Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Solo
Koalisi 8 Parpol untuk Melawan PDIP Sulit Terealisasi, Butuh Pengorbanan Besar
Solopos.com Jenis Media: News
SOLOPOS.COM - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kedua kiri) dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (kedua kanan) melambaikan tangan seusai membuka Sekretariat Bersama (Sekber) Partai Gerindra-PKB di Jakarta, Senin (23/1/2023). Pembukaan Sekber tersebut untuk mempererat koalisi kedua partai dalam upaya pemenangan Pemilu 2024. (Antara/Reno Esnir)
Solopos.com, JAKARTA–Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiarti menilai koalisi besar delapan partai politik (parpol) parlemen tanpa PDI Perjuangan (PDIP) sulit terealisasi.
“Saya kira ide membentuk koalisi delapan partai versus PDIP akan sulit terjadi dalam konteks politik saat ini, meski belum tentu tidak mungkin terjadi,” ujar Aisah kepada Bisnis.com, Jumat (27/1/2023).
PromosiPromo Menarik, Nginep di Loa Living Solo Baru Bisa Nonton Netflix Sepuasmu!
Sebelumnya, muncul ide membentuk koalisi delapan partai politik (parpol) penolak sistem pemilu proporsional tertutup. Sebagai informasi, hanya PDIP parpol parlemen yang mendukung penerapan sistem proporsional tertutup.
Dia menjelaskan saat ini para parpol masih ingin para kader terbaiknya menjadi calon presiden (capres) atau wakil presiden (cawapres) dalam Pilpres 2024, termasuk kedelapan parpol itu.
“Belum dideklarasikannya kandidat oleh partai-partai meski beberapa koalisi sudah terbentuk menunjukan bahwa setiap partai masih mencari peluang untuk menempatkan calonnya masing-masing,” jelasnya.
Selain itu, berdasarkan hasil survei saat ini, Aisah menilai tidak ada satu nama capres atau cawapres yang secara elektabilitas sangat menonjol untuk menarik perhatian delapan parpol itu.
Oleh sebab itu, pembentukan koalisi besar untuk meninggalkan PDIP pada saat ini tidak akan terlalu dianggap mendesak. Apalagi, lanjutnya, dengan biaya merelakan kader internalnya tak jadi dicalonkan jadi capres atau cawapres.
Dia mencontohkan Nasdem sudah terlebih dahulu mengusung Anies Baswedan menjadi capres. Lalu, Gerindra punya Prabowo Subianto dan Golkar memiliki Airlangga Hartarto. Belum lagi Demokrat dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Apakah Golkar dan Gerindra mau melepaskan kandidatnya itu? Apakah Nasdem mau merevisi keputusannya setelah menempuh berbagai langkah politik dalam beberapa bulan belakang? Apakah Demokrat mau merevisi keputusannya yang baru saja dibuat dan melepaskan peluang AHY diusung menjadi cawapres? Saya kira sulit membuat keputusan itu,” ungkap Aisah.
Pada sisi lain, dalam politik tidak ada yang mungkin. Politik, lanjutnya, sangat dinamis terutama masih ada waktu sebelum pendaftaran capres-cawapres pada Oktober 2023.
“Tidak ada yang pasti dalam politik, apalagi saat lobi politik seperti saat ini masih berlangsung,” ulas Aisah.
Sebelumnya, Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengungkapkan ada ide membentuk koalisi besar yang terdiri atas delapan partai politik (parpol) parlemen, tanpa PDI Perjuangan (PDIP).
Dasco menjelaskan delapan parpol yang dimaksud merupakan yang kompak menolak penerapan sistem pemilu proporsional tertutup. Mereka meliputi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
“Ini kan masalah berkaitan dengan proporsional terbuka dan tertutup kan. Ada delapan partai yang menginginkan proporsional terbuka. Lalu kemudian ada ide tadi, bagaimana kalau delapan ini membentuk suatu koalisi permanen bersama di dalam menghadapi pileg [pemilu legislatif] dan pilpres [pemilihan presiden],” ujar Dasco saat ditemui di Sekber Gerindra-PKB, Jakarta Pusat, Kamis (26/1/2023).
Dia melanjutkan ide tersebut muncul dalam pertemuan antara elite Gerindra, PKB, dan Nasdem di Sekretariat Bersama (Sekber) Gerindra-PKB pada Kamis. Dasco merasa tak ada yang salah dengan ide tersebut. Bahkan, dia mengharapkan koalisi besar delapan parpol parlemen itu dapat terwujud.
“Itu menurut saya kan sah-sah saja, sepanjang dari delapan partai ini kan mau semua kan begitu. Kita berdoa, mudah-mudahan,” ujar Wakil Ketua DPR itu.
Dasco berpendapat dalam politik banyak yang tak terduga bisa terjadi karena politik sangat dinamis. “Bahwa kemudian nanti terjadi hal yang di luar direncanakan, ya itu namanya politik,” jelasnya.
Sidang Pleno MK
Delapan parpol itu mewakili suara mayoritas Fraksi DPR dan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kompak menolak penerapan sistem pemilu proporsional tertutup dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK) perkara No. 114/PUU-XX/2022 pada Kamis (26/1/2023).
Dalam perkara itu, para pemohon yang terdiri atas enam orang yang salah satunya kader PDIP meminta sistem pemilu yang awalnya proporsional terbuka diganti menjadi proporsional tertutup. Dalam pembacaan keterangan DPR, anggota Komisi III Supriansa menjelaskan para pemohon perkara tak memiliki legal standing dan tidak memenuhi persyaratak kerugian konstitusional.
Terkait sistem pemilunya, Supriansa menekankan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengharuskan pentingnya keterwakilan rakyat. Oleh sebab itu, sistem pemilu proporsional terbuka sesuai dengan amanat konstitusi.
“Sistem proporsional terbuka memiliki derajat keterwakilan yang baik, karena pemilih bebas memilih wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif secara langsung dan dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya,” ujar Supriansa saat memberikan pandangan DPR.
Sementara itu, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar menyampaikan pandangan serupa. Dia mengutip Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menekankan kedaulatan berada di tangan rakyat.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka saat ini merupakan hasil musyawarah yang memperhatikan kondisi objektif proses transisi masyarakat ke demokrasi. Dengan sistem terbuka, pemerintah menganggap akan ada penguatan sistem kepartaian, budaya politik, perilaku pemilih, hak kebebasan berpendapat, kemajemukan ideologi, kepentingan, dan aspirasi politik masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.
Di samping itu, Bahtiar menekankan saat ini penyelenggaraan pemilu sudah berjalan. Jika sistem pemilu digantikan maka hanya akan menimbulkan masalah baru.
“Perubahan yang bersifat mendasar terhadap sistem pemilihan umum di tengah proses tahapan pemilu yang tengah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik, baik di partai maupun masyarakat,” jelas Bahtiar saat memberikan pandangan pemerintah.
Nantinya, MK akan melanjutkan perkara sistem pemilu ini akan dengan menggelar sidang pleno untuk mendengarkan pendapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pihak terkait lain yang mengajukan diri.
Beda Sistem Proporsional Tertutup dan Terbuka
Sebagai informasi, dalam sistem pemilu proporsional tertutup masyarakat tak memilih wakil rakyat di DPR dan DPRD. Lewat pemilu sistem ini, pemilih hanya mencoblos partai politik (parpol). Selanjutnya parpol menentukan kader yang akan duduk di kursi DPR dan DPRD.
Sebaliknya, sistem pemilu proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang dipraktikkan dalam tiga pemilu belakangan. Lewat sistem ini masyarakat dapat mencoblos langsung wakil rakyat yang dirasa dapat mewakili mereka baik di DPR maupun DPRD.
Wacana perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi sistem pemilu proporsional tertutup atau pemilu coblos partai menimbulkan polemik dalam kancah politik nasional menjelang Pemilu 2024.
Delapan dari sembilan parpol yang memiliki kursi di DPR atau parpol parlemen menolak penerapan sistem pemilu coblos partai seperti dahulu. Mereka menilai penerapan sistem pemilu proporsional tertutup adalah kemunduran demokrasi.
Hanya PDIP yang getol memperjuangkan penerapan sistem pemilu coblos partai pada Pemilu 2024 mendatang.
Polemik ini mengemuka setelah ada sejumlah orang, termasuk kader PDIP, yang mengajukan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) Undang-undang (UU) No. 7/2017 tentang Pemilu yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara uji materi itu teregister dengan No. 114/PUU-XX/2022 tentang Sistem Pemilu
Pasal yang diuji materi itu menyebut Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Pengamat: Koalisi Besar 8 Parpol vs PDIP Sulit Terealisasi
Sentimen: netral (100%)