawa Timur Gantikan Jawa Barat Sebagai Provinsi Paling Intoleran
Pada jumpa pers tersebut, Wakil Ketua Dewan nasional Setara Institute Bonar Tigor Naipospos membuat disclaimer bahwa data dan laporan mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dikumpulkan Setara Institute sejak 2007 belum tentu mewakili data yang sesungguhnya. Dia menyebutkan mungkin data Setara memiliki tingkat kesalahan sampai 10 persen.
Dia menambahkan sejak 2007 data yang dikumpulkan Setara Institute menunjukkan jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selalu di atas 150 peristiwa setiap tahun.
Menurut Tigor, sejak 2007 Jawa Barat selalu menempati peringkat pertama sebagai provinsi di mana paling banyak terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, namun tahun ini posisinya digantikan oleh Jawa Timur.
Dia berharap pemerintah bisa mempermudah pendirian rumah ibadah, jangan diperberat dengan syarat-syarat yang birokratis.
"Harus ada upaya-upaya untuk mempermudah pendirian rumah ibadah, pemberian izin yang memang sesuai dengan kebutuhan. Kita mendesak supaya ini juga menjadi perhatian dari pemerintah," ujar Tigor.
Pemerintah Diserukan Perkuat Toleransi Secara Substantif
Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Marwan Dasopang mengatakan pihaknya telah mendorong pemerintah untuk melakukan beberapa kegiatan untuk mencegah terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Program untuk memperkuat rasa persaudaraan, rasa toleransi, misalnya lewat dialog, kebersamaan dalam hal kegiatan-kegiatan juga sangat diperlukan. Marwan mengkritik selama ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah yang lebih banyak simbol-simbol ketimbang substansi.
"Kita prihatinlah dengan perkembangan itu padahal kita sudah menggembar gemborkan bahwa kita adalah masyarakat toleran dari sisi kesejarahan, dari perkembangan masyarakat kita, tapi kok sekarang semakin meningkat (peristiwa pelanggaran kebebasan beragama). Bahkan saling menyakiti, saling meniadakan," ujar Marwan.
Marwan mengakui surat keputusan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri akhirnya menjadi penghambat karena rumit untuk melaksanakan instruksi tersebut. Mestinya pendekatannya itu adalah membangun kebersamaan tapi malah dijadikan sepihak sebagai tameng untuk menolak pendirian rumah ibadah karena dianggap mengganggu. (fw/em)/voaindonesia.com. []
Sentimen: positif (66.7%)