Sentimen
Positif (78%)
1 Feb 2023 : 08.46
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Institusi: UGM

Prof Nindyo Menyebut Perppu Cipta Kerja Jadi Diskresi Presiden

1 Feb 2023 : 08.46 Views 3

Jawapos.com Jawapos.com Jenis Media: Nasional

Prof Nindyo Menyebut Perppu Cipta Kerja Jadi Diskresi Presiden

JawaPos.com – Pakar hukum bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Nindyo Pramono menyebut Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan diskresi Presiden. Katanya, hal itu merupakan upaya mencegah Indonesia agar tidak masuk ke dalam situasi stagflasi atau krisis.

Oleh sebab itu, menurut Nindyo, tindakan antisipatif dengan Perppu Cipta Kerja merupakan tindakan yang tepat. Jadi, tidak menunggu sampai terjadi krisis, baru mencari jalan keluarnya. “Saya yakin, jika kita mau berpikir arif dan bijaksana, tentu tak ada satupun yang menghendaki peristiwa 1997-1998 terulang kembali,” imbuhnya.

Nindyo mencatat, beberapa Perppu sebelumnya juga sama sekali tak menjelaskan soal kegentingan memaksa. Pertama, Perppu Nomor 1/1998 tentang Perubahan UU tentang Kepailitan. Perppu ini lahir di tengah krisis pada 1997/1998. Terkait persoalan ‘kegentingan memaksa’ saat itu sangat bernuansa pertimbangan ekonomi.

“Ketika itu Pemerintah menghabiskan dana talangan Rp 600 triliun, tak pernah mengatakan tegas bahwa negara dalam keadaan darurat,” jelas Nindyo.

Kedua, Perppu No 1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas juga tak menyebut adanya kegentingan memaksa. Ketiga, Perppu No 1/2004 tentang Perubahan UU No 41/1999. Tak ada satu pun kalimat yang menyatakan adanya kegentingan memaksa sehingga keluar Perppu itu.

Keempat, Perppu No 1/2014 yang membatalkan UU No 22/2014 tentang Pilkada. Juga tak menjelaskan adanya kegentingan memaksa. Alasan yang dipakai, UU No 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur mekanisme pilkada secara tak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan luas dari rakyat.

Nindyo mengatakan, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dinilai penting bagi kepentingan iklim investasi yang selama ini selalu tertinggal dari negara-negara ASEAN. Seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam.

Hal itu disebabkan karena berbelit-belitnya prosedur perizinan di Indonesia. “Secara obyektif, birokrasi perizinan menjadi salah satu hambatan untuk meningkatkan investasi melalui kemudahan berusaha,” kata Nindyo.

Nindyo mengatakan, investor kerap menuntut beberapa fasilitas. Pertama, peraturan perundang-undangan yang konsisten dan menjamin kepastian hukum dalam jangka panjang. Kedua, prosedur perizinan yang tidak berbelit-belit karena mengakibatkan biaya tinggi.

“Ketiga, jaminan terhadap investasi serta proteksi hukum hak kekayaan intelektual (HKI). Terakhir, terkait sarana dan prasarana yang menunjang. Seperti komunikasi, transportasi, perbankan, dan asuransi,” pungkas Nindyo.

Sentimen: positif (78%)